Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merajuk
Jelita Yunanda terbaring di ranjang, alat infus masih menempel di tangan mungilnya, namun wajahnya jauh lebih segar.
Mama Acha membuka kantong kresek besar berisi terang bulan yang masih hangat. Aroma manis langsung menguar memenuhi ruang VIP rumah sakit, membuat perut siapa pun yang mencium jadi keroncongan.
"Kakak kembar kamu kemana, sayang?" tanya Mama Acha sambil memotong satu potong terang bulan dan meletakkannya di piring kecil.
"Emm, keluar, Ma. Katanya mau ke markas sebentar," jawab Jelita sambil mencomot sejumput remah coklat di ujung piring.
"Huh, anak itu! Disuruh jagain adiknya malah pergi," keluh Papa Rendy sambil menggeleng. Suaranya meninggi sedikit.
"Awas aja kalau mereka datang nanti, Papa jewer kuping mereka berdua!"
Jelita tertawa pelan, mengangkat tangan seperti ikut mendukung.
"Bagus, Pa. Jewer saja. Lita dukung penuh."
Mama Acha menggeleng sambil tersenyum.
"Aduh, ini keluarga apa pasukan tempur sih. Baru sembuh udah ngajak tawuran."
"Bukan tawuran, Ma. Ini bentuk kasih sayang keluarga. Jeweran kasih sayang," jawab Jelita pura-pura serius, membuat Papa Rendy tertawa.
"Iya, iya, dasar kamu ini. Udah sehat, lidahnya makin pedas!"
Papa Rendy menjitak lembut kepala Jelita, yang langsung meringis dramatis.
"Ih, Papa! Baru sembuh nih, jangan rusak kepala Lita lagi dong!"
Tak berselang lama, pintu ruang rawat itu terbuka pelan, lalu dua kepala identik menyembul bersamaan di celah pintu. Reza dan Raza muncul dengan wajah penuh senyum
Nah itu dia, Pa! Mereka baru datang!" seru Jelita sambil menunjuk dramatis ke arah pintu.
Papa Rendy langsung berdiri tegap, menyilangkan tangan di dada, wajahnya berubah serius penuh wibawa.
"Kalian berdua kesini. SEKARANG."
Reza langsung melangkah masuk duluan, matanya menyipit. "Eh, ada apa sih?"
Raza menyusul, mengangkat kedua tangan ke atas seperti nyerah.
"Kalian disuruh jagain adik kalian malah pergi!"
Papa Rendy makin nyolot suaranya, bikin si kembar saling pandang, lalu spontan menunjuk satu sama lain.
"Raza yang ngajak, Pa!"
"Bukan! Reza yang bilang cuma sebentar!"
Jelita di tempat tidur menatap mereka semua sambil memakan terang bulan coklat kesukaannya.
Tiba-tiba Papa Rendy menarik kuping masing-masing kembar satu-satu.
"DASAR KAKAK DURHAKA!"
"Awww Pa sakit paaa!"
"Ini telinga buat denger, bukan buat ditarik-tarik, Pa!"
"Ya biar lain kali bisa dengerin perintah lebih jelas!" sahut Papa sambil lepasin telinga mereka berdua.
“Maaf, Pa!” sahut si kembar bersamaan.
Mama Acha tertawa kecil.
"Udah-udah, yang penting Lita tadi nggak sendirian. Kalian sudah makan belum kan? Mama dan Papa bawa terang bulan tadi. Masih ada sisa buat si kembar nggak, lit?" tanya Mama Acha sambil menatap Jelita.
"Tinggal remahan coklat doang, Ma," kata Jelita sambil nyengir.
Reza dan Raza langsung lemas.
"Ya ampun, telinga merah, perut kosong, jiwa lapar."
"Kalian Lebay deh!" ucap Jelita memutar bola mata nya.
Jelita menatap Mama dan Papa nya, ia merengut manja di tempat tidurnya.
"Ma, Pa, Jelita pengen cepet pulang, beneran deh. Di rumah sakit tuh, gak betah banget!"
Padahal ruangannya VIP. Ada sofa empuk, TV layar lebar, bahkan aroma ruangan pakai diffuser lavender. Tapi tetap saja, Jelita merasa pengap. Bukan karena fasilitas, tapi karena suasana.
Mama Acha menoleh cepat, nada suaranya setengah protes.
"Lho kamu baru juga sadar tadi sore, udah mau pulang aja? Istirahat dulu bentar, sayang."
