Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yamg terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diluar dugaan
Cuaca di luar sedang gerimis, sangat mendukung digunakan untuk bermalas-malasan di bawah selimut sambil nonton drama korea atau pun scroll tok tok melihat berbagai kerandoman vidio yang diposting oleh warga +62, persis yang seperti yang sedang dilakukan Hera saat ini. Gadis itu masih bergelung dengan selimut sambil main ponsel, hari ini Hera mendapat sift siang hingga bisa bersantai hingga jam dua belas nanti. Jika mendapat sift pagi ia juga pasti akan sama seperti Runa yang sekarang tengah bersiap-siap di depan cermin.
"Hari ini dapat kerjaan apa lagi, Run? baru jam enam loh ini." tanya Hera.
"Jaga pasien. Kali ini gue dapat jadwal rutin seminggu 3 kali." jawab Runa sambil mengikat rambutnya tapi tak lama ia buka, membiarkan rambut panjangnya tergerai dan mematut pantulan dirinya di dalam cermin.
"Kayaknya iket aja deh, nggak efektif." gumamnya kemudian kembali mengikat rambut.
"Buka, iket, buka eh akhirnya diiket lagi. Lo kenapa sih, Run? biasanya juga cuma lo iket kalo nggak dicepol sat set. Hari ini kayaknya beda." tanya Hera. Gadis itu beranjak dan berdiri di samping Runa sambil memegang rambut panjang Runa yang sejak tadi di tata ulang.
Runa tersenyum, "kali ini klien gue masih muda, Her. Kerja di Imperium Living, bukan CEO sih kayak di dracin-dracin yang lo tonton sih, tapi ya siapa tau dia tiba-tiba minta gue jadi istrinya yah kan." ledek Runa, seperti drama cina yang sering di tonton Hera dan anak-anak dormitory lainnya. Runa tak menonton, hanya kadang ikut melihat sekilas atau bahkan dengar dari cerita Hera, tentang CEO yang nikah dengan gadis miskin atau CEO yang lagi pura-pura miskin atau bahkan tentang istri CEO yang ditindas lalu kemudian tiba-tiba diketahui kalo mereka orang berada dan duarrr sudah bisa ditebak endingnya seperti apa. Namun yang aneh bagi Runa adalah kenapa masih tetap banyak yang menonton meskipu ceritanya itu-itu saja dan sudah tertebak endingnya sejak awal.
"Terus lo ngarep jadi istrinya gitu, Run?" tanya Hera, "tapi percuma kayak Run, kalo penyakitan. Cape doang yang ada."
"Eh nggak, justru enak kali yah jadi lebih cepat dapat warisan." ralatnya kemudian, "gue dukung deh tapi ntar warisannya bagi dua yah." lanjutnya.
Runa menabok lengan teman sekamarnya, "ngaco kalo ngomong! Gue cuma bercanda lo tanggepin serius."
"Do'ain gue biar kerjaan hari ini lancar yah. Supaya bisa ngelanggan terus ini klien." lanjutnya.
"Gue do'ain lancar, Run. Tapi jangan lupa traktir kalo sukses kerjaan hari ini."
"Siap. Lo mau makan apa aja gue bayarin, soalnya dia berani bayar berapa pun kalo kerjaan gue bagus." jelas Runa.
"Mantap." Hera mengacungkan dua jempolnya, "kalo aja kerjaan lo tuh cuma jasa nemenin pasien kayak gini semua gue mau ikut dah kerja bareng lo. Sayangnya kerjaan lo suka absurd jasa-jasanya." lanjutnya.
"Ya kan tergantung permintaan. Gue berangkat dulu, bye-bye." Pamit Runa, mengambil jaket yang digantung dibalik pintu kemudian berlalu pergi.
Pukul tujuh kurang lima belas Runa sudah berada di rumah sakit. Sesuai instruksi, ia menunggu di depan pintu masuk rawat jalan. Meski masih pagi tapi keadaanya tak kalah ramai dengan pasar. Beberapa pasien berjajar duduk di kursi roda menunggu proses administrasi, ada pula pasien yang datang dengan banyak anggota keluarga bahkan ada yang datang seorang diri, tentunya dengan barbagai penyakit yang berbeda-beda. Melihat hal seperti ini membuatnya banyak bersyukur dan makin yakin jika rejeki itu tak selalu uang. Karena bisa bangun dan bernafas dengan normal saja sudah bagian dari rejeki.
Runa mengambil salah satu kursi roda setelah meminta izin pada petugas yang berjaga, persiapan karena Qian menghubungi jika mobilnya sudah berada di depan pintu rawat jalan. Urutan ketiga, menunggu kendaraan di depannya selesai menurunkan pasien.
