NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Sisi Gelap Adam

Hari ketiga Adam disiksa. Hari ketiga ia masih memilih bungkam. Aku membawa sebuah cermin dan duduk tepat di depannya. Ku letakkan cermin itu menghadap wajahnya yang lusuh dan penuh luka.

"Kita lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan untuk terus berbohong," ucapku datar, tanpa emosi.

Di sampingku, Rafael berdiri dengan ekspresi penasaran. Bocah itu menatapku lekat-lekat, lalu berbisik. "Paman… Paman…"

Aku menoleh sekilas. "Untuk apa cermin ini?" tanyanya pelan.

Aku hanya menghela napas panjang. "Kamu lihat saja nanti, anak kecil," jawabku sinis.

Tanpa banyak bicara, aku berdiri dan mengambil ember yang sudah kusiapkan sejak tadi. Air di dalamnya dingin, sengaja kubiarkan semalaman agar efeknya lebih menusuk.

Tanpa ragu byurr! air itu kutuangkan ke wajah Adam.

Tubuhnya tersentak. Matanya terbuka lebar, napasnya memburu. Ia menatapku bingung, tubuhnya menggigil.

"Plis… aku mohon… lepasin aku…" suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Aku tertawa kecil, lalu menendang kursi di dekatku dengan kasar. Rafael terlonjak kaget, tangannya refleks memegang dada.

"Paman bikin kaget aja," gumamnya.

Aku mendekat, menatap Adam dengan tajam. 'Siapa kamu sebenarnya?" tanyaku dengan nada tinggi, mencengkeram pipinya dengan keras lalu, menatap matanya tajam.

Adam meringis, tubuhnya bergetar. "Aku mohon… aku bukan siapa-siapa… tolong lepasin aku." isaknya, gemetar.

Tatapanku tak berubah. Mataku menelusuri setiap gerak-geriknya, seolah ingin menguliti kebenaran dari sorot matanya.

"SIAPA KAMU, HA?" bentakku, mencengkeram lebih kuat.

Adam mulai bereaksi aneh. Tubuhnya gemetar hebat, matanya tak fokus. Ia seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"JAWAB!" teriakku, suaraku menggema di ruangan yang sunyi.

Cermin di depannya memantulkan wajahnya yang penuh luka dan ketakutan. Tapi lebih dari itu, cermin itu memantulkan kebohongan yang selama ini ia sembunyikan. Dan aku… aku akan terus menggali, sampai tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan.

Rafael hanya bisa menegang, tak tahu apa yang sebenarnya akan kulakukan pada Adam.

"Paman… Paman… Apa maksud paman?" bisiknya heran, suaranya nyaris tenggelam oleh ketegangan di ruangan.

Aku hanya meliriknya sekilas, tak menjawab. Namun tiba-tiba, suara tawa menggelegar memenuhi ruang bawah tanah. Tawa itu bukan tawa biasa—serak, dalam, dan mengerikan. Aku langsung menoleh cepat, menatap tajam ke arah Adam.

Matanya kini hitam legam. Ia tertawa seperti orang kerasukan, menatapku dan Rafael dengan sorot mata penuh selidik dan ancaman.

Rafael spontan bersembunyi di belakangku, tubuhnya gemetar. Sesekali ia melirik Adam yang masih tertawa tak terkendali.

"Paman… Paman… Apa yang terjadi?" bisiknya lagi, kali ini dengan nada panik.

Aku jengkel. Situasi sudah cukup mencekam, dan bocah ini terus bertanya.

"Diam," ucapku tajam.

Aku kembali menatap Adam. Tawa itu masih berlanjut, hingga aku mengambil cermin dan meletakkannya tepat di hadapan wajahnya. Aku ingin melihat reaksinya.

Sejenak, Adam terdiam. Matanya menatap pantulan dirinya sendiri. Lalu, ia tersenyum lebar—senyum yang tak wajar, senyum yang membuat bulu kuduk merinding.

"Dia punya alter ego," gumamku pelan. Namun, dengan jelas Rafael mendengarnya. Ia menatapku penuh tanya.

"Paman… Paman… Maksudnya dia punya dua kepribadian? Bagaimana paman tahu?" bisiknya penasaran.

Aku hanya menghela napas kasar, tak ingin menjelaskan lebih jauh.

Pasalnya, semenjak kejadian kemarin pagi, aku mulai curiga. Aku mengawasinya lewat CCTV yang kupasang di ruang bawah tanah, sambil bekerja di warung mie ayam Pak Bruto. Untung saja warung sedang sepi, bahkan tak ada pembeli sama sekali.

Dari rekaman itu, aku melihat Adam kadang tersenyum sendiri. Bahkan seolah tahu sedang diawasi, ia menatap langsung ke arah kamera dan tersenyum lebar. Senyum menantang. Senyum yang membuatku yakin ada sesuatu yang tak beres dari dirinya.

Aku kembali menatap wajah Adam. Tiba-tiba, aku memukul cermin itu dengan keras hingga retak.

Adam bereaksi. Ia mengamuk sejadi-jadinya. Tubuhnya bergerak liar, seperti orang kerasukan. Ia mengeram, menggerakkan tubuhnya dengan kekuatan tak wajar. Ikatan tangannya mulai longgar tak aku sadar.

