NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lampu, Sorotan dan Undangan Yang Mengejutkan

Ajie belum sempat menutup pintu ketika ponselnya bergetar di saku jaketnya. Masih ada aroma rambut Melly yang tertinggal di pundaknya, dan udara hangat dari pelukan mereka belum benar-benar menghilang. Tapi kenyataan datang cepat. Dan kadang, terlalu cepat.

Ia menghela napas sebelum menatap layar ponsel.

Faisal Calling.

Ajie mengangkat tanpa pikir panjang.

“Ada apa, Sal? Gue lagi... ya, baru aja.”

“Lo harus duduk,” suara Faisal di seberang terdengar campur aduk antara gugup dan bersemangat. “Lo tahu Formula E yang besok malam, kan?”

“Yang di Ancol itu? Ya, terus?”

“Gue baru ditelepon sama orangnya—langsung dari CEO Formula E Asia Tenggara. Bro, mereka mau kerja sama. Bukan main-main. Mereka bilang... mereka mau ‘The Painters’ jadi sponsor utama!”

Ajie terdiam. Sponsorship? Cat The Painters? Itu baru jalan dua bulan.

“Mereka tahu produk kita masih uji pasar?” tanya Ajie setengah nggak percaya.

“Lo gak denger bagian terbaiknya,” Faisal menahan napas, “Mereka minta lo hadir. Langsung. Sebagai The Painters. Bukan Ajie. Lo dan armor lo, besok malam, di acara gala pre-race mereka. Full show. Kayak Tony Stark nyelonong ke pesta amal!”

Ajie memejamkan mata sejenak. Antara bingung, senang, dan sedikit mual karena masih kebayang kata-kata Melly barusan: “Aku harus kembali ke Batara Raya.”

“Gue butuh waktu mikir,” gumam Ajie pelan.

“Lo punya kurang dari dua puluh empat jam,” Faisal menjawab cepat. “Gue udah bilang lo orangnya. Mereka bakal kirim undangan resmi ke email perusahaan siang ini. Dan bro... ini bisa bikin nama The Painters langsung meledak di Asia.”

Ajie mengangguk kecil, walau Faisal tak bisa melihat. “Oke. Kirim semua detailnya ke gue. Gue pikirin.”

Begitu telepon ditutup, Ajie melangkah ke sudut bengkel, tempat armor ungunya berdiri diam dalam bayang. Spectrum Core Suit. Diam-diam, alat itu seperti hidup. Seperti ikut mendengar setiap kata yang baru saja dikatakan Faisal.

“Lu siap naik panggung lagi?” bisik Ajie pelan.

Dan entah kenapa, lampu kecil di dada armor itu berkedip satu kali. Seperti menjawab.

 

Keesokan malam.

Langit Jakarta dibanjiri cahaya sorotan dan suara mesin mobil listrik menderu di kejauhan. Sirkuit Formula E di Ancol berubah jadi panggung mewah. Karpet merah dibentangkan, selebritas lokal, pebalap internasional, dan petinggi perusahaan besar saling bersalaman, berpose, dan beradu kemewahan.

Tapi ada satu nama yang dinanti. Bukan pebalap, bukan aktor. Bukan pula politisi.

Mereka menunggu: The Painters.

Di balik panggung utama, di sebuah ruangan khusus yang dijaga dua petugas keamanan, Ajie berdiri mengenakan setelan kasual hitam. Spectrum Core Suit berdiri di belakangnya, bersandar di tempat gantungan khusus.

Faisal menghampirinya, membawa secangkir kopi. “Lo deg-degan?”

Ajie mengangkat alis. “Gue pake baju warna-warni, naik ke panggung yang penuh orang tajir dan kamera. Gimana menurut lo?”

Faisal nyengir. “Lo bukan superhero kaleng-kaleng. Mereka nunggu bukan cuma cat lo, tapi pesan lo.”

Ajie menatap armor itu. Ingat saat pertama kali dia pakai—bukan buat pesta, tapi buat bertahan hidup. Lawan Junkcore. Selamatin Faisal. Kabur dari fasilitas eksperimen.

Sekarang... dia dipanggil buat tampil.

“Lo yakin gak salah pilih orang?” tanya Ajie pelan.

Faisal menepuk bahunya. “Lo The Painters, Ji. Lo bukan cuma maskot perusahaan. Lo bukti bahwa kita bisa bangun sesuatu dari nol. Dari luka. Dari cat yang seharusnya bikin lo mati, tapi malah bikin lo hidup.”

Ajie diam. Lalu tersenyum tipis. “Oke. Biarin mereka tahu siapa kita.”

Ia melangkah ke depan armor itu, lalu menekan tombol kecil di sisi helm. Dalam hitungan detik, potongan demi potongan armor mulai menempel ke tubuhnya, seperti puzzle yang menyatu sempurna. Warna ungu gelap berkilau di bawah cahaya lampu ruang ganti, dengan garis-garis warna mencolok yang berubah tergantung sudut pandang.

Saat helmnya terkunci, sebuah suara elektronik muncul dari sistem dalam suit.

“Paint Mode Activated.”

 

Sorakan menggema saat pintu sisi panggung terbuka. Musik mulai dimainkan, dentuman bass berpadu dengan suara MC:

“Ladies and gentlemen... please welcome, the one and only, superhero kebanggaan Jakarta... THE PAINTERS!”

