Kevin cuma anak SMA biasa nggak hits, nggak viral, hidup ya gitu-gitu aja. Sampai satu fakta random bikin dia kaget setengah mati. Cindy cewek sejuta fans yang dielu-elukan satu sekolah... ternyata tetangga sebelah kamarnya. Lah, seriusan?
Cindy, cewek berkulit cerah, bermata karamel, berparas cantik dengan senyum semanis buah mangga, bukan heran sekali liat bisa bikin kebawa mimpi!
Dan Kevin, cowo sederhana, dengan muka pas-pasan yang justru dipandang oleh sang malaikat?!
Gimana kisah duo bucin yang dipenuhi momen manis dan asem ini selanjutnya!? daripada penasaran, mending langsung gaskan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasih Karunia Malaikat
Cindy mengulurkan kantong kertas dengan kedua tangan, senyum tipis menghias bibirnya. "Makasih banyak buat kemarin. Ini celana yang kamu pinjamin," ujarnya lembut sambil menatap Kevin yang sedang duduk di kursi.
Seperti rutinitas mereka, gadis berkuncir itu datang membawa dua barang: tupperware berisi makan malam dan kantong kertas lain yang digenggamnya erat. Kevin mengamati isi kantong itu dengan penasaran. Pasti jaket parka dan celana jersey yang ia pinjamkan Jumat lalu, pikirnya. Dari bentuknya yang rapi, jelas Cindy melipatnya dengan hati-hati.
"Gimana cedera pergelangan kakimu?" tanya Cindy sambil mengambil posisi duduk di hadapan Kevin, matanya menyapu perlahan dari wajah ke kaki pria itu.
Kevin menggerakkan pergelangan kakinya perlahan. "Udah enggak sakit. Dokter bilang istirahat dulu, jadi aku enggak bakal olahraga berat sampai bener-bener sembuh," jawabnya sambil mengangkat celana panjangnya sedikit untuk menunjukkan perban elastis yang masih melilit pergelangannya.
Cindy mengangguk puas. "Ya udah gapapa. Aku perhatiin kamu cuma duduk di pinggir lapangan pas jam olahraga tadi siang kan?"
"Iya, guru juga ngasih dispensasi," sahut Kevin sambil mengingat wajah-wajah penasaran teman sekelasnya yang melihatnya tidak ikut bermain basket.
Sepanjang pelajaran olahraga tadi, dari kejauhan Kevin bisa melihat Cindy sesekali melirik ke arahnya. Gadis itu tampak memastikan ia baik-baik saja meski tak mendekat. Sikap waspada tapi penuh perhatian yang khas Cindy, pikir Kevin. Meski terlihat tidak kesakitan, tapi dari caranya sesekali memijat pergelangan kaki, jelas lukanya belum pulih sepenuhnya.
Melihat anggukan Kevin, Cindy tersenyum kecil. Ekspresi itu tiba-tiba mengingatkan Kevin pada senyuman Cindy Jumat lalu yang membuat para siswa laki-laki di sekitarnya heboh. "Tapi, kayaknya sih Angels emang populer banget ya," ujarnya tiba-tiba. "Cuma senyum dikit aja langsung bikin cowok-cowok pada gempar."
Cindy langsung mengerutkan kening, wajahnya berubah masam. "Udah aku bilang berapa kali, jangan panggil aku begitu!" suaranya meninggi sedikit. "Aku juga risih tau. Emangnya itu hal yang patut disyukurin?"
Kevin tertawa geli melihat reaksi gadis itu. "Ya namanya juga cewek cantik senyum ke mereka. Kamu liat sendiri kan betapa hebohnya cewek-cewek pas Rasya sekedar melambaikan tangan tadi pagi?"
"Rasya..." Cindy mengernyitkan dahi, mencoba mengingat. "Oh yang populer itu ya?" Ekspresinya datar, bahkan cenderung tidak tertarik. Baru setelah Kevin memberi penjelasan lebih lanjut, ia tampak mengingat wajah siapa yang dimaksud.
Padahal cowok itu cukup terkenal di sekolah. Kevin agak terkejut melihat betapa Cindy sama sekali tidak mengenalinya hanya dari sebutan nama.
"Kamu enggak tertarik sama dia?" tanya Kevin penasaran, menyandarkan tubuh ke belakang.
Cindy menggeleng cepat. "Enggak. Kita beda kelas, jarang ketemu juga."
