“Arghhhhkkkk mayaaaat!!!’’
Tumini yang sedang mencari rumput untuk makanan ternaknya, tiba-tiba saja mencium aroma busuk dari sekitarannya. Dia yang penasaran meski takut juga memberanikan diri masuk ke kebun lebih dalam.
Saat asik mencari sumber bau busuk, Tumini di buat shock berat karena melihat mayat yang menggantung di pohon cengkeh.
Bagian dada kiri terdapat luka bolong lumayan besar, bagian kaki terus mengucurkan darah, mayatnya juga sudah tidak di kenali.
Apa yang terjadi di kampung Kabut Surem? akankah kematian misterius bisa terpecahkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juniar Yasir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Grup Julid
Setelah bersiap-siap, Ningrum kembali ke kamar Dimas. Terlihat sang anak sudah baikan. Bahkan Dimas seperti tidak pernah sakit sama sekali, tampak segar bugar. Semua keluarga tentu heran melihatnya, tapi bersyukur juga. Karena tadi melihat Dimas yang benar-benar seperti orang kesetanan saking sakitnya. Bahkan sampai mau membenturkan kepala segala.
“Aku nggak perlu kayak nya dibawa kerumah sakit’’ ucapnya santai.
“Iya Tan, ini kelihatannya memang sudah beneran sehat kak Dimas. Tapi ... Kok aneh, saat adzan subuh kak Dimas langsung sehat’’ Ambar agak merasa aneh sekarang.
"Alhamdulillah. Mungkin kebetulan saja. Ya sudah, mama mau bikin sarapan dulu. Arum disini dulu ya temenin Kak dimas.’’ ujar Ningrum.
Lalu ketiga wanita beda usia itu turun ke bawah lalu menuju dapur.
“Kamu tolong cuci sawi nya ya Mbar, Della tolong rajang bawang’’ ucap Ningrum meminta bantuan.
“Siap Nyonya!’’ jawab kedua gadis ini membuat Ningrum tertawa.
"Hampir saja lupa. Nanti kita melayat ya’’ ucap Ningrum sambil menyeduhkan teh.
“Ha! Emang ada yang meninggal ya ma? Kok nggak ada pengumuman di masjid?’’ tanya Della.
“Nggak adalah. Orang ketemu mayatnya saja dini hari’’ jawab ningrum.
“Kok bisa Tan?’’ timpal Ambar yang penasaran.
“Katanya sih tanda kutip Pembunuhan. Na'uzubillah minzalikk.’’ Ningrum sampai merinding.
“Astaghfirullah innalilahi. Kasian sekali’’ Della menutup karena terkejut.
“Baru mau sebulan kita pindah udah ada beberapa kejadian ma. Aku jadi takut ini, sumpah!’’ lanjut Della yang memang takut.
"Ya namanya juga nasib nggak ada yang tau. Yang penting kemana-mana jangan sendirian dan selalu berdo'a dulu sebelum keluar rumah.’’ balas Ningrum.
Kedua wanita ini mengangguk.
Sambil mengobrol tak terasa sarapan telah selesai di buat. Della dan Ambar langsung menghidangkan ke atas meja, sedangkan Ningrum mencuci alat masak.
“Aku ke atas dulu mau panggil mereka’' ucap Della langsung keluar dari dapur.
“Kamu tolong panggilin om kamu ya Mbar!’’ ujar Ningrum.
“Iya Tan’’ Ambar menuju kamar om Tante nya.
.
“Om, Ambar masuk ya!’’ ucap Ambar tapi tak ada yang menyahut.
Melihat pintu yang tidak di kunci, Ambar langsung masuk. Tak ada siapapun di dalam, kamar mandi juga terbuka pertanda tidak orang di dalam. Ambar menuju pintu kaca yang mengarah ke taman samping. Tampak Darma sedang mengobrol dengan Pak Lek Saimin.
“Hm baru tau jika disini ada pintu langsung ke luar rumah. HM, sepertinya dulu disini ada taman mini, kan kata papa Eyang Gayatri suka memelihara ikan hias’’ gumam Ambar melihat ke arah kolam kecil yang sudah lumutan.
Lalu Ambar menyusul Darma yang asik sekali mengobrol berdua.
“Assalamu'alaikum Pak lek’’ ucap Ambar mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Saimin menyambut uluran tersebut, belum sempat Ambar mencium tangan Saimin, tapi pria itu buru-buru menarik kembali tangannya. Ambar juga merasakan panas luar biasa.
“Eh cah ayu, jangan main cium saja. Tangan Pak Lek kotor tadi baru membersihkan kandang sapi.’’ ucapnya tersenyum ramah. Tapi begitu horor menurut Ambar.
“Hehe iya pak Lek.’’ balas Ambar ikut tersenyum.
“Ada apa Mbar?’’ tanya Darma.
