Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ucapan Chesna yang menyebut Gideon suaminya membuat udara di ruangan langsung beku. Gideon spontan menatap Chesna, matanya melebar, tidak menyangka akan disebut seperti itu.
Wanita di hadapan mereka memicingkan mata, lalu menatap ke arah Gideon dengan pandangan menilai dari ujung kepala hingga kaki. Ada jeda singkat sebelum bibirnya melengkung sinis.
“Oh... jadi ini suamimu?”
Chesna tidak menjawab. Ia berdiri tegak, sorot matanya tajam menantang.
Wanita itu mendekat satu langkah, pandangannya masih pada Gideon. “Harus kuakui, dia tampan,” katanya dingin. “Tubuhnya bagus juga...”
Ia melirik tongkat penyanggah di tangan Gideon dan menyeringai keji.
“...hanya sayang, cacat.”
Kata itu meluncur seperti racun.
Gideon diam, rahangnya mengeras. Ia tidak pernah peduli pada ejekan orang lain, tapi kali ini, diucapkan di depan Chesna dan dengan nada yang begitu menghina, kata itu terasa seperti belati yang menembus harga dirinya paling dalam.
Wanita itu belum berhenti. Ia menatap Chesna dengan tatapan tajam penuh cibiran.
“Sekarang aku mengerti,” ujarnya sinis. “Ternyata alasannya sederhana. Kau tidak puas dengan suamimu yang cacat, jadi kau cari pelarian di pelukan pria lain. Kasihan sekali, Dokter Chesna Abram yang sempurna ternyata tidak mendapatkan apa yang dia mau dari sua-”
PLAK!
Suara tamparan itu menggema keras.
Wanita itu terhuyung, memegang pipinya dengan tatapan tak percaya.
Sementara Chesna berdiri di hadapannya, napasnya tersengal, tangannya masih terangkat tinggi bergetar, tapi matanya menyala marah.
“Hati-hati bicara Anda!” seru Chesna, suaranya bergetar antara amarah dan luka. “Saya biarkan Anda memfitnah saya tadi karena saya masih menghormati Anda sebagai seorang istri yang terluka. Tapi kalau Anda berani menghina suami saya-” ia menatap dalam, suaranya turun tapi penuh tekanan. “...maka Anda sedang menghina kehormatan saya juga.”
Wanita itu membeku.
Gideon hanya bisa menatap dari samping, hatinya bergolak hebat. Ia tahu itu kebohongan manis karna mereka belum menikah, tapi bagaimana cara Chesna menyebutnya suami, dan membelanya tanpa ragu, membuat sesuatu di dalam dirinya bergetar hebat.
Suara tamparan tadi belum benar-benar hilang dari udara ketika wanita itu, dengan mata merah dan bibir bergetar, tiba-tiba melangkah maju lagi. Siap melakukan pembalasan. Tangannya terangkat. “Kau berani menamparku?!” pekiknya dengan nada histeris. “Perempuan rendah!”
PRANG…
Terdengar suara keras menghentak lantai!
Tongkat penyangga milik Gideon terlempar hingga menabrak dinding. Suaranya menggema, memecah ketegangan seolah sebuah peringatan.
Wanita itu menoleh dengan refleks. Begitu juga Chesna.
Gideon berdiri di sana, tanpa tongkatnya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, napasnya berat tapi stabil.
Dan di detik yang sama, ia melangkah.
Langkah demi langkah cukup untuk membuat semua orang lupa bahwa pria ini pernah dikasihani.
Wanita itu mundur perlahan, sorot matanya berganti antara takut dan tidak percaya.
“A–apa yang...”
Tapi Gideon tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, matanya tajam seperti baja yang sudah lama ditempa rasa sakit dan akhirnya kembali memantulkan cahaya.
Wanita itu tak sanggup bicara. Pandangannya turun ke kaki Gideon yang kini berdiri tegap, tanpa penyangga, tanpa bantuan. Dan wanita itu merasa goyah.
