Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 — Suara dari Sumur
Rendra bergerak cepat menuju rumah Dimas, rumah yang terakhir ia lihat sebelum anak itu ditarik ke dalam Kuburan Air. Pikiran Rendra dipenuhi oleh peringatan Pak Darmo: Dimas belum sepenuhnya menjadi bagian dari air.
Ia menyelinap di antara rumah-rumah yang lumpuh, lumpur kemerahan menciprat di setiap langkah. Rasa takut Rendra kini telah berubah menjadi urgensi yang dingin. Ia harus menemukan Dimas sebelum penduduk desa, yang kini panik dan kerasukan ketakutan, menjadikannya tumbal formal.
Rendra tiba di depan rumah Dimas. Pintu rumah itu sedikit terbuka, sama seperti yang ia lihat malam sebelumnya. Ia mendorong pintu itu dan melangkah masuk.
Bau di dalam rumah Dimas adalah campuran antara kelembapan, tanah basah, dan aroma manis yang aneh—seperti bunga yang membusuk. Rumah itu sangat kecil dan miskin, hanya terdiri dari satu ruangan utama dan dapur kecil.
Rendra mencari di bawah meja, di balik perabotan usang, di mana pun seorang anak kecil bisa bersembunyi. Ia tidak menemukan apa-apa selain lumpur.
Ia melihat ke sudut ruangan, ke tempat Dimas biasanya bermain dengan batu-batu kecilnya. Di sana, di atas tumpukan kain usang, Rendra melihat sesuatu yang baru.
Sebuah patung kecil. Patung yang dibuat dari tanah liat yang dicampur lumpur, dan masih basah. Patung itu berbentuk seperti seorang gadis kurus, dengan rambut panjang tergerai dan mata yang cekung. Patung itu tampak anehnya familiar—seperti penggambaran Laras.
Di sekitar patung itu, diletakkan beberapa batu kecil, sama persis dengan yang selalu Dimas mainkan.
Rendra menyentuh patung itu. Tanah liatnya dingin dan lembap. Ia tahu, patung ini adalah hasil pekerjaan tangan Dimas. Anak itu, yang jiwanya sedang ditarik oleh Yang Basah, secara tidak sadar membuat gambaran entitas yang merasukinya.
Rendra merasa frustrasi. Dimas tidak ada di sana.
Kelelahan selama dua hari yang mengerikan, ditambah lompatan ke dalam Sumur Tua, tiba-tiba menyerang Rendra. Ia merasa pusing, kakinya lemas. Ia duduk di lantai kayu yang dingin, bersandar pada dinding. Ia hanya akan beristirahat sebentar, lima menit, sebelum melanjutkan pencarian.
Namun, udara di rumah itu terasa sangat pekat. Ia memejamkan mata, dan seketika, ia jatuh ke dalam tidur yang gelap dan dalam.
Rendra bermimpi.
Dalam mimpinya, ia berdiri di tempat yang sangat dingin. Tubuhnya tidak basah, tetapi ia merasakan dinginnya air yang menusuk, seolah setiap tetes darahnya telah digantikan oleh air es.
Ia berdiri di depan Sumur Tua. Sumur itu kini tertutup rapat oleh batu penutup yang sangat besar, kembali ke keheningan yang menyesakkan.
Rendra mencoba mendorong batu itu, tetapi batu itu tidak bergerak. Ia mencengkeramnya, berteriak, memohon untuk masuk kembali, tetapi batu itu menolak.
Lalu, dari balik batu penutup yang diam itu, terdengar suara.
Suara yang tidak lagi berupa tangisan yang jauh. Itu adalah suara yang dekat, intim, dan sangat dikenal.
Suara Rani.
“Mas… kamu di luar.”
Rendra tersentak. “Rani! Aku akan membukanya! Aku akan mengeluarkanmu!”
“Nggak usah, Mas. Aku nggak tenggelam… aku ditarik.”
Suara Rani terdengar tenang, namun nadanya sangat sedih, penuh penerimaan. Itu bukan Rani yang kerasukan; itu adalah sisa-sisa jiwa adiknya, yang masih berbicara dari kegelapan.
“Ditarik oleh siapa? Laras?”
Keheningan melanda. Hanya ada suara gemericik air yang sangat pelan, seperti napas yang basah.
“Dia… dia bukan Laras sepenuhnya, Mas. Dia adalah memori. Memori dari semua orang yang mati di sini. Laras hanya gerbangnya. Dia butuh aku untuk menghentikan hujan. Dia butuh darah yang bertanggung jawab. Dan darah itu ada di kamu, Mas.”