Aku langsung waspada. Dengan gerakan cepat, aku memberi kode pada Rafael untuk bersiap. Tanganku sudah menggenggam sapu tangan yang telah kubasahi dengan cairan bius. Jika keadaan memburuk, aku siap menidurkannya.

Adam terus menggeram, seperti binatang buas. Ikatannya akhirnya terlepas. Rafael mulai panik, dia memanggilku yang tampak begitu tenang.

"Paman… Paman… Dia sudah bebas! Paman…!' teriaknya sambil menarik lenganku. Mencoba untuk menyadarkan ku. "Paman… Paman…!"

Aku tetap tenang. Mataku tak lepas dari Adam yang kini berdiri, tubuhnya gemetar, matanya liar.

Pertunjukan sesungguhnya baru saja dimulai.

Aku menoleh sebentar ke arah Rafael dan menyuruhnya diam, menempelkan telunjukku ke bibir sebagai isyarat. Adam kini telah terbebas. Ia berdiri menunduk, lalu menatapku tajam. Auranya begitu kuat, tak bisa dijelaskan dengan logika. Bahkan aku, yang sadar bahwa diriku seorang sosiopat, ikut merinding melihat sorot matanya yang penuh dendam.

"Siapa kamu?" tanyaku dengan suara sedikit gemetar, meski tetap berusaha waspada.

Adam terdiam. Lalu, ia tertawa keras sambil menatap langit-langit ruangan. Tawa itu mengerikan. Ia beralih menatapku dan Rafael dengan sorot mata yang seolah ingin membunuh.

Rafael gemetar. Ia terus memanggilku dengan suara berbisik, "Paman… Paman… Paman… sadar!"

Tak tahan melihat situasi, Rafael akhirnya berlari ke arah Adam, berniat memukulnya. Tapi hanya dengan satu hentakan tangan, tubuh Rafael terhempas ke lantai. Aku melotot, tak percaya Adam bisa sekuat itu.

Akankah aku bisa melawannya?_ pikirku cemas.

"Jawab! Siapa kamu?" ulangku, kali ini lebih tegas.

Adam tersenyum lebar, lalu tertawa kecil. "Aku… aku Adom. Sisi gelap dari Adam." katanya bangga, matanya melotot, tangannya memukuli dadanya seperti sedang menunjukkan identitasnya.

"Keluar dari tubuh Adam, atau aku akan membuatmu mati!" ancamku, tak main-main.

Adom tertawa keras. Sementara Rafael tersungkur, memegangi lengannya yang terluka akibat terkena benda tajam di ruangan itu. Adom berjalan perlahan, mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Aku hanya meliriknya, tak bergerak. Rafael menggeleng, mencoba menghentikan.

"Paman… Paman…" panggilnya panik.

Adom tiba-tiba berlari ke arahku, menyerang membabi buta dengan pisau. Aku berhasil menghindar, tapi serangannya terus berlanjut. Aku kewalahan, hingga ujung pisau itu akhirnya melukai lenganku. Adom tersenyum puas, bersiap menyerang lagi.

Namun tepat saat ia mengangkat pisau untuk menikamku, Rafael bangkit dan memukulnya dari belakang dengan sebatang kayu. Adom terdiam sejenak, lalu berbalik menatap Rafael dengan amarah membara.

Ia mengangkat pisau, siap menikam Rafael. Bocah itu mundur, menutup matanya, kedua tangan menutupi kepalanya. "Paman!" teriaknya.

Namun tak ada luka. Tak ada darah. Rafael membuka matanya perlahan. "Kok nggak ketikam?" gumamnya heran.

Aku berhasil membius Adom tepat sebelum pisau itu melayang. Tidak sampai membuatnya pingsan—aku ingin dia tetap sadar, merasakan semuanya tanpa bisa bergerak.

Aku mengangkat tubuhnya, menaruhnya di kursi, lalu mengikatnya dengan borgol agar tak bisa lepas lagi.

"Kau tahu, kalau kulit ditarik perlahan dari bahu ke lengan, akan terdengar suara seperti kertas disobek. Aku suka suara itu," ucapku kepada Rafael, mencoba memancing reaksi dari Adom yang kini hanya bisa menatap lemas.

Aku mulai melukai lengannya, menarik kulitnya perlahan. Rafael menegang, menelan ludah. Tapi ada rasa penasaran di matanya.

"Kau ingin mencobanya?" tanyaku sambil menggodanya.

Rafael mengangguk sambil tersenyum. Ia mulai menarik kulit itu, bukan perlahan, tapi dengan kasar. Kulit terbuka dari bahu hingga siku. Adom menggeleng, air mata mengalir dari sudut matanya, lalu akhirnya pingsan.

Aku menghela nafas panjang lalu berbalik. "Sudah. Tinggalkan dia di sini. Besok malam kita akan bebaskan dia," ucapku datar, lalu beranjak pergi.

Rafael menatapku bingung, seolah butuh penjelasan. Tapi aku tak peduli. Aku berjalan santai menuju kamarku dan mengunci pintunya rapat.

"Paman… Paman… buka pintunya!" teriak Rafael sambil mengetuk pintu. Tapi aku hanya berbaring, tak menggubris.

Aku membuka ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Antoni. "Cari tahu tentang Adam. Secepatnya." Lalu melempar ponsel dan aku menutup mata.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!