Sementara itu, Chesna hanya bisa terpaku.
Dunia di sekitarnya seolah berhenti. Yang ia lihat hanya Gideon, berdiri di sana, dengan tubuh kokoh, tegap, penuh wibawa, seperti seseorang yang baru saja menaklukkan takdirnya sendiri.
Air matanya menggenang begitu saja tanpa bisa ditahan. Bukan air mata sedih, melainkan sesuatu yang lebih dalam—perasaan campur aduk antara lega, kagum, dan bahagia yang nyaris meledak jadi sesak di dada. Ia ingin berlari memeluknya, tapi tubuhnya justru kaku.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menatapnya… dan tersenyum samar, sambil bibirnya bergetar tanpa suara.
Dalam hati, satu kalimat terucap,
Kau berhasil, Gideon... kau benar-benar berhasil.
Gideon menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu, dan di balik mata pria itu, ada rasa terima kasih yang dalam, bukan karena belas kasih, tapi karena kekuatan yang ia temukan berkat wanita itu.
Detik itu juga, dunia seakan hanya milik mereka berdua.
“Apa mungkin aku salah orang?” Teriak batinnya. Wanita itu, yang kini benar-benar kehilangan kata, hanya bisa menelan ludah dan melangkah mundur perlahan sebelum akhirnya pergi tergesa-gesa, disertai rasa malu yang tak bisa disembunyikan.
Chesna akhirnya melangkah maju, suaranya pelan tapi penuh emosi,
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sudah bisa...?”
Gideon tersenyum tipis, masih menatapnya lembut.
“Aku ingin kamu yang pertama tahu. Tapi... sepertinya waktunya datang lebih cepat dari yang kupikir.”
Chesna mengusap ujung matanya yang mulai basah, lalu tertawa pelan di antara isaknya.
Gideon menatapnya, mata itu teduh dan hangat.
Chesna menggeleng sambil tersenyum, air matanya menetes pelan.
Lalu tanpa sadar ia menatap tongkat yang tergeletak di lantai. Tongkat yang sebelumnya jadi simbol luka.
Pintu ruang pemeriksaan masih terbuka ketika suara langkah-langkah bergegas terdengar dari koridor. Beberapa staf klinik muncul, wajah mereka panik karena mendengar suara benturan keras barusan.
“Dok, ada apa?!” tanya salah satu perawat dengan nada khawatir. Matanya langsung menangkap tongkat yang tergeletak di lantai lalu berpindah ke Gideon, yang berdiri tegap di tengah ruangan.
Hening.
Semuanya berhenti seolah butuh beberapa detik untuk memahami pemandangan di depan mata.
Perawat itu menatap Gideon dari ujung kepala sampai kaki, lalu tanpa sadar menatap Chesna dengan ekspresi yang sama, bingung campur kagum.
“P-pak Gideon, anda sudah benar-benar sembuh?”
Chesna yang masih menahan haru hanya bisa tersenyum samar. Ia mengangguk pelan, suaranya nyaris bergetar.
“Iya… dia berdiri. Tanpa bantuan apa pun.”
Mata para staf membulat. Salah satu dari mereka spontan menepuk bahu rekannya sambil berbisik heboh, “Astaga, ini luar biasa!”
Yang lain ikut ternganga, lalu tersenyum lebar, hampir seperti anak kecil yang baru lihat keajaiban.
“Wah, Dokter Chesna! Anda berhasil, dok!”
Chesna terkekeh pelan, menggeleng. “Bukan aku. Beliau yang berjuang,” katanya tulus.
Gideon hanya menatap dari samping, bibirnya sedikit tersenyum.
Entah kenapa, mendengar orang memuji Chesna membuat dadanya hangat. Ia tahu betul kalau proses itu tidak mudah dan perempuan di hadapannya ini telah menemaninya di masa paling rapuh, memberi semangat di tiap langkah yang dulu terasa mustahil.
