NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tercipta Jarak

Masih di hotel, jebakan mulai bekerja.

Rendra mulai merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya.

Panas menjalar perlahan, bukan sekadar lelah. Dadanya terasa sesak, pikirannya kacau, dan ada dorongan asing yang bergejolak—hasrat yang tidak seharusnya muncul, tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya.

Ia mengusap wajahnya kasar. “Ada yang salah…” gumamnya lirih.

Aurel yang berdiri di sampingnya menahan napas. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Ia tahu ini titik yang tak bisa ditarik kembali.

“Kamu istirahat saja dulu,” ucap Aurel pelan. “Aku antar ke kamar.”

Rendra tidak menolak. Kesadarannya tidak utuh. Nalarnya melemah, digerus sesuatu yang bukan berasal dari kehendaknya sendiri. Langkahnya gontai saat Aurel menuntunnya menuju kamar hotel.

Begitu pintu tertutup, gelombang panas itu semakin tak terkendali.

Rendra berusaha melawan, menyebut nama Laras dalam hatinya, mencoba berpaling dari dorongan yang menguasai tubuhnya. Namun pertahanan itu runtuh perlahan. Nalar kalah oleh tubuh yang tak lagi patuh.

Dan malam itu, batas yang seharusnya tak pernah dilewati… akhirnya terlewati.

Tanpa cinta. Tanpa kesadaran penuh. Tanpa pilihan yang adil. Rendra telah mengkhianati Laras— meski hatinya sama sekali tidak menginginkannya.

Di tempat lain, jauh dari kamar hotel itu, Laras tiba-tiba merasakan dadanya sesak.

Gelas di tangannya terlepas begitu saja dan jatuh ke lantai, pecahannya berserakan. Ia menatap kosong, jantungnya berdebar tak menentu. Perasaannya tidak enak.

Entah kenapa, pikirannya langsung tertuju pada Rendra.

“Mas…” bisiknya pelan.

Tangannya gemetar saat meraih ponsel dan menekan nomor suaminya. Nada sambung terdengar… lalu terputus.

Ia mencoba lagi.

Dan lagi.

Namun ponsel Rendra tidak dapat dihubungi.

Laras memeluk dirinya sendiri, rasa dingin merambat meski malam terasa hangat. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi hatinya seakan memberi peringatan.

Bahwa di suatu tempat, sesuatu yang buruk sedang—atau telah terjadi.

***

Keesokan paginya, Rendra terbangun dengan kepala berat dan dada yang terasa nyeri.

Ingatan semalam datang bertubi-tubi, menghantamnya tanpa ampun.

Ia menegakkan tubuh, lalu membeku.

Kesadaran itu menyayat—ia telah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya, sesuatu yang bertentangan dengan hati dan prinsipnya. Bukan karena cinta. Bukan karena keinginan sadar. Namun tetap saja… itu terjadi.

“Ya Tuhan…” desahnya lirih.

Tangannya gemetar saat menyentuh wajahnya sendiri. Frustrasi, marah, dan jijik bercampur menjadi satu. Ia telah mengkhianati Laras—perempuan yang mempercayainya sepenuh hati, yang mendoakannya saat ia pergi, yang menunggunya pulang tanpa curiga sedikit pun.

Rendra menunduk, menahan sesak yang nyaris membuatnya muntah.

Di sudut ruangan, Aurel duduk memeluk lututnya. Tangisnya pecah, bukan karena apa yang Rendra lakukan padanya, melainkan karena apa yang telah ia biarkan terjadi. Bahunya terguncang, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku… aku gak bermaksud begini…” ucapnya terbata, suaranya nyaris tak terdengar.

Ia tahu, satu malam itu telah menghancurkan terlalu banyak hal. Kepercayaan Laras. Kehormatan Rendra. Dan sisa harga diri yang masih ia pegang.

“Aku udah nyakitin semua orang…” Aurel terisak. “Orang-orang yang bahkan gak pantas nerima semua ini.”

Rendra memejamkan mata, rasa bersalah menekan dadanya hingga sulit bernapas. Tidak ada satu pun kata yang bisa membenarkan apa yang terjadi. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menghapus dosa itu.

Malam telah berlalu, namun luka yang ditinggalkannya baru saja dimulai. Dan pagi itu, dua manusia yang sama-sama menjadi korban harus menanggung kehancuran yang dibuat oleh rencana orang lain—dengan hati yang remuk, dan masa depan yang tak lagi sama.