"Tapi..." Kevin mengejek. "Cewek-cewek lain pada suka banget loh bilang dia keren. Katanya sih cowok sempurna."
"Lagipula dia emang ganteng," sahut Cindy datar. "Tapi aku belum pernah ngobrol atau ada urusan sama dia. Buat aku dia bukan orang penting."
Kevin berseru kaget. "Wah santai banget sih lo. Padahal tadi aja pas dia lewat, setengah kelas perempuan langsung ribut."
Cindy tiba-tiba menatap tajam ke arah Kevin, matanya berbinar licik. "Kalau orang bisa jatuh cinta cuma karena tampang," ujarnya perlahan. "Terus kenapa kamu enggak jatuh cinta sama aku?"
"Waduh," Kevin terkikik geli, menyembunyikan kejengkelan di balik senyuman. "Sekarang baru sadar ya kalau kamu itu imut?"
Tapi ucapan Cindy ternyata punya bobot lebih dalam. Percakapan ini menyentuh sesuatu yang fundamental, pikir Kevin. Memang, ketampanan atau kecantikan bisa jadi alasan seseorang punya perasaan, tapi bukan jaminan untuk disukai.
Setelah mengakui hal itu dalam hati, Kevin harus jujur mengakui bahwa Cindy memang cantik. Yang membuatnya terkejut adalah bagaimana Cindy menyadari sepenuhnya fakta itu dan mengakuinya dengan polos, tanpa pretensi.
"Di sekelilingku selalu rame," Cindy melanjutkan sambil memainkan ujung kuncirnya. "Mau enggak mau aku tahu efek yang aku bawa. Secara objektif aku ngerti penampilanku lumayan, aku enggak nutupin itu." Suaranya jernih, tanpa sedikit pun kesan sombong atau tinggi hati.
Faktanya, pikir Kevin sambil mengamati Cindy dari ujung kepala ke kaki, gadis itu jelas melakukan banyak hal untuk mempertahankan kecantikannya. Wajahnya memang sudah cantik alami, tapi dia tidak berhenti di situ.
Rambutnya yang berkilau seperti punya cahaya sendiri, cocok dengan julukan Angel yang disandangnya. Kulitnya mulus tanpa cacat, seolah tak pernah tersentuh jerawat. Yang membuat Kevin heran, meski sering mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tangan Cindy tetap halus dengan kuku yang selalu rapi dipotong.
Belum lagi tubuh proporsional dengan lekuk yang pas. Semua itu pasti butuh perawatan ekstra dan disiplin, bukan hasil instan semalam.
"Bener sih," Kevin akhirnya mengakui. "Yang kamu bilang itu fakta. Aku juga enggak merasa enggak nyaman mendengarnya." Dia jeda sejenak. "Jadi... kamu enggak malu dipuji gitu?"
Cindy menghela napas panjang, seperti sedang memikirkan jawaban terbaik. "Aku bakal risih kalau dipuji berlebihan sama orang lain," ujarnya akhirnya. "Cantik itu..." dia berhenti mencari kata. "Ada konsekuensinya sendiri."
"Tapi ada kompensasinya juga kan?" Kevin menyeringit. "Jadi enggak sepenuhnya buruk."
Cindy memiringkan kepalanya. "Kamu bikin ini kayak urusan orang lain aja," komentarnya sambil mengangkat alis.
"Hah?" Kevin berpura-pura terkejut. "Maunya aku jawab sambil malu-malu dan berkacak pinggang gitu?"
"Enggak juga," Cindy tertawa kecil. "Aku tahu bakal canggung banget buatku kalau harus berlagak kayak gitu di depan kamu."
"Ya kali ya," Kevin mengangguk setuju. "Aku juga rasa enggak ada gunanya pura-pura di depan kamu."
"Iya," sahut Cindy cepat.
Dalam hati, Kevin merasa akan sangat tidak nyaman jika Cindy tiba-tiba mengubah cara bicaranya yang ceplas-ceplos menjadi penuh basa-basi. Akan lebih aneh lagi jika gadis itu memperlakukannya seperti memperlakukan orang lain di sekolah. Dia jauh lebih suka Cindy yang sekarang ini jujur, blak-blakan, dan nyaman.
"Kalau kamu tiba-tiba bertingkah kayak Angel versi sekolah di sini," Kevin bergidik sambil menggerakkan jarinya melingkar. "Aku malah bakal merinding dan kabur."
