Misteri Kematian Pria Desa Kabut Surem
Ambar Wati baru saja pulang dari pendaftaran kuliah ketika melihat pintu rumah mewahnya sudah di tempel kertas bertuliskan 'DI SITA BANK'. Bukan main terkejutnya gadis cantik ini. Baru juga di hantam kedukaan karena kedua orang tua meninggal karena kecelakaan, kini Dirinya kembali di hantam masalah baru dengan rumah nya di sita.
Om nya mengatakan jika orang tuanya meninggalkan banyak hutang, sehingga rumah ini di jadikan jaminan.
“Maaf Ambar, dengan berat hati kita harus keluar dari rumah ini. Om tau kamu sedih meninggalkan rumah yang banyak kenangan nya ini. Tapi kita memang harus segera pindah. Kita hanya tersisa mobil ini saja.’’ ucap Om nya yang juga di rundung kekalutan.
“Jadi kita semua akan tinggal dimana om Tante?’’ tanya Ambar lemas.
“Oom ada rumah di kampung, tapi sempit. Jadi dengan kata lain kita akan tinggal di rumah Eyang’’ ucap om Darma.
“Hem jika memang itu yang terbaik, Ambar ikut saja om’’ Ambar langsung menaiki tangga menuju ke kamar nya.
Ambar mulai memasukkan pakaian nya kedalam koper. Terdapat tiga koper yang di bawa. Karena memang Dia begitu banyak pakaian. Dua koper untuk pakaian, dan satunya untuk aneka rasa sepatu dan aksesoris lainnya. Tak lupa foto keluarga kecil mereka.
Ambar mengusap kedua matanya. Dia menangis pelan karena luka hati nya. Baru saja di terpa duka, kini rumah peninggalan yang penuh kenangan pun juga disita. Siapa yang tidak akan hancur hatinya bila mendapat cobaan bertubi begini. Hidup sebatang kara, walaupun ada Om dan Tante nya, tetap saja rasa nya beda dengan orang tua sendiri.
Tok...tok..tok
Terdengar pintu diketuk dari luar.
Ambar?! Kamu baik-baik saja sayang?’’ tanya Tante Ningrum.
“Iya Tante, sebentar lagi Ambar turun” ucapnya serak.
Tante Ningrum menghela nafas berat, iba melihat keponakannya ini yang bersedih karena terus di hantam ujian beberapa bulan belakangan.
Setelah semua pakaian dan semua perlengkapan nya siap di packing, Ambar beranjak menuju pintu. Dia menatap sebentar sekeliling kamarnya. Begitu berat Dia rasanya meninggalkan rumah ini. Bayangan mama dan papa nya yang bercanda malam sebelum kecelakaan itu menari di pelupuk mata. Ambar menghela nafas berat lalu di hembuskannya, berharap rasa sesak di dada sedikit berkurang. Ambar menutup pintu kamar, turun tangga menyusul keluarganya.
“Sudah siap sayang?’’ tanya Om darma.
“Iya om.’’
.
Mereka semua pun pergi meninggalkan rumah kenangan itu. Sepanjang perjalanan Ambar hanya diam saja, karena memang pikirannya masih kalut. Sesekali hanya senyum melihat sepupu nya yang bercanda.
Om nya memiliki empat anak. Dulunya Om darma tinggal di kampung Eyang tapi beda rumah. Eyang melarang keras anak lelaki bungsu nya ini tinggal di rumahnya. Om darma hanya beranggapan bahwa sang Ibu tidak menyukai istrinya. Karena Tante purba ningrum bukanlah dari keluarga berdarah biru.
Saat kakak nya alias papa nya Ambar sukses, Darma di minta ikut ke kota membantu mengurus perusahaan pribadi papa Ambar. Ayah Ambar membangun perusahaan nya dari nol tanpa dukungan orang tua nya. Tapi saat kecelakaan itu terjadi, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, papa menitipkan anak satu-satunya pada adik bungsunya.
