Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Ponsel Pertamaku
📝 Diary Mentari – Bab 30
“Beberapa luka tak butuh obat. Cukup didengarkan, dan tidak dianggap remeh.”
...****************...
Aku akhirnya mengabari keluarga di rumah tentang kepindahanku dari rumah Pak Kartika ke kos kecil bersama Tina. Aku tahu kabar ini tidak akan menyenangkan bagi Bapak, tapi aku tidak ingin terus menyembunyikannya. Bagaimanapun juga, mereka berhak tahu.
Dan seperti yang sudah kuduga, reaksi Bapak tidak menyenangkan.
“Kenapa kamu pindah? Di sana kamu tinggal di rumah Pak Kartika, nggak perlu bayar kos, makan udah dapat! Kok malah cari susah sendiri?” katanya di ujung telepon, suaranya meninggi.
Aku menarik napas panjang. Aku tahu Bapak tidak akan mudah mengerti. Dia memikirkan logika sederhana: kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?
Tapi hidup di sana bukan cuma soal gratis atau tidak. Perasaan menjadi ‘anak titipan’ itu berat. Tidak semua keluarga sehangat keluarga kami di kampung. Di rumah kami yang sempit, Bapak dan Ibu membuka pintu selebar-lebarnya untuk para keponakan. Mereka tak pernah mempermasalahkan siapa tinggal di mana, siapa anak kandung dan siapa bukan. Semua diperlakukan sama.
Tapi di rumah Pak Kartika, aku selalu merasa seperti tamu. Aku takut merepotkan, takut menyalahi aturan tak tertulis, takut dianggap kurang tahu diri. Aku bahkan harus berpikir dua kali sebelum mengambil selimut atau makan sedikit lebih banyak.
“Bapak, kehidupan kami di rumah dan di sini itu beda,” kataku pelan tapi tegas. “Aku cuma mau belajar mandiri. Aku baik-baik saja. Jadi Bapak nggak usah khawatir.”
Lalu, sebelum amarah dan perasaanku meledak jadi tangis, aku mematikan telepon.
Aku terduduk di ranjang kecilku. Bed cover Barbie yang mulai kusayang kini terasa hangat di punggungku. Mataku menatap diary yang terbuka di meja. Tinta di halaman terakhirnya belum kering, seperti hatiku.
⸻
Beberapa hari kemudian, di hari libur, Kak Raka datang menjengukku.
Aku sedikit terkejut ketika dia muncul di depan pintu kosku dengan motor Grand hitam yang sudah kusam. Helmnya digantung di stang, dan wajahnya sedikit kotor oleh debu perjalanan. Tapi senyum itu… senyum Kak Raka selalu membawa rasa aman.
“Kamu kos di sini?” tanyanya sambil menatap bangunan sempit yang kami sebut rumah kedua.
Aku mengangguk sambil menyodorkan minum dari botol plastik bekas. Tina sedang keluar membeli lauk, jadi hanya kami berdua.
Tanpa banyak basa-basi, Kak Raka menyodorkan sesuatu.
“Ini HP lamaku. Masih bagus kok. Kamu bisa cicil bayarnya kalau mau. Nggak mahal, Tan. Kalau ada apa-apa, SMS atau telpon aku. Jangan bikin orang rumah khawatir.”
Aku menatap ponsel itu—Nokia jadul, sedikit lecet di pinggir, tapi masih menyala dengan suara ringtone klasik yang familiar.
“Makasih, Kak. Aku senang banget.”
Aku tak sanggup bilang lebih. Tapi senyumku cukup menjelaskan semuanya.
⸻
Aku tahu Kak Raka sebenarnya perhatian, meskipun sikapnya sering terlihat cuek. Kami dibesarkan dalam rumah yang keras, tapi penuh kasih. Bapak dan Ibu tidak pernah memperlakukan Kak Raka sebagai keponakan. Dia sudah seperti kakak kandung bagiku dan Senja.
“Pokoknya kalau kamu ada masalah, cerita ya. Jangan dipendam. Aku tahu kamu anak kuat, tapi kamu nggak harus sendiri terus.”
Kalimat itu menyentuh hatiku. Aku tahu dia mengerti aku lebih dari siapa pun. Aku mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh.
Sebelum pergi, Kak Raka menyalakan motor bututnya, suara mesinnya bergetar kasar. Tapi entah kenapa, suara itu seperti musik yang menenangkan.
“Jangan lupa makan, jangan terlalu capek,” katanya sambil melambaikan tangan sebelum melaju perlahan meninggalkan gang sempit itu.
Aku berdiri di depan pintu kamar kos, menatap punggungnya yang menjauh. Di tangan kiriku, ponsel tua itu terasa seperti hadiah termahal yang pernah kuterima. Bukan karena harganya, tapi karena niat tulus yang menyertainya.
⸻
Malam harinya, aku duduk menulis di diary.
“Kadang, satu kalimat dari orang yang mencintai kita bisa membuat dunia yang berat jadi ringan. Aku beruntung punya Kak Raka. Ponsel tua ini bukan cuma alat komunikasi. Tapi pengingat bahwa aku tidak benar-benar sendiri.”
Tina pulang membawa nasi bungkus dan berkata, “Kakak kamu ganteng juga ya. Kalau aku jadi kamu, aku pulang kampung aja!”
Aku tertawa, menampar kecil lengannya. “Dia kakakku, Tin. Nggak ada cerita.”
⸻
Di antara tawa, cerita, dan ponsel tua, aku mulai merasa bahwa hidupku sedang pelan-pelan berubah. Bukan jadi lebih mudah, tapi aku lebih kuat. Dan yang lebih penting, aku tahu sekarang bahwa ada orang-orang yang akan tetap ada, walaupun jarak memisahkan.
⸻
“Yang membuat kita bertahan bukan hanya keberanian, tapi juga keyakinan bahwa kita dicintai, meski tak selalu dimengerti.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.