Ardi, seorang ayah biasa dengan gaji pas-pasan, ditinggalkan istrinya yang tak tahan hidup sederhana.
Yang tersisa hanyalah dirinya dan putri kecil yang sangat ia cintai, Naya.
Saat semua orang memandang rendah dirinya, sebuah suara asing tiba-tiba bergema di kepalanya:
[Ding! Sistem God Chef berhasil diaktifkan!]
[Paket Pemula terbuka Resep tingkat dewa: Bihun Daging Sapi Goreng!]
Sejak hari itu, hidup Ardi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hamei7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Sekamar Taktau Malu
Suasana malam di kota ini, banyak pekerja kantoran dan buruh pabrik baru saja pulang lembur.
Bagi kota pelajar, malam justru baru saja dimulai.
Lampu-lampu jalan menyala terang, deru motor memenuhi gang kecil, dan di sepanjang trotoar tampak aneka jajanan malam yang ramai pembeli.
Tak jauh dari kampus ternama, ada sebuah gang sempit yang setiap malam dipadati mahasiswa kos.
Di sana berdiri sebuah warung baru milik Ardi, seorang pria sederhana yang membesarkan putrinya, Naya, seorang diri.
Warung itu kecil saja—hanya meja kayu dan kompor sederhana. Namun aroma bihun goreng sapi kering buatan Ardi sudah mampu membuat orang berhenti melangkah.
Di seberang jalan, berdiri warung lama “Raja Mie Goreng” milik Pak Wanto.
Dulu warung itu tak pernah sepi pembeli, tapi malam itu bangkunya kosong melompong.
Suasana Kos Mahasiswa
Di sebuah kos putra tak jauh dari kampus, suasana masih riuh.
Beberapa mahasiswa sibuk bermain game online di laptop mereka.
“Cepet, cepet! Cover aku!”
“Woi, kok mati lagi?!”
“Bego banget mainnya, bro!”
Suara berisik itu baru reda ketika salah satu senior mereka, Bang Feri, masuk membawa beberapa plastik makanan.
“Anak-anak, ayo turun! Gue bawain makanan!” serunya sambil menaruh plastik ke meja.
Mahasiswa lain langsung bersorak. Bagi mereka, Bang Feri semacam “ketua geng” kos yang baik hati.
“Wah, mantap nih, ada nasi bakar!”
“Aku dapet sate usus, rejeki anak kos!”
“Bang Feri emang top, tahu selera kita semua!”
Namun, ada satu plastik yang tidak langsung dibuka. Bang Feri meletakkannya di samping tempat tidur, seolah itu sesuatu yang istimewa.
“Bang, itu apa? Kok disimpen?” tanya salah satu anak kos penasaran.
“Biasa aja. Cuma bihun goreng sapi dari warung baru di gang seberang,” jawab Bang Feri santai.
Anak-anak kos saling pandang.
“Ah, bihun doang? Kering kali, nggak enak.”
“Iya, gue ogah. Gue nggak suka bihun.”
“Apalagi sapi, mahal-mahal. Mending ayam penyet.”
Bang Feri hanya nyengir. “Bagus deh kalau kalian nggak suka.”
Ia membuka kotak styrofoam itu perlahan. Begitu tutupnya terbuka, aroma gurih daging sapi tumis kecap bercampur bihun harum langsung memenuhi kamar kos.
Semua anak kos spontan menelan ludah.
“Gila, wanginya bikin laper lagi…”
“Padahal gue udah kenyang, tapi kok pengen nyomot…”
Bang Feri buru-buru mengambil sumpit, tapi sebelum sempat menyuap, tangan-tangan jahil sudah bergerak.
“Bang, tuker sama sate usus ya?”
“Eh, kasih gue sesuap aja, gue traktir kopi besok!”
“Serius deh, bagi dikit, penasaran banget gue!”
Dalam sekejap, kotak bihun goreng sapi itu habis diserbu ramai-ramai.
“Edan, ini bihun terenak yang pernah gue makan!”
“Kenyal banget, sapinya empuk, bumbunya meresap!”
“Makanan lain jadi hambar kalau dibandingin ini.”
“Kenapa Bang Feri nggak beli dua kotak lagi sih? Satu doang mah nggak cukup!”
Bang Feri menggertakkan gigi, kesal bukan main.
Melihat kotak kosong di depannya, ia menggerutu dalam hati: Orang-orang ini berani banget bilang nggak suka tadi, tapi sekarang habisin punya gue!
Dengan wajah masam, ia berkata, “Sial! Gue baru makan dua suap, dan kalian nyuruh gue antre lagi?! Tau nggak, gue ngantri setengah jam buat ini!”
Teman-teman kos saling pandang, wajah mereka memerah malu. Tapi pada akhirnya, masing-masing tetap habisin daging sapi goreng itu sampai tandas.
“Baiklah Bang Feri, demi nebus dosa kita, malam ini gue tidur bareng lo deh!” celetuk salah satu sambil kedip nakal.
Bang Feri langsung mendelik.
“Janc*k lu!”
“Eh, oke-oke… tapi Bang Feri…”
“Apa lagi?!”
“Kalau lo nggak mau, nggak apa-apa. Tapi besok lo harus ajak kita makan bihun goreng sapi itu lagi!”
“…”
Cerita Menyebar
Bukan cuma di kos Bang Feri. Hampir semua kos mahasiswa malam itu ribut membicarakan bihun goreng sapi milik Ardi.
Ada yang dengar dari teman sekos, ada yang lihat postingan di grup WhatsApp kampus, ada juga yang baca status di forum mahasiswa.
“Eh, kalian tahu nggak? Ada warung baru di gang belakang kampus. Bihun goreng sapinya gokil banget!”
“Yang jual cowok ganteng sama anaknya yang imut itu, kan? Gue makan tadi siang, sumpah enak banget! Anaknya gemes banget lagi!”
“Ya ampun, itu dia! Katanya si cantik kampus, Nadia, juga antre di sana!”
“Serius? Kalau Nadia aja mau antre, berarti emang enak banget.”
“Aku jamin, kalau umur kalian tinggal sepuluh tahun, kalian nggak bakal nyesel cobain bihun goreng sapi itu!”
“Benarkah? Gue nggak percaya. Yuk beli besok!”
“Temen sekamar gue sampe bilang pengen makan sebelum mati!”
“….”
Obrolan itu menyebar cepat. Mahasiswa yang awalnya skeptis jadi penasaran.
Ardi dan Warungnya
Malam itu, antrean di warung kecil Ardi semakin panjang.
Mahasiswa, pekerja, bahkan pasangan muda yang baru pulang jalan-jalan ikut meramaikan.
Naya duduk di bangku kecil, sibuk mencatat pesanan dengan wajah serius, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Ia bangga sekali melihat ayahnya sibuk menggoreng bihun tanpa henti.
Sementara itu, di seberang jalan, Pak Wanto hanya bisa menatap kosong warungnya yang makin sepi.
Warung “Raja Mie Goreng” yang dulu selalu ramai, malam itu benar-benar kalah telak.
tapi untuk menu yang lain sejauh ini selalu sama kecuali MIE GORENG DAGING SAPInya yang sering berubah nama.
Itu saja dari saya thor sebagai pembaca ✌
Apakah memang dirubah?
Penggunaan kata-katanya bagus tidak terlalu formal mudah dipahami pembaca keren thor,
SEMAGAT TERUS BERKARYA.