NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:343
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ATURAN PELIBATAN

​Suara tangisan itu, yang diselingi oleh bunyi kehancuran dari dalam gudang, menggantung di udara malam yang asin seperti hantu. Itu mengubah segalanya. Misi ini bukan lagi tentang sebuah 'aset' di atas kertas; ini tentang seorang gadis yang ketakutan, terperangkap dalam badai kekuatannya sendiri. Di hadapan penderitaan yang begitu nyata, perintah 'DILARANG KERAS melakukan kontak' terasa begitu kejam dan tidak manusiawi.

​Aku dan Adhitama tetap membeku di balik kontainer, masing-masing memproses realitas baru ini dengan cara yang berbeda. Aku bisa melihatnya di rahang Adhitama yang mengeras dan matanya yang sedikit menyipit. Baginya, ini adalah komplikasi tak terduga. Sebuah variabel yang membuat misi menjadi lebih sulit dan berbahaya. Seringainya telah hilang, digantikan oleh topeng konsentrasi yang dingin. Dia sedang menghitung ulang, menyesuaikan strateginya.

​Bagiku, suara itu adalah sebuah panggilan. Gema dari ribuan pertempuran di masa lalu di mana aku berjuang untuk melindungi yang lemah. Naluri dewa perangku, yang selama ini kutekan dalam-dalam, mulai bergejolak. Naluri itu tidak peduli pada perintah dari seorang kepala sekolah fana. Naluri itu hanya mengenal satu hal: ada seseorang yang butuh pertolongan. Aku mengepalkan tanganku di dalam saku jaket, memaksa diriku untuk tetap diam, untuk mematuhi aturan permainan baru yang kubenci ini.

​Sesosok bayangan mendarat di samping kami tanpa suara, membuat kami berdua sedikit terkejut. Sari telah kembali dari pengintaiannya. Wajahnya, yang biasanya merupakan kanvas kosong, kini menunjukkan sedikit ketegangan di sekitar matanya.

​"Situasi di dalam lebih buruk dari yang kita duga," bisiknya, suaranya cepat dan efisien. "Aku menemukan jalan masuk lewat jendela ventilasi di sisi barat. Pemandangan di dalam... kacau."

​Dia berhenti sejenak, mengumpulkan data visual di benaknya menjadi laporan yang koheren. "Targetnya seorang gadis, mungkin tujuh belas tahun. Dia berkerudung, meringkuk di sudut terjauh gudang. Dia dikelilingi oleh puing-puing—peti kayu hancur, palet, drum logam penyok. Benda-benda di sekitarnya bergerak secara acak. Sebuah forklift kecil terangkat sekitar satu meter dari tanah sebelum jatuh lagi. Dia tidak mengendalikannya. Kekuatannya yang bereaksi terhadap kepanikannya."

​"Dia sendirian?" tanyaku, suaraku serak.

​Sari menggeleng. "Itu bagian yang aneh. Aku melihat dua orang lain. Laki-laki, dewasa, berpakaian hitam. Mereka tidak mendekatinya. Mereka hanya berdiri di sisi lain gudang, di dekat pintu keluar, seolah sedang... menunggunya lelah. Mereka bukan orang biasa. Aku tidak bisa mendapatkan pembacaan biologis yang jelas dari jarak itu, tapi postur mereka... mereka terlatih."

​Informasi ini mengubah peta permainan secara drastis. Ini bukan lagi sekadar seorang gadis yang kehilangan kendali. Dia tidak sendirian. Dia sedang... diburu? Atau diuji?

​"Jadi, kita punya pemain lain di lapangan," geram Adhitama, suaranya rendah. "Pak Tirtayasa tidak menyebutkan ini. Apa mereka tim lain?"

​"Aku tidak tahu," jawab Sari. "Tapi mereka bukan ancaman langsung bagi kita. Fokus mereka seratus persen pada gadis itu."

​GEDEBUK!

​Sebuah suara yang lebih keras datang dari dalam gudang, diikuti oleh jeritan melengking dari si gadis. Kali ini jeritannya penuh dengan rasa sakit.

​"Apa yang terjadi?" tanya Adhitama pada Sari.

​"Salah satu dari mereka melempar sesuatu ke arahnya," lapor Sari, matanya terpejam seolah sedang memutar ulang rekaman di kepalanya. "Sebuah pipa logam kecil. Dia berhasil menghentikannya di udara, tapi usahanya membuat beberapa rak baja di dekatnya runtuh. Salah satu rak menimpa kakinya. Dia terluka."

​Amarah membara di dalam diriku. Ini bukan lagi observasi. Ini adalah penyiksaan. Mereka dengan sengaja memprovokasinya, mendorongnya ke batas kemampuannya, menyakitinya untuk melihat seberapa kuat dia.

​"Kita harus masuk," kataku, tidak bisa menahannya lagi.

​Adhitama langsung menoleh padaku, matanya berkilat marah dalam kegelapan. "Jangan bodoh, Bima. Perintahnya jelas. DILARANG KERAS melakukan kontak."

​"Perintah itu dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap!" balasku, suaraku naik. "Perintah itu tidak memperhitungkan ada dua bajingan di dalam sana yang sedang menyiksa seorang anak!"

​"Itu bukan urusan kita!" sergah Adhitama. "Urusan kita adalah mengamati dan melapor! Ini adalah misi pertama kita. Apakah kamu mau kita semua dicap gagal karena kamu tidak bisa mengendalikan emosimu?"

​"Ini bukan tentang emosi, ini tentang akal sehat!" desakku. "Gadis itu terluka dan ketakutan. Jika kita tidak melakukan apa-apa, mereka bisa saja membunuhnya!"

​"Lalu kenapa? Itu akan menjadi bagian dari laporan observasi kita: 'Aset dihancurkan oleh pihak ketiga yang tidak dikenal'. Misi selesai!"