Jelita menghela napas panjang, menatap langit-langit seperti drama queen. "Mamaaa, Jelita cuma pingsan di lantai. Bukan karena kecelakaan besar atau apa. Gak perlu drama rawat inap berhari-hari."
"Pingsan kepala kamu," potong Reza dengan alis terangkat.
"Kamu tuh amnesia! Bilangnya cuma pingsan. Lah terus otak kamu kemana waktu bangun gak kenal kita semua?"
"Iya tuh," timpal Raza, ikut-ikutan sok serius.
"Pas bangun, malah bertanya, 'Kalian siapa? salah masuk kamar?'"
Jelita garuk-garuk kepalanya. "Tapi, tetap saja, aku kan sudah sadar. Jadi, bolehkan pulang."
Papa Rendy geleng-geleng, berdiri di samping Mama Acha.
"Kamu ini keras kepala keturunan siapa sih? Pasti dari Mama, ya?"
"Enggak dong, dari Papa nya lah. Liat aja tuh," sahut Mama Acha sambil nyengir ke arah suaminya. "Sama-sama keras, makanya anaknya begini juga."
"Duh, Aku tuh sudah sehat! Aku juga bisa lari keliling rumah sakit sekarang juga kalau perlu!" ucap Jelita memaksa.
"Lita... istirahat dulu," ucap Mama Acha tegas tapi lembut, sambil membenarkan selimut di pangkuan Jelita.
"Paling gak satu malam aja. Besok kita tanya pada dokter mu." ucap Mama Acha.
Papa Rendy melirik jam di pergelangan tangannya.
"Oke, udah cukup. Sekarang kalian berdua," tunjuknya ke arah Reza dan Raza,
"Pulang sana. Besok masih sekolah, ingat?"
Reza langsung protes, "Tapi Pa, kita mau nemenin Jelita juga. Gak enak ninggalin dia sendirian."
Raza ikut menimpali, "Iya, biar kita yang jaga adik malam ini."
Tapi Papa Rendy hanya mengangkat alis, gaya khas 'no debate'. "Gak usah ngeyel. Tadi kalian papa suruh jaga jelita, tapi kenyataannya kalian pergi. Sekarang malah mau nginep di rumah sakit. Udah, pulang sana. Biar Papa sama Mama yang jaga adik kalian malam ini."
Mama Acha ikut mengangguk.
"Iya, kalian juga butuh istirahat. Lagian kalau kalian di sini, bisa-bisa malah jadi lebih ribut dari pasien sebelah."
Jelita tersenyum geli melihat dua kakaknya langsung lemes kayak balon bocor. Tapi mereka akhirnya nurut.
"Oke deh." ucap Reza pelan.
"Tapi kalo kamu butuh sesuatu, tinggal telepon, ya, Lit."
Jelita mengangguk manis.
"Iya iya, thanks ya, Jenderal Reza dan Komandan Raza."
Reza dan Raza menyalami Papa dan Mama, lalu pamit keluar. Tapi sebelum pintu tertutup, Raza sempat menjulurkan kepala lagi.
"Cepatlah istirahat, jangan sampai ngilur!"
Jelita mengangkat bantal, pura-pura mau melempar. "Keluar sanaaa!"
Pintu pun tertutup, dan suasana ruangan jadi lebih tenang. Hanya ada suara detak jarum berbunyi.
Mama Acha mendekat ke ranjang, membetulkan selimut Jelita sambil masih mengomel pelan.
"Kamu itu ya, baru juga sadar, langsung mau pulang. Nanti pingsan lagi, Mama bisa jantungan beneran. Sekarang istirahat, ya!"
Jelita tersenyum kecil, "Iya, Ma. Aku istirahat sekarang."
Mama Acha melihat mata Jelita mulai terpejam dan mengelus lembut rambutnya.
"Tidur ya, sayang. Jangan dipikirin yang aneh-aneh dulu. Yang penting sekarang kamu sehat."
Jelita mengangguk pelan tanpa membuka mata.
"Iya, Ma. makasih."
Lampu ruangan diredupkan. Papa Rendy duduk di sofa dan membuka tablet kerjanya, sedangkan Mama Acha tetap duduk di sisi ranjang, menemani sambil membatin, berharap putri mereka cepat pulih seperti sedia kala.
nanti pasti nangis.. duh bawang nya banyak bgt sih kak... huhuhu.. mblebes di pojokkan kasur ini😭😭😭😭
next trus up ny ya....
semangat ya buat ceritanya Thor 💪😊👍
semangat terus ya buat ceritanya Thor
Thor yg baik hati, suka menabung, tidak sombong.. banyak banyak ya up nya Thor 🥰🥰🥰