"Sepertinya akan lama pak, yang lagi diturunin pasien patah tulang kayaknya jadi harus pelan banget. Saya yang nyamperin bapak aja, mobil ketiga kan yah? yang warna putih bukan?" tanyanya dari balik telepon.
Runa mendorong kursi rodanya setelah mengkonfirmasi kendaraan. Melihat Runa yang berjalan ke arahnya, Qian segera turun dan membukakan pintu untuk sang mama.
"Turun disini, ma. Di depan lama." ucap Qian.
Mama Retno turun bersama papa Teguh. Wanita yang usianya hampir lima puluh tahun itu memegang erat tangan suaminya. Namun tak lama mama Retno melepas pegangannya dan menghampiri Runa yang berdiri di belakang putranya.
"Tante takut salah, ternyata beneran kamu." ucap Mama Retno.
"Iya, pagi tante." sapanya seraya menyalami mama Retno, ia tak menyangka jika pasien yang harus ia jaga adalah wanita yang ia temui minggu lalu.
"Bawa kursi roda, siapa yang sakit nak?" tanya mama Retno.
"Itu tan-"'
"Mama kenal sama dia?" belum selesai menjawab Qian sudah memotong kalimatnya.
Mama Retno merangkul bahu Runa. Gadis dengan rambut yang diikat ponytile itu tersenyum canggung. "Kenal lah kak, ini loh yang diceritan adek."
"Makasih loh waktu itu udah bantuin tante sama Mayra. Ngerepotin kamu sampe sore."
"Nggak apa-apa tante. Sama-sama." jawab Runa.
"Tante kenalin sini," mama Retno menarik Runa mendekat pada suaminya, "ini suami tante, yang ini kakaknya Mayra." lanjutnya.
Runa membalas salam dari pak Teguh dan menyebutkan namanya, "Runa, Pak." Namun saat hendak menyalami Qian, ia terpaku sesaat.
"Kalian udah kenal?" tebak mama Retno.
Runa tersenyum manis sementara Qian mengangguk, "kenal kemarin ma. Aku sengaja ambil jasa Runa buat nemenin mama hari ini." jelas Qian.
"Jasa? maksudnya? mama kira kalian temenan."
"Nggak tante. Jadi gini, aku tuh open jasa apa pun dan kemarin kebetulan pak Qian ambil aku buat jaga pasien. Aku nggak tau kalo ternyata pasiennya tante." jelas Runa.
"Ya ampun bisa kebetulan gitu yah."
Tin tin tiiin!
Obrolan mereka terjeda karena ternyata dua mobil di depannya sudah pergi.
"Biar papa yang parkirin, kamu temenin mama." ucap papa Teguh saat putranya hendak masuk ke mobil.
"Duduk tan, biar aku dorong." Runa meletakan kursi Roda di depan mama Retno.
"Tante jalan aja. kak, kamu dorong kursi rodanya, mama mau ngobrol sama Runa."
Patuh, Qian mendorong kursi roda kosong di belakang dua wanita berbeda generasi yang berjalan di depannya. Sayup-sayup ia mendengar obrol ringan mereka yang mengalir begitu saja. Membahas makanan, obat dan kegiatan sehari-hari. Keduanya terlihat sangat akrab untuk orang yang baru bertemu dua kali. Semua baik-baik saja, Qian cukup senang karena mamanya ternyata sudah akrab dengan Runa tapi ada yang salah saat ini. Ia menyewa jasa Runa tapi kenapa malah ia yang mendorong kursi roda sementara Runa malah mengobrol santai?
Ck! Qian berdecak lirih, "kok malah aku yang kayak pembantu jadinya?"
.
.
.
Up pagi meskipun hari libur nih
Jangan lupa like sama komennya guys
happy weekend, meskipun aku nggak terlalu happy sih soalnya besok senin wkwkwk
heeeemmm gimana tanggapan mama retno yaaaa pasti ndukung bgt klo sandra bilang qian pacaran ma runa....
yaaa salamm....serba salah ngadepin modelan sandra.
ya udh sih... nikmati aja . suruh nikah ya nikah aja.... gitu aja kok repot . emang kamu gak mau Qian nikah sama Aruna . pasti mau dong....masak gak mau...harus mau lah.... 🤭🤣🤣🤣 maksa ya .
oh ... Sandra....aduin aja ke mama Retno , sudah bisa dipastikan mama Retno bakal iya in aja . secara dia udah amat sangat cocok dengan Aruna .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