Sahara tak pernah menyangka akan pernyataan cinta Cakra yang tiba-tiba. Berjalan bersama komitmen tanpa pacaran, sanggupkah mereka bertahan di atas gempuran hubungan rumit kedua orang tua Cakra dan Sagara yang ternyata adalah ayah kandung Sahara.
Apakah Cakra dan Sahara akan bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Dia memang putrimu
Sagara hanya menatap gadis muda di hadapannya saat ini dengan lekat, haru bahkan berkaca-kaca kalau tak ia berusaha menahannya agar tak menangis. Sahara adalah benar-benar fotocopy-an dirinya, mirip sangat mirip.
Kenapa selama berpuluh tahun ia baru tahu kalau anaknya adalah teman sekolah Devon. Anak dari kakaknya? Kenapa baru sekarang? Sebegitu benci-kah Kinara pada dirinya hingga menyembunyikan putri mereka serapih mungkin. Bahkan beberapa tahun ini, ia terus mengirim mata-mata ke rumah sakit tapi nihil tak ada informasi yang bisa Sagara ulik.
"Apa kita perlu tes DNA untuk memastikannya lagi?" tanya Sagara sebab sejak tadi Sahara hanya diam menatapnya kaget.
Tak tahukah Sagara bahwa gadis ini sedang bersorak dalam hati karena bertemu dengannya?
"Ada yang lebih tahu tentang ini semua Om," serunya.
"Kalau nggak keberatan, Om bisa ikut saya pulang bertemu sama Ibu," lanjut Sahara lagi.
"Kamu punya Ibu? Apa Ibu kandung?" tanya Sagara, bagaimana mungkin. Seumur hidup, Sagara tak pernah merusak wanita manapun.
"Bukan, Om."
"Kalau begitu, dimana rumahmu?" tanya Sagara.
"Di panti asuhan Kasih Ibu."
Glek...
Sagara tertegun, bukankah itu panti milik Arimbi? Panti yang ia datangi kemarin? Bagaimana bisa?
"Boleh, mau sekarang?"
Sahara mengangguk, "Ya, Om."
Sagara lantas menghubungi Lendra agar menjemputnya. Selang lima menit, mobil SUV putih sudah terparkir di depan siap menjemput yang punya.
Sagara membukakan pintu untuk gadis itu.
"Lho Bintang?" kaget Lendra setelah turun dari mobil.
"Om Lendra?"
Jadi Sahara bukan hanya salah paham, pemilik mobil SUV memanglah Papanya?
"Len, antar ke panti," perintah Sagara mulai bossy.
"Siap, Pak!"
Sagara dan Sahara lantas masuk, duduk di kursi belakang dengan bibir sama-sama terkunci.
Lendra memilih diam, ia memperhatikan Sagara dan Bintang dari kaca depan.
Mobil melaju pelan, bersama dua orang saling diam di belakang memancing rasa penasaran seorang Lendra.
Sampailah mereka di halaman panti, Arimbi keluar melihat siapa yang datang. Namun, senyumnya pudar tatkala tahu yang datang adalah Sagara dan Sahara. Bagaimana bisa?
"Assalamu'alaikum," ucap Sahara meraih tangan Arimbi dan menciumnya.
Disusul dua orang di belakang yang Arimbi yakini sudah tahu sesuatu.
"Waalaikumsalam, kalian bisa barengan?"
Sagara diam, Lendra juga diam.
Sahara melirik mereka bergantian, "tadi pagi gak sengaja nabrak Om Lendra," seru Sahara lalu menunjuk ke arah lututnya. Seketika Sagara mengusap wajahnya, ia bahkan tak sampai memperhatikan lutut gadisnya itu terbalut kain putih dan bekas obat merah yang sedikit tembus.
"Ya, jadi saya mengantarnya ke Sekolah. Tadinya pulang pun mau saya jemput," seru Lendra.
"Mari masuk," ajak Arimbi diangguki mereka serempak.
"Apa gadis ini adalah putriku?" tanya Sagara langsung sebelum Arimbi pergi sebab wanita itu mulai beranjak dari kursi.
Arimbi kembali terduduk, "Wahyu, tolong buatin tamu minum," pintanya lebih keras.
"Nggeh, Bu!"
"Biar Sahara saja, Bu!"
"Jangan, kamu disini saja. Sekarang ganti baju dulu," balas Arimbi. Kini sisa-lah kembali mereka bertiga seperti kemarin.
"Dia memang putrimu, Sagara!"
Deg.
"Dari Kinara masih hidup, dia menitipkannya padaku. Jika kamu tanya kenapa alasannya? Tentu kamu sendiri yang paling paham kenapa Kinara sampai nekad memisahkan kalian."
"Tapi Ar!"
