Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Malam itu suasana apartemen terasa tenang. Lampu kamar hanya menyala redup, menyisakan cahaya kekuningan yang hangat di antara dinding berwarna krem.
Rafa sudah berbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya setengah tertutup selimut biru bergambar mobil-mobilan. Di sebelahnya, Arkan duduk bersandar di kepala ranjang, masih mengenakan kaus putih polos dan celana santai. Tangannya sesekali mengelus lembut rambut anaknya yang mulai terlelap.
Ia menatap wajah kecil putranya dengan lembut, lalu berkata pelan, “Rafa, Papa boleh tanya sesuatu?”
Rafa yang hampir terlelap membuka matanya setengah. “Hmm? Tanya apa, Pa?”
Arkan tersenyum samar. “Kalau... kamu punya bunda baru, Rafa mau nggak?”
Pertanyaan itu membuat Rafa terjaga sepenuhnya. Ia menatap ayahnya dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu. “Bunda baru? Maksudnya, kayak Mama"
“Iya,” jawab Arkan lembut. “Seseorang yang bisa sayangin Rafa, jagain kamu, temenin kamu main, dan... sayang juga sama Papa.”
Rafa terdiam beberapa saat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius. Lalu perlahan, ia tersenyum kecil. “Kalau bundanya baik, Rafa mau. Soalnya... Rafa pengen punya mama kayak teman-teman"
Mendengar itu, Arkan menunduk, menahan haru yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. “Papa janji, kalau nanti Rafa punya bunda baru, dia bakal sayang banget sama kamu.”
“Tapi...” Rafa menatap ayahnya ragu. “Mama nggak marah, kan, Pa?”
Arkan menarik napas dalam, lalu menjawab dengan suara tenang. “Nggak, sayang. Mama nggak akan marah. Mama pasti senang kalau Rafa bahagia. Mama pengen Rafa punya keluarga yang lengkap lagi.”
Rafa tersenyum lega, lalu memeluk ayahnya erat-erat. “Kalau gitu, Rafa mau punya bunda. Tapi siapa orangnya, Pa?”
Arkan tersenyum tipis, membalas pelukan kecil itu. “Kamu kenal kok, Nak. Bunda baru kamu itu... Tante Dara.”
Mata Rafa langsung berbinar, senyum lebarnya muncul seketika. “Tante Dara?! Beneran, Pa?!”
Arkan mengangguk sambil tersenyum hangat. “Iya, sayang. Tante Dara.”
“Yeay!” seru Rafa kecil dengan gembira, lalu memeluk ayahnya lagi dengan tawa yang renyah. “Rafa suka banget sama Tante Dara! Dia baik, lucu,
Arkan terkekeh, lalu mencium kening anaknya penuh kasih. “Papa tahu kamu bakal suka.”
“Terus... Papa janji ya, nanti aku boleh panggil dia Bunda?” gumam Rafa yang mulai mengantuk lagi.
“Janji,” jawab Arkan lembut. “Sekarang tidur, Nak. Besok kamu bisa kasih tahu sendiri ke Tante Dara.”
Rafa mengangguk pelan, matanya perlahan terpejam sambil tersenyum. “Selamat malam, Papa..."
Arkan menatap wajah kecil itu lama, matanya melembut dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Selamat malam, anak pintar,” bisiknya.
.......
Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan. Kafe Rasa Senja, tempat Dara bekerja paruh waktu, mulai ramai oleh pelanggan yang datang untuk makan siang. Dara mengenakan celemek cokelat muda, rambutnya diikat ke belakang, wajahnya tampak segar meski sedikit pucat karena kurang tidur.
“Dara, tolong antar minuman ke meja dua, ya!” seru Rani dari balik barista station sambil menuangkan cappuccino ke gelas kaca bening.
“Oke!” jawab Dara cepat, mengambil nampan berisi dua gelas minuman dan sepotong cheesecake, lalu melangkah lincah di antara meja-meja pelanggan.
“Silakan, pesanannya, Kak,” ucapnya sopan sambil tersenyum ramah.
Lalu kembali ke belakang meja kasir. Di sana, Vivi tengah sibuk mengelap gelas sambil bersenandung lagu pop yang sedang hits.
“Eh, Dar, kamu sadar nggak sih? Akhir-akhir ini kamu sering senyum-senyum sendiri,” celetuk Vivi tiba-tiba tanpa menatapnya. “Ada apa, tuh? Lagi jatuh cinta, ya?”
Rani langsung menyahut sambil menahan tawa. “Iya nih, gue juga perhatiin. Biasanya muka kamu tuh kayak capek abadi, sekarang malah cerah kayak abis disemprotin air kebahagiaan!”