Rendra menarik napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah Aurel. “Aku minta maaf,” ucapnya pelan, suaranya berat dan penuh penyesalan. “Apa pun yang terjadi semalam… itu kesalahanku.”

Aurel menggeleng sambil menahan tangis. “Bukan cuma kamu,” jawabnya lirih. “Aku juga salah. Aku mengkhianati pacarku, Ren."

Rendra mengusap wajahnya frustasi. Kepalanya terasa penuh, hatinya kacau. Namun satu hal ia yakini—ia tidak boleh lari dari tanggung jawab. “Aku benar-benar minta maaf. Kalau… kalau kamu sampai hamil,” lanjut Rendra dengan suara bergetar, “aku akan bertanggung jawab. Apa pun risikonya.”

Kalimat itu tidak membuat Aurel lega. Justru membuat dadanya semakin sesak. Ia tahu, janji itu bukan lahir dari cinta, melainkan dari rasa bersalah yang teramat dalam.

Setelah berpisah dari Aurel, kegelisahan Rendra semakin menjadi. Tangannya refleks meraih ponsel. Nama Laras tertera di layar—nama yang kini terasa seperti beban sekaligus penopang hidupnya.

Ia menekan panggilan itu.

“Mas?” suara Laras terdengar lembut di seberang sana.

“Iya,” jawab Rendra cepat, berusaha terdengar normal. “Aku baik-baik saja. Urusan kerjaan lancar. InsyaAllah hari ini aku langsung pulang.”

“Syukurlah,” ucap Laras lega. “Hati-hati di jalan.”

“Iya,” balas Rendra singkat, menahan gemetar di dadanya.

Telepon ditutup, namun rasa bersalah justru semakin menyesakkan. Ia telah berbohong—bukan dengan kata-kata besar, tapi dengan menyembunyikan kebenaran yang seharusnya Laras tahu.

***

Saat Rendra akhirnya pulang, Laras menyambutnya dengan senyum yang sama seperti biasa.

Tak ada tatapan curiga. Tak ada pertanyaan berlebih.

Ia mengambil tas Rendra, menyuguhkan minum, dan bertanya tentang perjalanan dengan nada penuh perhatian.

“Kamu capek?” tanya Laras lembut. “Istirahat dulu, ya.”

Rendra hanya mengangguk, menelan ludah dengan susah payah.

Laras sama sekali tidak tahu.

Tidak tahu bahwa suaminya sedang memikul dosa besar.

Tidak tahu bahwa senyum yang ia berikan itu menorehkan luka lebih dalam di hati Rendra.

Dan justru karena ketulusan itulah, rasa bersalah Rendra menjadi berlipat ganda—karena ia disambut dengan cinta,

saat hatinya sendiri penuh dengan pengkhianatan yang tak sanggup ia akui.

***

Satu bulan berlalu sejak malam itu.

Aurel akhirnya memberanikan diri menghubungi Rendra. Tangannya gemetar saat menyampaikan kabar yang sejak beberapa hari terakhir menghantuinya. “Aku… aku hamil.”

Kalimat itu menghantam Rendra tanpa ampun. “Apa?” Rendra terdiam lama. Kepalanya berdengung. Dadanya terasa sesak seolah udara mendadak menghilang. Ia tidak tahu bahwa Aurel sebenarnya telah lebih dulu hamil—ia hanya tahu satu hal, masalah yang ia takutkan kini menjadi nyata. “Aku gak bohong,” suara Aurel bergetar. “Aku juga gak minta ini.”

Rendra menutup matanya. Dalam hitungan detik, hidupnya terasa runtuh berkeping-keping. Ia terjebak di antara dua jurang.

Ia tidak mungkin menikahi Aurel secara terbuka, ia masih suami Laras, perempuan yang ia cintai, yang mempercayainya tanpa syarat. Namun di sisi lain, rasa bersalah itu mencekiknya. Ada janji yang pernah terucap. Ada tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan.

Hari-hari berikutnya dilalui Rendra dengan gelisah. Wajah Laras yang lembut terus menghantuinya, bersamaan dengan bayangan Aurel yang menangis dalam diam.

Keputusan itu akhirnya ia ambil—keputusan paling berat dalam hidupnya.

Tanpa sepengetahuan Laras, Rendra menikahi Aurel secara diam-diam di Jakarta. Tanpa pesta. Tanpa keluarga. Tanpa kebahagiaan. Hanya tanda tangan dan janji yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari keterpaksaan dan rasa bersalah.

Pada Laras, Rendra hanya berkata sederhana. “Aku harus ke Jakarta tiga hari,” ucapnya tenang. “Ada urusan pekerjaan yang gak bisa ditinggal.”