"Kamu boleh membawanya pergi, bagaimanapun kamu yang lebih berhak atas hidup dan masa depannya. Tadinya, aku berfikir akan tetap menyembunyikannya, tapi... Aku sadar Sagara! Akan sangat egois kalau aku memaksakan Sahara tetap tinggal disini bersamaku sedangkan dia masih punya kamu."
Tanpa sadar, Sahara berdiri di ambang sekat ruang tamu dan tengah dengan air mata menggenang. Ia menghampiri Arimbi dan duduk bersimpuh di kaki wanita yang sudah membesarkannya.
"Bu..."
"Tak apa, Sahara! Kalau kamu ikut papamu, masa depanmu terjamin dan kamu juga bisa meraih cita-citamu." Arimbi mengusap lembut rambut Sahara, sejujurnya ini adalah fase terberat baginya. Tapi setiap anak berhak menentukan pilihannya sendiri setelah dewasa, dan Arimbi tahu Sahara cukup dewasa. Terlepas dari semua yang telah ia lakukan, semata demi janjinya pada Kinara. Namun, Sahara adalah anak perempuan. Kelak ketika menikah juga akan mencari Papanya jadi Arimbi tak sepenuhnya memenuhi janji itu apalagi sebenarnya mereka hanya salah paham.
"Kalau begitu? Boleh aku membawanya pergi? Sahara, kamu mau ikut Papa tinggal di Semarang?"
Lendra terdiam, ia tak menyangka gadis cantik yang ditemuinya pagi tadi adalah anak bossnya.
"Tapi sekolahku, Om?"
Mendengar jawaban Sahara tentu hati Sagara bernapas lega, bagaimana tidak? Bukankah artinya Sahara sama sekali tak menolak?
"Kamu mau disini atau pindah? Banyak sekolah bagus disana. Atau mau satu sekolah sama anaknya Om Lendra?" tawar Sagara.
"Cakra pasti seneng punya temen cewek, tapi gak tau juga!"
"Hah?" Kini Sahara justru dibuat melongo oleh ucapan mereka berdua.
"Cakra?"
Arimbi tersenyum, "Pak Lendra ini Papanya Cakra, Sahara."
"Iyakah, Bu?"
Lendra pun mengiyakan, "Cakra anak saya dan Kinanti adalah istri saya."
***
Sahara tak serta merta bisa langsung ikut Papanya. Ia memilih tinggal di panti sementara waktu meski agaknya Sagara sangat keberatan. Namun, permintaan Sahara tak bisa ia tolak.
Sahara meminta waktu paling tidak seminggu lagi untuk bersiap.
Hingga sudah tiga hari Lendra dan Sagara berada di Ambarawa, mereka pamit kembali ke Semarang.
"Hati-hati, Papa. Om Lendra," serunya melambaikan tangan.
Sagara mendekat, ia memeluk putrinya erat.
"Padahal papa harap kamu mau ikut," gumamnya pelan.
"Nanti Sahara ikut Papa," balas gadis itu menyunggingkan senyumnya.
Dan percayalah, mendadak disini Sagara berubah menjadi childish karena tak ingin jauh dari putrinya akan tetapi apa daya, mereka tetap harus kembali.
"Om, salam buat Cakra!"
"Oke Bintang." Lendra melambaikan tangannya.
Hingga mobil SUV itu hampir menghilang, tatapan Sagara masih keluar jendela ke arah putrinya.
"Maafkan Ibu, Sahara!"
"Bu, ini semua udah bagian dari takdir! Sahara nggak bisa protes, karena pada kenyataannya aku disini atas permintaan mama juga," seru Sahara.
"Tapi tetap saja, ibu sudah menyembunyikan kamu dari papamu."
"Sahara sayang sama Ibu, jadi jangan bilang seperti itu lagi."
Arimbi mengangguk, ia tersenyum dan memeluk Sahara erat.
Mereka akan menikmati saat-saat terakhir di panti bersama Sahara tercinta. Meski jelas dibalik itu, Wahyu, Nana, Syla juga menyimpan sedih akan kehilangan kakak tertua mereka.
"Kak Sahara jangan pergi ya," rengek Syla.
"Kakak nggak akan pergi jauh kok dek," jawab Sahara mencoba menenangkan gadis SMP itu.
"Tapi kak, nanti siapa yang bobok sama aku."
"Kan ada kak Nana dan yang lain juga."
"Kak," panggil Wahyu.
"Ya, kalian." Sahara memeluk adik-adiknya, sedih itu pasti apalagi membayangkan akan berpisah dengan mereka sungguh Sahara tak sanggup.
"Ada telpon dari Bang Cakra," ujar Wahyu seketika berhasil membuat pelukan Sahara mengendur.
"Cakra?"
"Ya, 15 panggilan." Wahyu meringis tak enak.
"Apa?" tanya Sahara tak percaya.