Dara mendengus. “Apaan sih kalian? Orang aku cuma lagi banyak kerjaan, bukan lagi jatuh cinta.”
“Kerjaan atau cowok?” Vivi menaikkan alis, menggoda. “Ngaku deh, pasti ada yang spesial.”
"ngga ada yang spesial" dara juga merasa heran pada dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering tersenyum sendiri, merasa bahagia ntah apa penyebabnya.
Menjelang sore, kafe mulai sepi. Pelanggan satu per satu pulang, meninggalkan aroma kopi yang masih menggantung di udara. Dara menyapu meja terakhir, kemudian melepaskan celemeknya dan merapikan rambut yang sedikit berantakan.
Ia menatap jam di dinding — sudah hampir pukul lima sore. Waktu yang pas untuk bicara dengan bosnya, Zidane, pemilik kafe yang biasanya masih duduk di pojokan sambil mengerjakan laporan.
Dara berjalan pelan mendekat, menepuk pintu kaca ruang kecil di belakang bar. “Permisi, Mas.”
Zidane menoleh dari laptopnya. “Oh, Dara. Ada apa? Mau izin pulang lebih awal?”
Dara menatapnya sejenak, lalu menarik napas dalam. “Nggak, Mas. Aku... mau izin cuti beberapa hari.”
Zidane melepas kacamatanya, menatap heran. “Cuti? Ada apa emangnya? Kamu jarang banget minta cuti.”
“Iya, Mas.” Dara berusaha tersenyum tenang. “Aku mau pulang ke Surabaya sebentar. Ada urusan keluarga.”
Zidane mengangguk pelan. “Oh begitu. Berapa lama kira-kira?”
“Mungkin tiga sampai empat hari, Mas. Aku janji sebelum itu semua urusan di sini udah aku beresin.”
“Hmm, ya udah kalau gitu. Tapi nanti tolong bantu koordinasi jadwal dulu sama Rani dan Vivi, biar shift kamu bisa digantiin.”
“Iya, Mas. Terima kasih banyak ya.”
Zidane tersenyum tipis. “Nggak usah terlalu formal, Dar. Kamu kan udah kayak keluarga di sini. Tapi hati-hati di jalan, ya. Salam buat keluarga di Surabaya.”
Dara mengangguk cepat. “Iya, Mas. Makasih.”
Begitu keluar dari ruangan, langkahnya terasa lebih ringan... tapi hatinya justru semakin berat. Ia tahu alasannya bukan karena ingin pulang melainkan karena Arkan yang memintanya untuk cut.
Begitu keluar dari ruang Zidane, Dara langsung melihat Rani yang sedang menata meja barista dan mencatat stok minuman. Ia berjalan mendekat sambil menepuk pelan bahu sahabatnya itu.
“Ran, bisa sebentar?”
Rani menoleh cepat. “Hm? Ada apa, Dar? Mukamu kok serius banget.”
Dara tersenyum tipis. “Aku mau izin cuti beberapa hari, udah ngomong sama Mas Zidane juga barusan. Jadi nanti shift-ku tolong kamu bantu atur ya.”
Rani meletakkan pulpennya dan menatap Dara penuh penasaran. “Cuti? Tiba-tiba banget. Emang mau ke mana?”
“Ke Surabaya,” jawab Dara pelan, berusaha terdengar santai. “Ada urusan keluarga sedikit.”
Rani mengerutkan kening. “Serius? Aku kira kamu udah nggak pernah balik ke sana. Emang ada acara apa?”
Dara menunduk sesaat sebelum menjawab, “Cuma urusan kecil aja, Ran. Nggak lama kok, paling tiga atau empat hari.”
Rani menatapnya beberapa detik, seolah menimbang sesuatu. “Oke deh. Tapi jangan lama-lama ya, kafe bisa sepi kalau kamu nggak ada,” katanya sambil mencoba mencairkan suasana.
“Tapi beneran, Dar. Kamu nggak apa-apa kan? Soalnya akhir-akhir ini kamu sering kelihatan mikir berat.”
Dara terkekeh kecil, menyembunyikan gugupnya. “Aku baik-baik aja, Ran. Cuma lagi banyak hal yang harus diberesin aja.”
“Oke kalau gitu,” ujar Rani sambil menepuk bahunya pelan. “Kamu hati-hati di jalan, ya. Kabarin aku kalau udah sampai sana. Dan kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja.”
Dara mengangguk pelan. “Iya, makasih ya, Ran. Aku bakal kabarin.”
Rani tersenyum cerah. “Siap! Tapi janji ya, kalo nanti kamu balik dari Surabaya harus bawain oleh-oleh. Minimal sambal bawang khas sana!”
Dara tertawa kecil, pura-pura ikut bercanda. “Iya, iya. Nanti aku bawain yang banyak.”