Yang dikenal Kevin adalah Cindy yang ada di hadapannya sekarang tanpa topeng, tanpa kepura-puraan. Bukan persona sekolahnya yang sempurna dan dingin. Keduanya sepakat tanpa kata bahwa keadaan sekarang jauh lebih baik.
Pandangan Kevin kemudian beralih ke tupperware di atas meja yang dibawa Cindy. Kali ini porsinya lebih besar dari biasanya, berisi beberapa macam lauk yang terlihat menggiurkan. Lebih mirip kotak bekal makan siang lengkap daripada sekadar sisa makanan seperti biasanya.
"Loh banyak banget hari ini?" tanyanya penasaran sambil membuka tutupnya.
Cindy tersenyum bangga melihat reaksi Kevin. "Ya iyalah, soalnya kamu udah nemenin aku waktu itu."
"Kan udah kubilang kamu enggak perlu balas budi." Tiba-tiba mata Kevin berbinar melihat isi wadah. "Wah, ada kroket!"
Jangan pernah meremehkan kroket, pikir Kevin sambil mengendus aroma sedap yang keluar dari wadah. Meski sering dijual sebagai lauk biasa di supermarket, masakan ini terkenal sulit dibuat di rumah dengan sempurna.
Dalam benaknya, Kevin membayangkan proses panjang pembuatan kroket: mengukus kentang sampai empuk, menggorengnya sebentar, mencampur dengan daging cincang dan bawang yang sudah ditumis, membentuk adonan bulat atau oval, mendinginkannya di kulkas, melumuri dengan tepung panir, lalu menggorengnya dalam minyak panas yang banyak. Banyak banget tahapannya!
Sebagai orang yang tidak bisa masak, Kevin masih ingat betapa repotnya ibunya membuat ini dulu. Seringkali ibunya menolak ketika dia meminta, dengan alasan terlalu merepotkan untuk sekadar lauk.
"Aku cuma goreng bahan beku kok," ujar Cindy tiba-tiba, menyadari tatapan takjub Kevin. Suaranya terdengar sedikit defensif.
Tapi Kevin sudah melihat keahlian memasak Cindy. "Jadi kamu juga bikin ayam goreng?" tanyanya sambil menunjuk potongan ayam berwarna keemasan di sudut wadah.
"Iya," jawab Cindy singkat.
Selama tinggal sendiri, satu-satunya gorengan yang dimakan Kevin adalah lauk kemasan dari toko. Karena itu, ia sangat bersyukur bisa menikmati masakan rumahan buatan Cindy. Apalagi ayam gorengnya renyah di luar tapi juicy di dalam, persis seperti buatan ibunya dulu.
Kalau dia sedikit lebih rakus, mungkin akan meminta makan langsung di apartemen Cindy biar bisa menikmatinya saat masih panas dan renyah, pikirnya.
"Pengen banget makan yang baru matang gitu," ujarnya tanpa berpikir, lebih kepada dirinya sendiri.
Karena alasan kebersihan, Cindy pasti mendinginkan makanannya sebelum memasukkannya ke wadah. Itu berarti Kevin harus menghangatkannya lagi di oven sebelum dimakan. Memang oven bisa mengembalikan sebagian kerenyahannya, tapi tetap tidak akan sama dengan tekstur yang baru keluar dari penggorengan.
Tentu saja tetap enak, tapi paling mantap kalau bisa makan langsung dari wajan, pikir Kevin sambil membayangkan kroket yang masih berdesis dan ayam goreng yang uapnya mengepul.
Ucapannya itu cuma gumaman tanpa maksud tertentu, tapi mungkin terdengar agak menuntut, karena tiba-tiba Cindy mengerutkan keningnya.
"Jadi..." Cindy memulai dengan suara hati-hati. "Kamu mau aku masuk ke rumahmu masak langsung gitu?"
Kevin terbatuk kaget. "Aku enggak bilang gitu!" protesnya cepat. "Kamu udah berbagi makanan sama aku, kalau minta lebih lagi kan keterlaluan." Dia mengangkat bahu sambil berusaha terlihat santai.
Cindy diam sejenak, menaruh telapak tangan di bawah dagunya sambil menunduk. Gadis itu tampak serius memikirkan sesuatu, sengaja menghindari kontak mata dengan Kevin.
"Setengah," ujarnya tiba-tiba.