Laras tersenyum seperti biasa. “Iya. Hati-hati, Mas. Semoga urusannya lancar.”

Tak ada curiga. Tak ada tanya berlebih. Dan justru itu yang membuat langkah Rendra terasa semakin berat saat ia pergi. Tiga hari itu menjadi awal dari kehidupan ganda yang tak pernah ia bayangkan akan ia jalani—sebuah kebohongan besar yang dibangun di atas cinta tulus Laras, dan kesalahan yang terus menuntut harga lebih mahal setiap harinya.

***

Setelah pernikahan itu, rasa bersalah Rendra justru semakin merayap dalam diam.

Ia telah menyakiti seorang perempuan berhati baik, Laras—tanpa pernah memberinya kesempatan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun di saat yang sama, Rendra juga merasa terikat pada Aurel. Bukan oleh cinta, melainkan oleh tanggung jawab yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.

Ia terjebak.

Dan semakin ia mencoba menjalani semuanya, semakin dalam pula jurang yang ia gali sendiri.

Sejak menikahi Aurel, hidup Rendra menjadi jauh lebih sibuk. Bukan hanya urusan pekerjaan yang menuntut waktu dan tenaga, tetapi juga kewajiban barunya—bolak-balik ke Jakarta, memastikan Aurel baik-baik saja, memenuhi kebutuhan yang tak bisa ia abaikan.

Ia melakukan semuanya tanpa perasaan. Tanpa kebahagiaan.

Hanya kewajiban.

Di sisi lain, Aurel justru semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Setiap kali melihat Rendra datang dengan wajah lelah, setiap kali ia menyadari bahwa lelaki itu meninggalkan istrinya demi dirinya, hatinya terasa seperti diremas.

"Ini semua tidak seharusnya terjadi, batinnya.

Aku tidak berhak atas apa pun dari hidupnya."

Namun waktu tak bisa diputar kembali.

Sementara itu, Laras mulai merasakan perubahan.

Rendra semakin jarang di rumah. Tatapannya sering kosong. Waktunya selalu habis untuk pekerjaan—atau begitu alasannya. Jakarta menjadi kota yang terlalu sering ia sebut.

“Aku harus ke Jakarta lagi,” ujar Rendra suatu malam.

Laras hanya tersenyum kecil. “Iya… kerjaan kamu banyak ya sekarang.”

Namun setelah Rendra pergi, Laras sering duduk sendirian, menatap jam dinding yang berdetak terlalu keras. Ada rindu yang tak terjawab. Ada kecurigaan yang ia paksa bungkam.

Ia memilih percaya.

Tanpa ia sadari, Hanung mulai memainkan perannya.

Dengan licik, ia memanfaatkan kesibukan Rendra dan kesepian Laras. Seorang pria sengaja ia kirim mendekati Laras—bersikap ramah, perhatian, hadir di saat Laras sendiri. Bukan untuk dicintai, melainkan untuk dijadikan bukti.

Foto-foto diambil dari sudut yang sengaja disalahartikan. Percakapan biasa dipelintir menjadi dugaan perselingkuhan.

Semua dikumpulkan rapi.

Dan suatu hari, bukti-bukti itu sampai ke tangan Rendra.

“Apa maksud semua ini?” Rendra membanting ponselnya ke meja, dadanya naik turun menahan amarah. Foto-foto itu menusuk harga dirinya—Laras bersama pria lain, tertawa, berbincang.

Amarah bercampur cemburu membutakan nalar.

Saat Rendra menanyai Laras, suaranya dingin dan penuh kecurigaan.

“Kamu kenal laki-laki ini?” tanyanya tajam.

Laras terkejut. “Kenal… dia cuma teman. Gak ada apa-apa.”

“Kamu bohong!” Rendra membentak, tak seperti biasanya.

“Aku gak pernah selingkuh!” Laras membalas dengan mata berkaca-kaca. “Aku gak pernah melakukan hal seperti itu, Mas!”

Namun kepercayaan yang retak sulit diperbaiki. Penyangkalan Laras justru dianggap Rendra sebagai pembelaan kosong.

Sejak saat itu, jarak tercipta di antara mereka.

Bukan karena cinta yang hilang,

melainkan karena kebohongan, kesibukan palsu, dan permainan kejam seseorang yang menikmati kehancuran dari balik layar.

Dan Laras yang tak tahu apa-apa—perlahan menjadi tersangka dalam rumah tangganya sendiri.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!