Ajie melangkah keluar, penuh percaya diri. Armor-nya menyala lembut di malam hari. Semua mata langsung tertuju padanya.

Lampu sorot mengikuti setiap langkahnya. Kamera berputar. Beberapa wartawan berebut posisi. Seorang presenter TV nyaris pingsan karena excited.

Ajie hanya melambaikan tangan sebentar, lalu berdiri di tengah panggung.

“Saya bukan selebritas. Saya bukan pembalap,” suara Ajie terdengar jernih dari sistem speaker internal helmnya. “Saya cuma mekanik yang pernah dikira sampah.”

Hening sejenak.

“Tapi malam ini, saya berdiri di sini... bukan karena saya hebat. Tapi karena saya punya tim. Punya orang yang percaya sama saya. Dan karena kita semua pernah jatuh, tapi memilih untuk bangkit.”

Tepuk tangan meledak. Sorakan makin keras.

Ajie mengangkat tangan kanan, lalu dari pergelangan tangannya, ia menembakkan garis cat oranye ke langit malam. Di udara, cat itu meledak jadi kembang api warna-warni yang membentuk logo “THE PAINTERS”.

Anak-anak kecil berteriak kagum. Beberapa influencer langsung live streaming.

Di barisan kursi VIP, CEO Formula E tampak berdiri dan bertepuk tangan sambil tersenyum lebar.

Ajie melanjutkan, “Cat bukan cuma soal warna. Tapi tentang identitas. Kita semua punya warna masing-masing. Dan malam ini, gue mau semua orang tahu... bahwa warna lo itu penting.”

Kamera menyorot wajah para tamu yang mulai tersentuh.

Tiba-tiba, layar besar di panggung menampilkan cuplikan proses produksi cat eksklusif The Painters, dari pabrik sederhana di Jakarta hingga mobil balap Formula E yang sedang dipoles dengan warna eksperimental.

Ajie menunduk, lalu berkata pelan, “Kami bukan perusahaan cat. Kami revolusi.”

Dan dengan satu hentakan kaki, armor-nya mengeluarkan pola warna neon yang berputar cepat, membentuk lukisan cahaya di sekelilingnya. Gerakan itu seperti tarian cahaya—menghipnotis, tak terduga, penuh semangat.

 

Di belakang panggung, Faisal menerima SMS dari Melly.

“Gue liat live-nya. Lo pastiin dia tetap jadi Ajie, bukan topeng.”

Faisal mengetik cepat:

“Dia nggak berubah, Mel. Tapi lo tetap jadi yang ngerti sisi gelap dia.”

 

Acara berlanjut dengan musik, perkenalan pembalap, hingga presentasi kerja sama eksklusif antara Formula E dan The Painters. Logo perusahaan Ajie kini terpampang di salah satu mobil balap utama, warna catnya mencolok dan berani.

Saat Ajie turun panggung, wartawan langsung mengejarnya dengan pertanyaan.

“Apakah The Painters akan punya tim balap sendiri?”

“Apakah benar cat Anda bisa menyerap panas dan mempercepat aerodinamika?”

Ajie hanya tertawa kecil di balik helm. “Satu pertanyaan aja, ya: lo siap jadi lebih berwarna?”

 

Ketika malam makin larut dan pesta hampir usai, Ajie berdiri sendirian di balkon atas gedung acara, memandangi langit Jakarta.

Di sakunya, ada foto kecil yang baru dikirim Melly. Foto lama mereka berdua, waktu masih di bengkel tua, tertawa dengan baju kotor dan wajah penuh cat.

Ajie menghela napas. “Gue bikin ini bukan cuma buat lo, Mel. Tapi juga buat mereka semua... yang gak pernah dikasih panggung.”

Saat itulah, suara lirih muncul dari belakang. Faisal.

“Gimana rasanya jadi spotlight, Ji?”

Ajie menoleh. “Gue lebih suka jadi tangan di balik catnya.”

 

Dan tepat saat itu, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari Faisal.

Nomor asing. Dari Batara Raya.

Ajie menatap layar, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ia angkat telepon itu.

“Ajie di sini.”

Suara berat terdengar, dengan aksen barat tipis.

“Mr. Painters. Kami butuh Anda. Seseorang telah menyerang pusat teknologi di Batara Raya. Kami percaya ini bukan serangan biasa. Dan... kami pikir Torque Queen ada di lokasi.”

Ajie membeku.

Lalu menatap langit malam Jakarta satu kali lagi.

“Gue akan ke sana,” katanya. “Kirim koordinatnya.”

Telepon ditutup. Mata Ajie menajam. Tak ada lagi lampu sorot. Tak ada pesta.

Hanya panggilan dari tempat yang selalu jadi bagian hidupnya.

Ajie berjalan menjauh dari pesta, Spectrum Core Suit-nya kembali menyala pelan. Di layar helmnya, muncul peta digital menuju Batara Raya. Sebuah notifikasi berkedip:

"Incoming Threat: CODE BLACK - GLAMORA."

Ajie mengepalkan tangan.

Dan malam itu, The Painters bersiap turun panggung—untuk kembali ke medan perang.

Bersambung.....

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!