“Sarapan sudah siap paman. Tante sudah menunggu di meja makan. Kalo gitu Ambar pamit dulu ya Pak Lek, permisi’’ setelahnya Ambar langsung pergi. Tapi tak melalui pintu kaca lagi, Dirinya memilih dari pintu samping.
.
“Kalau begitu saya pamit dulu Lek, tolong ya nanti di bersihkan bagian kebun cengkeh sana’’ ujar Darma, Saimin hanya mengangguk.
.
...🩵🩵🩵🩵...
.
Sekitar pukul 10, Ningrum, Della dan Ambar pergi melayat. Ketiganya berjalan kaki, lumayan jauh juga jarak rumahnya dan rumah Parjo. Karena Parjo tinggal agak di bawah, sedangkan rumah Eyang Gayatri berada di puncak. Untung saja mereka masing-masing membawa payung sehingga tidak kena panas.
"Dimana sih rumahnya ma? Kok nggak nyampe nyampe dari tadi?!’’ Della berhenti sejenak memijat lutut yang pegal.
“Itu di depan udah kelihatan bendera kuning. Kamu ini, Ambar yang asli lahir dikota saja nggak ada mengeluh. Ini kamu, asli warga sini kok Yo malah ngeluh nggak ada habisnya.’’ ujar Ningrum mengelap keringat yang mengalir.
Della hanya cemberut tanpa menanggapi ucapan mama nya.
"Eh itu disana bagus ya pemandangannya’’ ucap Ambar menunjuk pemandangan bawah bukit.
“Memang bagus, apa lagi malam. Tapi sekarang sudah serem di situ.'’ jawab Ningrum mengusap leher belakang yang merinding.
“Kenapa Tan?’’ Ambar penasaran pula.
"Tu lihat kebun cengkeh di sebelahnya. Di dalam sana Kardi dan Parjo tergantung’’ Ningrum mendadak saja takut bukan main.
“Udah ayo kita pergi! Ini lama-lama keburu sampai mayatnya.’’ Ningrum meluangkan agak laju.
“Ihhhh,,kok serem banget ini kampung. Padahal kan sudah modern.’’ Della tak habis fikir.
“Eh tapi kan itu bukannya kebun Eyang?’’ batinnya mulai tidak enak hati.
"Hei, ayo! Itu mama mu sudah jauh.’’ Ambar menyadarkan lamunan Della.
"Eh ayo!’’ kedua gadis ini langsung menyusul Ningrum yang sudah lumayan jauh meninggalkan mereka berdua.
.
🩵
.
Sesampainya di rumah Erna, ternyata sudah begitu ramai orang. Polisi dan wartawan juga ada disini. Rupanya setelah autopsi, mayat Parjo langsung di bawa ke pulang. Akibat dari mayat yang mulai membusuk, jadi harus segera di kuburkan. Ini saja sudah akan di bawa ke masjid untuk di sholat kan. Entah kenapa cepat busuk. Pak Lurah, pak RT dan RW yang mendengar kesaksian polisi yang ikut ke ruang Autopsi juga terkejut mendengarnya. Padahal Parjo meninggal malam hari, tapi mayat sudah mau membusuk. Sedangkan dari beberapa pemandi jenazah mengatakan jika mata Parjo terus mengeluarkan darah.
“Heh, aku tadi Ndak sengaja melihat orang mengkafani mayat Parjo. Kalian tau, itu matanya mengeluarkan darah, padahalkan sudah mau busuk.’’ ucap Yuli mengeluarkan jurus julidnya.
"Apa? Jangan sembarangan ngomong kamu!'' balas Tina yang memang geng ngerumpinya.
“Aku Ndak bohong Lo, aku lihat dengan mata kepala ku sendiri iki.’’ Yuli cetar sekali ngerumpinya.
“Semenjak kedatangan Anak Eyang Gayatri itu, sepertinya kampung kita udah mulai Ndak aman.’’ Ucap Tina menyalakan kompor.
“Eh kalian ini, datang kesini bukannya melayat dan mendo'akan jenazah malah mengghibah orang!’' Mbok Tukiyem geram sekali mendengar grup julid ini.
"Idih, mentang-mentang kerja jadi babu di rumah Eyang Gayatri, Mbok jadi membela mereka’’ jawab Tina sinis.
“Sudah-sudah, sebaiknya mulut kalian di rem dulu. Paling tidak untuk sementara ini’’ Ijum ikut menimpali, karena grup ini memang rusuh sekali.
.
Istri ustadz Mumtaz hanya menggelengkan kepala. Mau ikut menimpali, atau menasihati takut juga nanti ikut di sembur. Apalagi dirinya jarang ada di kampung sini. Karena Dirinya mengajar dan tinggal di pesantren.
.
.
Jangan lupa like ya guys🙏