Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Dia datang lagi
Matilda mengambil kantong plastik di lantai lalu menyerahkan pada Varania, "ibu belum memasak untuk makan malam, jadi ibu beli makanan di luar. Kamu pindahin ke piring ya,"
"Iyaa," Varania mengambilnya kemudian pergi ke ruang belakang, memindahkan makanan di plastik ke dalam piring lalu ia duduk termenung di meja makan.
Bayangan itu dan sosok yang menyerupai ibunya, siapa mereka sebenarnya? Benarkah sosok itu ada karena ia menyalakan ponsel di malam hari?
Tapi, kalau mereka makhluk halus, sejak kapan bermain ponsel di malam hari bisa memanggil mereka?
"Huft! Pusing banget," Varania meletakkan kepalanya di meja makan, menggunakan jarinya untuk mengetuk bagian bawah meja.
"Kamu nggak makan?" Tanya Matilda menarik kursi di depan Varania, menatap putri satu-satunya dengan heran.
"Bentar lagi Bu," jawab Varania mengangkat kepalanya, mengamati wajahnya ibunya yang sudah memiliki kerutan di beberapa bagian.
"Makan sekarang aja Ra, sebentar lagi kamu harus mengantar pesanan." Kata Matilda sambil mengambilkan nasi untuk Varania.
" Libur sesekali dong Bu," pinta Vara dengan wajah memelas, ia menyuap nasi dengan malas-malasan. Ia sebenarnya belum terlalu lapar, tapi karena ibunya sudah mengambilkan nasi untuknya, Varania tentu harus makan.
"Nggak ada. Satu jam lagi ada pengantaran ke perbatasan." Kata Matilda, dia pergi ke dapur untuk membuat pesanan meninggalkan Varania sendirian di meja makan.
Varania mengeluarkan ponselnya, ia menatap serius pada nomor asing yang beberapa hari lalu menelponnya. Setelah ragu-ragu dalam waktu lama Varania menelepon nomor itu.
Nomor yang anda tuju tidak valid.
"Lho, nomornya nggak terdaftar." Varania meletakkan ponselnya, ia melanjutkan makannya yang tertunda. Tidak bisa seperti ini terus, Varania harus mencari tahu bayangan siapa yang sering ia lihat itu.
Varania melirik ke pintu dapur, ibunya sedang sibuk membuat pesanan. Varania dengan cepat masuk ke kamar ibunya, bayangan terakhir yang ia lihat sebelum sosok yang berpura-pura menjadi ibunya muncul, ada di dekat lemari.
Varania menutup pintu kamar Matilda. Ia mengamati lemari di sudut kamar dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai jawaban dari pertanyaan yang memenuhi kepalanya saat ini
Lemari ini adalah lemari paling tua yang ada di rumah ini, Varania tidak pernah melihat ibunya membuka lemari tersebut. Kata ibunya, di dalamnya ada baju-baju lama yang tidak terpakai dan tidak perlu juga di buka.
Tapi, sekarang Varania ingin tahu isi lemari itu, ia ingin melihat sendiri apa yang ada di dalamnya.
Terkunci.
Lemarinya tidak bisa dibuka, Varania mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Di dekat jendela ada beberapa kunci yang tergantung di dinding, Varania mengambilnya dan membawanya ke lemari untuk dicoba satu persatu.
Tidak ada satupun kunci yang cocok.
"Pasti ada sesuatu yang disembunyikan ibu, kalau nggak mana mungkin kuncinya di sembunyikan." Varania meletakkan tangan di dagunya, berpikir bagaimana cara membuka lemari yang sangat membuatnya penasaran.
"Vara, kamu harus mengantarkan pesanan ke perbatasan sekarang." Teriak Matilda dari dapur, suaranya keras dan tentu terdengar ke seluruh penjuru rumah.
Untuk sementara Varania mengubur keinginannya menyelidiki isi lemari, ia keluar dari kamar ibunya dan mengambil mantel hujan yang disimpan di belakang pintu kamarnya.
"Mana pesanan yang harus aku antarkan?" Tanya Varania
Matilda membawa dua kotak lumayan besar yang berisi pesanan tentara perbatasan.
"Aku berangkat ya Bu," Varania dengan cepat mengambil alih, ia mencium tangan ibunya lalu bergegas pergi.
Sekarang sudah hampir pukul tujuh malam, Varania mengendarai motornya dengan pikiran yang melalang buana. Ia juga memikirkan tentang kuliahnya, sudah beberapa hari sejak mengirim formulir tetapi masih belum ada kabar dari pihak kampus.
Ia juga sudah beberapa kali bertemu Celine, dan temannya itu juga tidak mengatakan apa-apa mengenai pendaftaran itu.
Perjalanan menuju perbatasan tidak mengalami kendala, selain hujan yang masih turun dan kabut yang membatasi jarak pandang sehingga Varania harus mengendarai motor dengan hati-hati.
Melewati jembatan dekat rumah duka, mata Varania menyipit melihat ke seberang jembatan. Bayangan perempuan berambut panjang itu ada disana, seperti biasa bayangan itu hanya diam. Namun di tengah cuaca mendung dan cahaya lampu jalan yang sudah redup, bayangan itu terlihat jelas.
Brak!
Terlalu fokus memperhatikan bayangan itu, Varania tidak sengaja menabrak mobil yang kebetulan berpapasan dengannya. Orang yang mengemudi mobil itu dengan cepat menekan rem, begitu juga Varania dengan refleks menekan rem namun motornya tetap terjatuh dan sebelah kakinya terhimpit badan motor.
"Aw!" Varania mengangkat telapak tangannya yang berdarah karena bergesekan dengan aspal jalan.
"Kamu memang selalu menimbulkan masalah ya?" Pintu mobil terbuka, lalu bersamaan dengan seseorang turun dari mobil sebuah suara bernada datar bertanya.
Varania mengangkat kepalanya, ia hampir saja mengumpat. Dari sekian banyak orang yang bisa ia tabrak, kenapa harus Fardan? Bos menyebalkan itu pasti akan mempersulitnya.
Fardan menyingkirkan payung di tangannya, lalu menegakkan motor yang terjatuh. Varania berdiri dengan hati-hati, ia melirik Fardan yang sudah berada di bawah payungnya. Pria itu menatap Varania dengan tatapan tajam seperti biasa.
' nih orang kayaknya mau membuat pisau dari mata, tajam banget itu tatapannya.' Varania mencela dalam hatinya.
"Maaf bos, nggak sengaja." Kata Varania sambil tersenyum paksa, berusaha untuk terlihat ramah dan memasang raut wajah bersalah.
"Kamu mau kemana hujan deras begini?" Tanya Fardan.
"Eum...itu, aku mau mengantarkan pesanan ke perbatasan." Jawab Varania memakai tudung mantelnya.
"Ayo saya antar."
Varania menatap Fardan tidak percaya, sejak kapan bosnya itu bisa bersikap baik layaknya manusia? Varania menggeleng, tidak mungkin Fardan berbaik hati mengantarkannya, pasti Fardan memiliki niat terselubung.