Dilarang memplagiat karya!
"Pernikahan kontrak yang akan kita jalani mencakup batasan dan durasi. Nggak ada cinta, nggak ada tuntutan di luar kontrak yang nanti kita sepakati. Lo setuju, Aluna?"
"Ya. Aku setuju, Kak Ryu."
"Bersiaplah menjadi Nyonya Mahesa. Besok pagi, Lo siapin semua dokumen. Satu minggu lagi kita menikah."
Aluna merasa teramat hancur ketika mendapati pria yang dicinta berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Tak hanya meninggalkan luka, pengkhianatan itu juga menjatuhkan harga diri Aluna di mata keluarga besarnya.
Tepat di puncak keterpurukannya, tawaran gila datang dari sosok yang disegani di kampus, Ryuga Mahesa--Sang Presiden Mahasiswa.
Ryuga menawarkan pernikahan mendadak--perjanjian kontrak dengan tujuan yang tidak diketahui pasti oleh Aluna.
Aluna yang terdesak untuk menyelamatkan harga diri serta kehormatan keluarganya, terpaksa menerima tawaran itu dan bersedia memainkan sandiwara cinta bersama Ryuga dengan menyandang gelar Istri Presiden Mahasiswa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9 Malaikat Penolong
Happy reading
Dua cangkir vanilla latte, satu gelas air mineral, Chicken Katsu Curry Don, dan Spaghetti Brulee yang tadi dipesan oleh Ryuga sudah tersaji di atas meja. Ditambah Smoothie Bowl--menu pesanan Rosa.
Meski semua hidangan itu tampak lezat dan menguarkan aroma yang memanjakan indra penciuman, tetapi rasanya hambar di mulut Ryuga dan Aluna--dua insan yang tengah menekan himpitan rasa.
Mereka diam, tak bersuara. Tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing.
"Ryu, antar pulang calon istrimu ya. Mama mau pulang duluan. Ada hal penting yang ingin mama bicarakan dengan papa dan Kak Romi di rumah," titah sekaligus ucap yang terlisan dari bibir Rosa usai menandaskan semangkuk smoothie bowl.
Ryuga mengangguk samar, tanpa berkata apapun. Sisi hatinya masih belum bisa menerima keputusan dan titah yang beberapa menit lalu dituturkan oleh Rosa. Menjadikan Aluna sebagai pasangan hidup 'selamanya'.
Pernikahan kontrak yang dicetuskan, kalah dengan sabda wanita bergelar 'mama'.
"Aku bisa pulang sendiri, Ma. Nanti ... aku pesan taxi." Sahutan itu terucap dari bibir Aluna. Pecah keheningan yang sesaat menyapa.
Lembut khas suaranya terdengar merdu di telinga. Mencipta senyum, alihkan perhatian Rosa yang semula tertuju pada Ryuga.
"No. Kamu tidak boleh pulang sendiri, Sayang. Biar diantar calon suami kamu."
"Kasihan Kak Ryu-nya, Ma. Pasti ... Kak Ryu capek dan butuh istirahat."
Ya, Ryuga memang capek. Capek bukan karena aktivitas di kampus, tapi capek berpura-pura tegar di hadapan semua orang. Ingin menepi dan rebah di tempat yang sepi sambil teriakan risalah hati. Namun untuk saat ini ... 'tidak mungkin'.
"Secapek apapun Ryu, dia harus mengantar calon istrinya pulang. Itu perintah dari Mama yang tidak boleh dibantah. Lagian, mengantar-nya kan pake mobil. Tidak jalan kaki dan sambil menggendong kamu." Rosa tertawa kecil--menanggapi ucapan Aluna, lalu membawa tubuhnya bangkit dari posisi duduk.
Aluna pun turut membawa tubuhnya bangkit dan pusatkan atensi pada calon mama mertua.
"Mama duluan ya. Jangan sedih dan jangan menangis lagi. Karena Mama tidak ingin melihat mendung di wajah kamu, Sayang."