👻
9 jam berkendara akhirnya mereka tiba di gerbang menuju desa Eyang. Terlihat kehidupan di sana sudah agak maju. Tidak seperti beberapa tahun lalu, di saat pertama kali Ambar mengunjungi Pemakaman Sang Eyang. Dulu sekitaran kiri kanan jalan banyak pohon-pohon tinggi dan semak belukar, listrik juga belum ada, Jalanan masih tanah becek. Kini jalan sudah lumayan bagus karena aspal, meskipun hanya muat 1 kendaraan dan motor saja, listrik juga sudah ada dan ada warung lumayan besar juga.
15 menit kemudian, mereka tiba di halaman rumah Eyang Gayatri. Saat memasuki pagar, angin dingin menerpa wajah Ambar, seketika bulu kuduknya meremang.
“Kok horor gini sih rumah Eyang? mending kita kerumah kita aja yuk Pa?’’ ujar anak ketiga Darma. Dia kelas 4 SD.
“Rumah kita kecil sekali nak, mana bisa menampung kita yang segerombolan ini. Sudah bagus di rumah Eyang. Rumah megah begini kok!. Ini jika di bersihkan nanti juga hilang kesan horornya. Rumah ini sudah lama di tinggal dan tidak terawat, makanya jadi begini. Udah ayo kita masuk.’’ ujar Darma panjang lebar.
Orang yang lewat di depan pagar hanya melihat saja. Om Darma hanya melihat sekilas.
Krieeeeeetttt
Pintu berderit saat di buka, menandakan rumah ini memang jarang di buka. Jadi engsel pintu karatan. Angin dari luar langsung membawa daun ke dalam rumah.
“Wah harus kerja keras ini sepertinya.’’ ucap Dimas anak tertua. Umurnya lebih tua dua tahun dari Ambar.
“Bagian sini biar saja duku. Kita bersihkan saja bagian kamar, karena itu bagian terpenting. Soal dapur nanti papa telpon Mbok tukiem untuk membersihkan.’’ timpal Darma.
“Jadi kita tidur dimana ini?’’ tanya Della yang seumuran Ambar.
“Kiya di atas saja. Aku biasanya jika nginap di sini kamarnya di atas.’’ ucap Ambar cepat.
“Hm, baiklah. Semua telah memutuskan. Papa dan mama akan tidur di atas juga, termasuk kalian berdua. Nanti papa juga akan minta mbok tukiem dan pak Saimin nginap disini. ’’ tunjuknya pada ketiga putra nya.
Semua setuju dan meninggalkan ruangan yang luas itu. Semua barang-barang masih di tutupi kain putih, sehingga terlihat horor sekali. Padahal itu untuk menutupi barang dari debu.
.
Pukul 07.00 mereka berkumpul di ruang tamu. Kain yang menutupi sofa dan meja sudah di buka. Sebelum naik ke atas Darma sempat menyapu dan membereskan sedikit area ruang tamu.
“Kok sepi banget ya? Hem malah nggak ada signal lagi.’’ keluh Dimas. Dia yang biasanya jam segini akan nongkrong bersama temannya di cafe, mendadak harus tinggal di pelosok sini, apa tak membara hati pria muda ini.
“Kamu ini, ngeluh Mulu dari tadi. Dari pada kamu di Kota jadi pemulung, mending tinggal di sini. Lihat saja rumah Eyang ini! Rumah walikota saja kalah megahnya. Hussssh!’’ ucap Della mendengus.
Dimas menatap Della sengit. Ketika akan membalas perkataannya, Langsung di potong Papanya.
“Besok kalian akan mendaftar di kampus baru. Kalian masuk kampus yang sama, biar gampang juga pulang perginya. Di kota ini nggak kalah bagus kok. Jurusan kalian juga ada di kampus itu.’’ ucap Darma.
Mereka bertiga hanya mengangguk saja, mau menolak juga tidak bisa. Di sini harus srba menerima. Ada tempat tinggal saja sudah bersyukur, mana tempat tinggalnya megah lagi.
“Boleh minta sesuatu Pa?’’ tanya Della.
“hem?’’
“Pasang wifi dong. Jika ada tugas kuliah pasti butuh signal juga.’’ ucapnya santai.
“Alah! Bilang saja mau chat ayank’’ timpal Dimas.
.
.
“Hantuuuu!!!’’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments