Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Sang dua penjaga
Yama Mendrofa duduk di sudut ruangan rumah kayu itu, beralaskan tikar pandan yang sudah usang, dengan sebuah ransel kecil di sampingnya. Ia membuka jaket kulitnya, memperlihatkan kaus abu-abu ketat yang menempel pada tubuhnya yang penuh bekas luka dan garis-garis tato samar. Di dekatnya, Sasmita berdiri dengan tubuh tegap, senjata masih dalam jangkauan tangannya.
Ningsih memandang Yama dari seberang ruangan, masih tampak ragu, sedangkan Uwa Dargo duduk bersila dengan ketenangan seorang lelaki yang telah menyeberangi banyak dunia.
"Kau bilang namamu Yama. Tapi dari gayamu, bukan hanya ilmuwan biasa. Lalu siapa kamu sebenarnya?" tanya Sasmita, nada suaranya masih dingin, curiga.
Yama merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah ampul kecil berisi cairan berwarna biru tua, lalu menggulirkannya perlahan di lantai kayu ke arah Sasmita. "Kalau hanya pinter nyampur bahan kimia, aku udah mati waktu ketemu makhluk yang makan kepala manusia di pesisir Bengkulu. Aku bukan saintis biasa. Aku eksperimen gagal yang nggak jadi dibuang."
Sasmita menyipitkan mata. Ningsih menahan napas.
"Kau bicara seperti..."
"Monster?" potong Yama, senyumnya sinis. Ia membuka salah satu saku rahasianya, mengeluarkan jarum suntik berisi cairan bening berkilau kehijauan.
"Kalian belum percaya kalau aku bisa bantu kalian lawan makhluk seperti 'Ibu'. Dan aku ngerti. Dunia kalian pakai mantra, jimat, doa. Dunia gue pakai rumus, bahan sintetis, dan dosis racun yang tepat. Tapi hasilnya sama. Mau lihat?"
Sebelum ada yang bisa mencegah, Yama menyuntikkan cairan itu ke dalam pembuluh di lengan kirinya.
Dalam detik-detik berikutnya, tubuhnya kejang sesaat. Tangan kirinya bergetar hebat. Otot-ototnya menegang, kulitnya mengelupas sedikit demi sedikit—lalu membentuk lapisan baru yang tampak seperti bulu-bulu gelap mengeras. Jemarinya memanjang, berubah menjadi cakar tajam. Tulangnya berderak, membentuk sendi baru.
Tangan kiri Yama berubah total. Menjadi tangan binatang buas. Seperti werewolf. Tapi dengan struktur kimiawi yang terlihat mendesis, menguap, dan masih berdenyut.
Ningsih menjerit kecil dan mundur satu langkah. Uwa Dargo membuka mata lebar-lebar, bahkan Sasmita mundur setengah langkah, tangannya merapat ke gagang senjata.
"Sialan..." gumam Sasmita. "Kau benar-benar mutan."
Yama menatap tangan barunya, lalu mengepal dan mengayunkan ke udara. Dari cakar itu, udara bergetar, mengeluarkan suara desis rendah seperti tekanan gas yang dilepaskan.
"Eksperimen ini dibuat untuk perang biologis. Tapi aku... 'mencuri' rumusnya, menyempurnakan, dan mengikatnya dengan enzim tubuhku sendiri. Aku bisa aktifkan satu bagian tubuh—tanpa kehilangan kesadaran."
"Tapi... bagaimana kamu bisa... ini bukan cuma ilmu pengetahuan biasa," bisik Ningsih. Matanya tak lepas dari tangan Yama yang kini mulai perlahan kembali normal, kulitnya tumbuh kembali, kuku mengerut, otot menyusut seperti tak pernah berubah.
"Aku pernah kerja sama dengan kelompok riset yang mencoba menjembatani ilmu dan okultisme. Kombinasi dari dua ekstrem. Dan di situlah aku belajar: kalau ingin lawan iblis, jangan cuma pakai doa... pakai juga racun yang bisa larut di darah roh."
Uwa Dargo mengangguk perlahan. "Kau... sudah meminum sebagian kegelapan itu. Tapi kau belum dikuasai. Itu jarang."
Yama hanya menjawab dengan mata yang tak menunjukkan bangga atau takut. Hanya lelah. Dan kesadaran penuh.
Sasmita, yang tadinya bersikap kaku, akhirnya duduk. "Jadi kamu bukan cuma anak lab yang sok pamer gadget."
"Gadget nggak bisa bikin tangan jadi monster. Tapi ya, aku masih nggak bisa baca mantra. Itu urusan kalian. Aku backup dari sisi lain."
Ningsih duduk perlahan, tapi matanya masih menatap Yama dengan bingung. "Kamu yakin bisa bantu kami? Yang kami lawan bukan sekadar siluman biasa. Dia—Nyai Rante Mayit—dia bukan makhluk dunia ini."
"Dan itu kenapa kita harus gabungin semua kekuatan yang bisa kita kumpulkan," jawab Yama, nadanya tegas. "Karena satu pendekatan aja nggak bakal cukup."