"Iya, Ma. Hati-hati di jalan --"
Rosa mengejapkan mata dan mengulas senyum. Peluk singkat gadis berparas cantik yang ditasbihkan sebagai calon menantu.
Selepas Rosa berlalu pergi, Ryuga beranjak dari duduk. Pandang Aluna sejenak dan hela napas.
"Gue antar lo pulang sekarang." Nada suara Ryuga terdengar datar. Usik kalbu dan hadirkan rasa tak nyaman.
"Aku pulang sendiri saja, Kak. Nggak usah mengantar ku pulang. Tentang rencana pernikahan kita ... gagalin saja. Aku akan menerima Pak Hamdan sebagai pengantin pengganti." Seusai berucap demikian, Aluna melangkah pergi. Membawa lara dan luka yang kian menganga.
Ia merasa hina dan teramat rendah. Tak patut dicinta dan tak pantas bahagia.
Hancur
Biar hancur sekalian.
Jika menikah dengan Hamdan adalah jalan terbaik untuk selamatkan kehormatan keluarga, maka akan ia jalani. Meski harus korbankan diri dan kian tenggelam ke dalam palung nestapa.
Mati
Biarlah ia mati perlahan dalam dekapan duka yang tak berkesudah.
Aluna berjalan dengan langkah gontai, berteman air bening yang mengalir dari kedua sudut mata.
Bibir bungkam. Tapi benaknya merapalkan asma Zat Yang Maha Kasih.
"Awas, Luna!" Ryuga berteriak dan bergerak secepat kilat. Menyambar dan membawa Aluna ke dalam dekapan.
Hampir saja tubuh mungil si gadis malang tertabrak mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan.
Untuk kesekian kalinya Sang Presiden Mahasiswa menyelamatkan nyawa Aluna.
Ah, kenapa harus Ryuga lagi? Seakan semesta memaksanya untuk berhutang budi pada lelaki yang sama.
Degup jantung Aluna bertalu cepat. Irama napasnya terdengar tak beraturan. Jelas ia teramat syok.
Andai Ryuga datang terlambat sedetik saja, mungkin tubuh mungil Aluna terpental ke badan jalan.
"Lo nggak pa-pa kan?" Ryuga berucap pelan, tanpa melepas dekapan yang dibalas pelukan erat.
Tak ada kata yang terucap dari bibir Aluna. Terwakili isak dan guncangan tubuh.
Usapan lembut Ryuga labuhkan di punggung Aluna. Beri afeksi untuk hadirkan rasa tenang.
"Gue antar pulang ya?" Lagi, Ryuga berucap pelan dan perlahan mengurai dekapan. Pandang wajah yang sedikit menunduk dan berurai air mata.
Tanpa membuang waktu percuma, Ryuga segera membawa Aluna masuk ke dalam mobil dan membantunya memasang seatbelt.
Perjalanan menuju rumah Aluna berteman hening.
Aluna tak lagi terisak. Buang pandangan ke luar jendela, pulihkan sesak dengan merapalkan asma Tuhan-nya.
Lampu merah menyala ketika roda mobil menginjak aspal di persimpangan jalan. Memaksa Ryuga untuk menghentikan laju kendaraan besi yang dikendarai.
Tanpa sengaja pandangan matanya jatuh pada gadis kecil yang pernah ditemui. Melati, gadis penjaja bunga mawar.
Ryuga membuka kaca mobil, lalu memanggil Melati yang tengah menawarkan setangkai bunga mawar pada pengendara lain.
"Kakak --" Melati berseru girang. Matanya berbinar, bibirnya melengkung--membentuk sebaris senyum.
"Bunganya tinggal berapa tangkai?" tanya yang tercetus dari bibir Ryuga begitu Melati berdiri di sisi mobil.
"Tinggal lima, Kak. Alhamdulillah, hari ini banyak yang beli."
"Alhamdulillah. Sisanya kakak beli semua."
"Wah, terimakasih banyak, Kak. Saya bisa pulang cepat dan nggak dimarahi ibu."