“Aku tidak bersalah, Rani! Itu Ayah! Aku datang untuk membersihkan namanya!”
Suara Rani berubah, menjadi lebih jauh, lebih bergema, bercampur dengan suara gemericik.
“Ayahmu pengecut, Mas. Tapi kamu tidak. Kamu adalah kebenaran yang datang kembali. Dia (Yang Basah) tahu kamu pegang film itu. Film yang disembunyikan Ayah. Film yang memuat wajah asli para pembunuh.”
“Di mana kamu sekarang, Rani? Tunjukkan padaku!”
“Aku ada di dasar, Mas. Di bawah semua lumpur dan tulang. Jangan turun. Kalau kamu turun, kamu akan jadi seperti aku. Kamu akan jadi memori.”
Suara Rani mulai melemah, seperti baterai yang habis.
“Dingin, Mas. Dingin sekali… Air di sini sudah terlalu lama menahan dendam… Mas… tolong… aku… aku nggak mau jadi bagian dari hujan… aku nggak mau…”
Suara Rani tiba-tiba terputus, digantikan oleh suara yang jauh lebih mengerikan.
Suara air yang mengalir deras, seperti air terjun terbalik.
Dan kemudian, suara tangisan yang menusuk telinga, suara Laras, kembali membuncah dari balik batu.
Rendra berteriak di dalam mimpinya. Ia mencoba mendorong batu itu sekali lagi, mencengkeram batu yang dingin dan keras.
Ia berteriak memanggil nama adiknya.
Rendra terbangun. Ia terengah-engah, matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kayu yang berlumut. Jantungnya berdebar kencang, seolah ia baru saja melakukan lari maraton.
Ia berada di rumah Dimas. Ia tidak bergerak dari posisinya semula.
Tapi ia merasakan sesuatu yang aneh.
Tangannya. Tangannya yang ia gunakan untuk mencoba mendorong batu di mimpi, kini terasa dingin dan perih.
Rendra mengangkat tangannya, menyorotkan cahaya senternya. Di pergelangan tangannya, ada luka lecet yang dalam, merah, yang mengelupas kulitnya. Luka yang persis sama dengan luka yang didapat jika ia mencengkeram permukaan batu yang kasar dan berlumut.
Ia tidak bermimpi.
Ia benar-benar berada di Sumur Tua. Ia benar-benar mencoba mendorong batu penutup itu. Entitas yang menariknya keluar dari sumur juga menariknya kembali ke sana saat ia tidur.
Rendra melihat ke sekeliling ruangan. Tidak ada air yang menetes dari atap.
Namun, ia merasakan dingin yang mengerikan di kakinya.
Ia melihat ke bawah. Lantai kayu di sekitarnya kering, tetapi di bawah kakinya, di mana ia tertidur, ada genangan air kecil.
Rendra menyentuh air itu. Dingin. Dan ia bisa mencium bau yang familiar, bau yang menempel di bajunya saat ia terbangun: aroma besi, darah dingin, yang sangat pekat.
Air itu berasal dari dirinya. Atau, lebih tepatnya, air itu mengikutinya dari Sumur Tua.
Saat Rendra melihat ke bayangannya di air genangan kecil itu, ia melihat bukan hanya bayangannya. Ia melihat wajah lain. Wajah Rani, dengan mata yang dipenuhi air.
Wajah itu menghilang secepat kilat.
Rendra tahu, ia tidak lagi berada di kamar yang aman. Ia adalah kapal yang ditumpangi oleh Yang Basah. Yang Basah bisa memindahkannya, merasukinya, dan berbicara melaluinya.
Ia tidak bisa lari. Ia tidak bisa menyembunyikan diri. Dan yang paling penting: Yang Basah akan menggunakan tubuhnya untuk menemukan film yang disembunyikan ayahnya, film yang Rendra simpan di tas kameranya.
Rendra berdiri. Ia tidak bisa lagi mencari Dimas sendiri. Ia perlu orang yang memahami entitas ini.
Ia perlu Nyai Melati.
Ia harus mencari tahu apa arti dari penodaan ritual Laras. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya Ayahnya lakukan, yang membuat Yang Basah begitu marah.
Rendra mencengkeram kamera ayahnya. Ia harus berpacu dengan waktu, sebelum Yang Basah sepenuhnya menguasai tubuhnya, sebelum ia menjadi 'memori' lain di Desa Waringin yang terkutuk ini.
Ia harus pergi ke rumah Nyai Melati, meskipun ia tahu, ia akan berjalan menembus hujan merah, dan ia akan menghadapi kebenaran yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.