Kevin mengernyitkan dahi. "Hah?"
"Kalau kita patungan setengah biaya bahan," Cindy menjelaskan perlahan, matanya masih menatap lantai. "Aku akan pertimbangkan untuk masak di rumahmu."
Ucapan serius itu membuat Kevin terkejut. Itu cuma candaan atau gagasan spontan, tapi dia tidak menyangka Cindy benar-benar mempertimbangkannya dengan serius.
Dalam benaknya, Kevin bertanya-tanya: Biasanya ada cewek yang mau masak di rumah cowok yang tidak terlalu dekat? Meski lebih efisien, mereka beda jenis kelamin dan tidak terlalu akrab. Pasti tidak nyaman bagi Cindy.
"Dengar," Kevin mulai dengan hati-hati. "Aku dengan senang hati mau patungan separuh biaya, soalnya aku udah dapet banyak darimu. Tapi..." dia ragu sejenak. "Kamu enggak takut bahaya? Aku cowok loh."
Cindy tiba-tiba menatap tajam ke arah Kevin, matanya menyala seperti singa betina yang siap menerkam. "Kalau kamu berani macam-macam," ujarnya dengan suara rendah tapi penuh tekad. "Aku akan menghancurkanmu. Secara fisik." Dia jeda untuk efek dramatis. "Tidak bisa diperbaiki lagi."
Kevin spontan mengangkat kedua tangan seperti sedang ditodong. "Waduh serem amat," ujarnya setengah bergurau, meski sebenarnya agak ngeri dengan intensitas tatapan Cindy.
"Lagipula," lanjut Cindy dengan nada lebih ringan. "Meski aku enggak ngapa-ngapain, kamu juga enggak akan berani. Kamu tahu posisiku di sekolah kan?"
Kevin mengangguk pelan, tiba-tiba menyadari implikasi sebenarnya. "Kalau aku berani macam-macam sama kamu," ujarnya perlahan. "Aku bakal mati."
Ada jurang popularitas besar antara Kevin dan Cindy. Jika Cindy bilang Kevin melakukan sesuatu yang tidak pantas padanya, bisa dipastikan Kevin tidak akan bisa lagi menginjakkan kaki di sekolah itu. Para penggemar Cindy akan memusuhinya, guru-guru tidak akan percaya padanya, dan reputasinya akan hancur seketika.
Dia tahu konsekuensi bunuh diri sosial semacam itu. Bagaimanapun, dia bukan idiot yang tidak bisa menahan diri. Atau lebih tepatnya, dalam hati kecilnya, dia memang tidak punya niat buruk terhadap Cindy.
"Dan juga..." ujarnya tiba-tiba, lebih kepada dirinya sendiri.
Cindy menyilangkan tangan. "Dan juga apa?" tanyanya penasaran.
Kevin menatap Cindy sejenak sebelum menjawab. "Kamu kayaknya enggak tertarik sama orang kayak aku," ujarnya jujur.
Kesimpulan itu, ditambah dengan ekspresi serius yang tiba-tiba menghias wajah Cindy, membuat Kevin tersenyum kecut.
"Gimana kalau aku bilang kamu tipeku?" tantang Cindy, matanya berbinar menantang.
Kevin berpura-pura merenung sejenak sebelum menjawab. "Kamu akan cerewet terus," ujarnya sambil menunjuk ke arah Cindy. "Dan aku akan jaga jarak aman." Dia membuat gerakan mundur dengan tangannya.
"Nah, kamu sendiri juga tahu," sahut Cindy cepat, senang bisa memenangkan argumen ini.
Kevin mengangkat bahu. "Oke, aku ngerti kamu orang yang aman untuk sekarang."
"Terima kasih pujiannya," ujar Cindy sambil menyeringit, jelas menikmati situasi ini.
Dalam hati, Kevin memang tidak punya niat buruk pada Cindy, jadi tidak ada alasan untuk menyangkal. Justru dengan status "cowok tidak berbahaya" ini, dia mendapat hak istimewa yang tidak dimiliki orang lain makan malam buatan tangan Cindy yang masih hangat dan lezat.
Sambil mengamati Cindy yang sedang memeriksa isi kantong plastik berisi pakaian yang akan dibawanya pulang, Kevin tersenyum kecil. Hubungan mereka mungkin aneh bagi orang luar, tapi entah mengapa, justru terasa sangat tepat bagi mereka berdua.