Uwa Dargo berdiri, mengambil kendi dan menuangkan teh pahit ke cangkir tanah liat. Lalu satu per satu memberikannya kepada mereka.
"Kalau malam ini kalian sudah bersatu dalam satu atap, maka takdir sudah mulai menyulam benangnya. Tapi kalian belum lengkap. Masih ada bayangan lain yang harus tiba sebelum langit benar-benar runtuh."
Sasmita menatap ke luar jendela, ke arah gunung yang mulai diselimuti kabut tebal berwarna kelabu.
"Kalau mereka datang terlambat, kita semua bisa jadi korban pertama."
"Atau saksi terakhir," bisik Yama.
Dan di luar sana, di balik kabut yang menyelimuti Desa Gunung Jati, terdengar suara gamelan kuno yang bergema... tapi tak berasal dari dunia ini.
Ningsih memandangi dua orang asing di hadapannya—Sasmita dengan aura pemburu dingin dan waspada, dan Yama yang kini tengah menjelaskan struktur senyawa racun sintetik seakan mereka sedang duduk di laboratorium, bukan di rumah kayu reyot peninggalan keluarganya.
Tapi Ningsih tak lagi mendengar percakapan itu.
Dunia di sekelilingnya pelan-pelan mengabur. Suara hujan rintik di atap seng, gemeretak api di tungku belakang, bahkan denting sendok kecil yang tak sengaja dijatuhkan Uwa Dargo di dapur—semuanya tenggelam dalam gelombang pikiran yang meluap dari dalam dirinya.
“Tolong... selesaikan semua ini cepat...” suara hatinya lirih, getir.
Ia memandangi Sasmita, yang sedang menyusun peluru berukir mantra dengan tenang. Tangannya cekatan, matanya tajam, seperti harimau betina yang tak akan mundur walau dunia runtuh. Lalu ia menoleh ke Yama, yang kini sedang menyimpan kembali vial kimia di balik jaket labnya yang dipenuhi kantong rahasia.
“Kenapa orang-orang sekuat ini baru datang sekarang? Kenapa bukan waktu itu, saat aku kecil, saat Ibu mati, saat suara gamelan mulai terdengar dari balik kamar dan aku belum tahu maknanya?”
Dadanya terasa sesak. Ia menarik napas pelan, mencoba meredam guncangan yang mulai muncul lagi dari dalam perut—bukan rasa takut, bukan juga kesurupan—tapi semacam trauma yang belum selesai, luka yang membusuk pelan tanpa pernah diberi kesempatan sembuh.
“Apa salahku dilahirkan dari darah ini? Dari keturunan yang katanya membawa kutuk? Kenapa harus aku yang diwarisi nama Rante Mayit?”
Pandangan Ningsih menurun ke tangannya sendiri. Tangan yang dulu hanya tahu cara membuat teh manis dan menyalakan lilin malam Jumat. Tangan yang sekarang gemetar tiap kali mendengar kata “IBU”.
Ia ingat darah di kamar kos. Ingat Rokif yang terseret, masih menyebut namanya. Ingat jeritan yang bukan dari dunia ini. Dan ingat tulisan di dinding itu.
IBU SUDAH BANGKIT.
Kata-kata itu tidak hanya tertulis, tapi terasa seperti ukiran di tulang punggungnya. Seperti bisikan yang tidak akan pernah benar-benar diam. Ia memejamkan mata, menahan air yang mendesak keluar.
“Aku cuma ingin hidup biasa. Kerja di kota, pulang saat lebaran, mungkin nikah. Aku nggak pernah minta jadi pewaris. Aku bahkan nggak kenal siapa yang kupanggil 'Ibu' dalam tulisan darah itu.”
Matanya terbuka kembali. Kini ia menatap punggung Yama dan Sasmita yang masih membahas pertahanan ritual. Tapi pandangannya menembus lebih dalam dari sekadar visual.
“Tapi kalau mereka berdua bisa selesaikan ini... Kalau mereka bisa menutup portal itu, menghentikan suara gamelan, menyingkirkan semua yang membuatku merasa terikat... maka aku akan ikut. Aku akan bantu, walaupun aku cuma manusia biasa.”
Ia mengatupkan bibir. Wajahnya kini jauh lebih tenang dari sebelumnya. Tidak lepas dari rasa takut—tapi ada sesuatu yang baru. Sebentuk tekad samar, seperti api kecil yang baru dinyalakan di tengah kabut gelap.
“Karena aku ingin bebas. Bukan hanya dari arwah. Tapi dari bayangan yang selalu bilang aku adalah bagian dari kejahatan. Aku ingin tahu... apakah aku bisa jadi baik.”
Sasmita sekilas melirik padanya. Mungkin karena ia menyadari tatapan itu terlalu dalam. Tapi Ningsih hanya mengangguk singkat, seolah berkata: lanjutkan, aku dengar, aku di sini.
Dan di antara suasana sunyi yang kental oleh pertarungan antara ilmu, kutukan, dan kematian, tak ada yang menyadari bahwa di balik mata seorang gadis muda yang tampak biasa... sedang tumbuh benih dari sesuatu yang sangat luar biasa.