​Aku menatapnya dengan jijik. "Jadi begitu? Kita hanya akan berdiri di sini dan menulis catatan sementara mereka membunuhnya?"

​"YA!" bentak Adhitama. "Karena itulah yang diperintahkan kepada kita! Itulah artinya menjadi bagian dari tim, menjadi seorang prajurit! Kau mengikuti perintah, bahkan jika kau tidak menyukainya!"

​"Aku sudah pernah menjadi prajurit," kataku dingin, "dan perintah pertama dalam perang mana pun adalah melindungi nyawa orang tak bersalah jika kau mampu. Apa yang mereka lakukan di dalam sana bukanlah pertempuran, itu adalah eksekusi."

​Ketegangan di antara kami begitu pekat hingga nyaris bisa kurasakan, seperti listrik statis sebelum sambaran petir. Kami berdua berdiri, siap meledak.

​"Cukup," kata Sari, suaranya tetap tenang namun memiliki otoritas yang tak terbantahkan. Dia menatap kami berdua secara bergantian, dan analisisnya cepat dan tajam.

​"Adhitama benar," katanya, membuat Adhitama tersenyum puas. "Melanggar perintah langsung pada misi pertama akan memiliki konsekuensi serius. Pak Tirtayasa sedang menguji kepatuhan kita sama seperti dia menguji kemampuan kita."

​Senyum Adhitama melebar.

​"Tetapi," lanjut Sari, dan senyum Adhitama lenyap, "Bima juga benar. Data baru telah mengubah parameter misi. Kehadiran dua individu tak dikenal yang secara aktif memprovokasi target menciptakan variabel yang tidak dapat diprediksi. Tingkat stres target meningkat secara eksponensial, yang secara signifikan meningkatkan probabilitas ledakan telekinetik katastrofik yang dapat menghancurkan seluruh gudang dan membahayakan kita semua. Situasi ini secara inheren tidak stabil."

​Dia berhenti, membiarkan analisisnya meresap. "Secara logis, tindakan yang paling aman adalah intervensi terkontrol untuk menstabilkan situasi."

​"Jadi, apa kesimpulanmu, analis?" tanya Adhitama sinis. "Kita harus bagaimana?"

​Sari menatap lurus ke arah gudang. "Secara taktis... kita terjebak. Melakukan sesuatu itu berisiko. Tidak melakukan apa-apa... mungkin lebih berisiko."

​Saat itulah kami mendengarnya lagi. Bukan jeritan. Bukan tangisan. Tapi suara si gadis, berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya bergetar karena rasa sakit dan ketakutan, tetapi kata-katanya jelas.

​"Tolong... hentikan... aku mohon..."

​Dan kemudian, suara seorang pria, dingin dan tanpa emosi. "Tunjukkan pada kami lebih banyak lagi. Atau temanmu yang di luar akan menjadi yang berikutnya."

​Jantungku serasa berhenti berdetak. Teman? Teman yang mana?

​Sari langsung bereaksi. Matanya melebar saat dia memindai area di sekitar kami. "Sial," bisiknya. "Aku mendeteksi satu orang lagi. Tersembunyi. Sekitar lima puluh meter di sebelah timur. Dia tidak bergerak sama sekali, detak jantungnya sangat rendah. Seorang pengintai. Dia pasti sudah berada di sana sepanjang waktu."

​Ancaman itu bukan untuk kami. Itu adalah ancaman yang diarahkan pada si gadis. Mereka menahan temannya sebagai sandera untuk memaksanya mengeluarkan kekuatannya.

​Ini adalah garis yang tidak bisa kulanggar.

​"Cukup," kataku, suaraku rendah dan berbahaya. Aku tidak lagi meminta atau berdebat. Aku menyatakan sebuah fakta.

​Aku melangkah keluar dari balik kontainer.

​"Bima, berhenti!" perintah Adhitama.

​Aku tidak mempedulikannya. Aku terus berjalan melintasi jalan aspal yang pecah-pecah, langsung menuju pintu geser raksasa Gudang 7. Setiap langkah terasa berat, bukan karena ragu, tetapi karena bobot keputusan yang baru saja kubuat. Aku baru saja menyatakan perang terhadap perintah Pak Tirtayasa.

​"BIMA!" Adhitama berteriak, suaranya bercampur antara amarah dan kepanikan. "Jangan lakukan ini! Ini pengkhianatan!"

​Aku berhenti tepat di depan pintu, punggungku menghadapnya.

​"Bukan," kataku tanpa berbalik. "Ini adalah penyelamatan."

​Aku bisa merasakan tatapan Sari dan Adhitama di punggungku. Aku tahu pada saat itu, Tim Alpha telah pecah. Aku tidak tahu apakah mereka akan mengikutiku, mencoba menghentikanku, atau hanya menonton.

​Aku tidak peduli.

​Aku meletakkan telapak tanganku di atas permukaan logam pintu yang dingin dan berkarat. Di dalam, aku bisa mendengar si gadis mulai terisak lagi, sebuah suara putus asa yang menyayat hati.

​Aku menutup mataku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya dalam kehidupan baru ini, aku dengan sengaja memanggilnya. Bukan hanya sedikit kekuatan. Bukan hanya kontrol untuk menipu seorang analis.

​Aku memanggil gema dari sang Dewa Perang.

​Sebuah energi hangat mulai mengalir dari dadaku, turun ke lenganku, dan berkumpul di telapak tanganku. Logam di bawah sentuhanku mulai bergetar.

​Di belakangku, aku mendengar Adhitama mengumpat pelan. "Dia benar-benar akan melakukannya..."

​Aku membuka mataku. Saatnya berhenti bersembunyi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!