“Sudah cukup, jangan ribut,” ujar Gideon tenang, tapi nada suaranya lembut, tidak seperti biasanya yang kaku dan dingin.
Namun tentu saja, justru ketenangan itulah yang membuat semua orang makin kagum.
Salah satu perawat menunduk sopan sambil tersenyum lebar, “Selamat ya, Tuan. Kami semua ikut bangga.”
“Terima kasih,” jawab Gideon singkat.
Mereka pun pamit dengan mata berbinar-binar, masih menoleh beberapa kali sebelum akhirnya menutup pintu.
Begitu ruangan kembali sepi, barulah terdengar helaan napas panjang dari Chesna. Ia menatap Gideon yang kini duduk di tepi ranjang pemeriksaan, tangannya menepuk lutut pelan kebiasaan kecilnya setiap kali mencoba menenangkan diri.
Keheningan di antara mereka terasa damai.
Sampai akhirnya Chesna bersuara lirih, “Aku sangat kaget.”
“Wajar,” jawab Gideon, menatapnya dengan senyum tipis. “Aku juga kaget, bisa berdiri lagi. Oh tapi… wanita tadi, apa benar kau ada apa-apa dengan suaminya?”
Nada suaranya sedikit menggoda.
Chesna refleks menatapnya dengan ekspresi campuran antara geli dan jengkel manja.
“Oh, jadi kamu percaya dengan omong kosong itu?”
Gideon mengangkat alis, pura-pura berpikir.
“Hmm… mungkin. Tapi, apa iya calon istriku jadi selingkuhan?”
Chesna kembali menoleh dengan alis terangkat tinggi.
“Gideon!” serunya, nadanya antara malu dan kesal.
Tapi pria itu hanya menyunggingkan senyum tipis, lalu menyilangkan kakinya santai. “Apa? Aku cuma heran, kenapa tuduhannya bisa seakurat itu. Sampai-sampai kamu harus menunjuk aku sebagai ‘suami’.”
Chesna memutar matanya pelan, berusaha menahan tawa. “Kamu nggak keberatan, kan?”
“Keberatan?” Gideon mengangkat alis tinggi, pura-pura berpikir. “Hmm... mungkin tidak. Tapi aku harus akui, aku tadi cukup... terpesona.”
Kata terakhir itu membuat pipi Chesna bersemu. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap Gideon dengan pandangan separuh malu, separuh geli. “Kamu ini, ya… kalau lagi manis, rasanya pengen aku-”
“Pengen apa?” Gideon memotong dengan nada rendah yang begitu tenang namun membuat suasana tiba-tiba menghangat.
Chesna terdiam sejenak. Tatapannya jatuh ke tongkat di atas meja, lalu perlahan kembali naik ke mata Gideon. Di sana, ia melihat sesuatu yang lembut, tatapan yang tidak lagi penuh luka seperti dulu, tapi ada keyakinan baru di baliknya.
Tanpa banyak berpikir, ia melangkah mendekat. Satu langkah. Dua langkah. Sampai jarak di antara mereka hanya sejengkal saja.
Dan sebelum Gideon sempat berkata apa pun, Chesna meraih sisi wajahnya dengan kedua tangan, lalu memeluknya erat dari depan.
Tidak lagi canggung, tidak lagi ragu.
Pelukan itu penuh kehangatan, jujur, dan dalam.
Gideon sempat tertegun. Tubuhnya kaku beberapa detik sebelum perlahan-lahan ia membalas pelukan itu. Kedua lengannya melingkari punggung Chesna, menahan perempuan itu seolah takut jika ia melepaskannya, semua ini hanya mimpi.
“Chesna…” bisiknya pelan, suara yang nyaris tenggelam di antara detak jantung mereka berdua. “Apa yang kamu lakukan?”
—-
Bersambung… lagi ya.. mohon dipantau…
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/