Ryuga mengerutkan dahi dan menatap lekat gadis kecil yang 'seolah' menyimpan kepedihan di balik senyum dan wajah cerianya.
"Kamu sering dimarahi ibumu?"
Melati tersenyum tipis dan mengangguk ragu.
"Iya. Ibu sering marah kalau saya pulang malam dan nggak bawa uang banyak. Ibu juga sering bilang, saya anak pembawa sial yang nggak seharusnya hadir ke dunia."
Binar di mata Melati redup, mimik wajahnya menyendu. Gurat kesedihan terlukis jelas dan hadirkan denyutan nyeri di hati.
"Rumah kamu di mana? Kakak antar pulang."
Melati menggeleng dan memaksa bibirnya untuk kembali tersenyum.
"Nggak usah, Kak. Nanti ... ibu bisa marah lagi."
Ryuga membuang napas dan bergegas mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet.
"Ini buat kamu. Ditabung ya." Ryuga memasukkan lima lembar uang seratus ribuan ke dalam tas kecil milik Melati, lalu meletakkan lima lembar lagi di keranjang bunga.
"Uang yang kakak taruh di keranjang, bisa kamu gunain buat beli makan."
"Banyak banget, Kak --"
"Nggak seberapa. Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, kakak dibolehin main ke rumah ya?"
Melati mengejapkan mata. "Namaku Melati, Kak. Nama Kakak siapa?"
"Ryuga."
"Namanya cakep. Kalau nama kakak yang duduk di sebelah Kak Ryuga --"
"Aku Aluna." Aluna menyahut dan memperlihatkan senyum.
"Cantik, seperti wajahnya," puji Melati.
"Terimakasih, Melati."
"Sama-sama, Kak. Semoga kita bisa bertemu lagi ya."
Setelah mengucap kalimat itu, Melati menyerahkan lima tangkai bunga mawar pada Aluna. Lantas melangkah pergi, sebab lampu lalu lintas sudah berganti hijau.
"Harusnya, aku bisa lebih bersyukur ya." Aluna menghela napas dalam, hirup aroma bunga mawar yang berada dalam genggaman tangan.
"Iya. Jangan lagi ada niatan buat bunuh diri, karena ada orang yang lebih berat ujian hidupnya."
"Kak Ryu benar. Maka dari itu ... aku akan berusaha menjalani takdirku dengan ikhlas dan ridho. Tak terkecuali, jika harus menikah dengan Pak Hamdan."
"Gue yang bakal nikah sama lo. Bukan Pak Hamdan. Nanti malam, lo dandan yang cantik. Jangan nangis, karena gue nggak suka ngeliat cewe cengeng."
Aluna terdiam. Meraba dan mengilhami perasaannya saat ini.
Entah senang, atau mungkin ... sebaliknya.
Yang dia paham, ada kelegaan.
Bukan Hamdan yang akan menikahinya, tetapi Ryuga Mahesa--lelaki yang berulang kali berperan sebagai malaikat penolong.
🍁🍁🍁
Bersambung
kreatif. Tapi nilai kreatifnya akan bermakna jika digunakan ke arah hal yg lbh positif. ngritik boleh. Tapi lbh baik jika energinya dibuat utk ikut membangun aja kan... membangun bukan yg berarti harus ini dan itu, terjun di politik atau apalah..berpikiran kayak anak muda di kisah ini, itu udah bagian dari membangun. membangun mental bangsa yang udah terlalu banyak dicekoki parodi---yang sementara dianggap lucu, tapi justru tanpa sadar menanamkan nilai tidak mrncintai negeri ini....
ah..kok ngomongnya jadi kemana2 ya..
aku nyimak ya..sambil goleran
kalau di lingkup personal gak. Tapi itu emang udah sesuai porsi. kan judulnya sandiwara cinta Presma...😍😍
nyonya kaya raya ketipu arisan bodong bisa darting juga ya😄😄
ada sesuatu nih dgn nama ini