Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dukungan Zidan untuk Khansa
Sudah satu minggu Khansa tinggal di kota, ia mulai terbiasa dengan kehidupan di kota. Apalagi mertuanya sangat sibuk dan jarang sekali di rumah.
Selama ini juga Zidan selalu menemaninya, bahkan ia mengajaknya di sekeliling komplek untuk lari pagi.
Selain Khansa yang mulai terbiasa, Zidan juga mulai terbiasa dengan kehadiran Khansa di dekatnya.
Bahkan, mereka berdua sangat sering melakukan kontak fisik. Saat tertidur pun, Zidan selalu memeluk Khansa.
Apapun akan dilakukan Zidan untuk Khansa, ia bahkan sudah membicarakan pada ibunya jika ia akan menikahi Khansa secara hukum. Zidan mulai mencintai Khansa dengan perlahan, ia selalu membuktikan cintanya dengan perlakuan kecil.
Lalu, bagaimana dengan Khansa? Akankah dia juga mulai jatuh cinta dengan Zidan? Dan memutuskan untuk mulai mencintainya?
“Zi, apa kamu tidak bosan terus menatapku seperti itu?” tanya Khansa.
Saat ini khansa sedang duduk di depan laptopnya, sedangkan Zidan duduk di ranjang dan terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Kenapa harus bosan? Istriku sangat menarik, untuk apa aku harus bosan?”
Khansa memilih diam, setiap kali Zidan mulai menggodanya, Khansa mengalihkan ke hal-hal yang lain. Seperti saat ini, ia sedang memeriksa kelengkapan berkas untuk mendaftar beasiswa tanpa Zidan ketahui.
Untuk saat ini, karir adalah prioritasnya. Bukan berarti Khansa tidak peduli dengan Zidan. Tapi ada hal yang perlu ia utamakan.
Tidak ada yang tau bagaimana perasaan Zidan yang sebenarnya. Tapi yang jelas, Khansa juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Zidan.
“Pertanyaanku selama ini belum kamu jawab, apa kamu tidak akan menjawabnya?” tanya Zidan.
“Pertanyaan apa yang kamu maksud? Aku tidak mengerti, bisakah kamu katakan lebih jelas lagi?”
Zidan beranjak dari kasur, berjalan menuju ke arah Khansa. Dengan cepat Khansa menutup laptop dan beberapa berkas miliknya.
Khansa duduk menghadap ke arah Zidan yang kini sudah duduk di depannya dengan senyuman yang hangat di bibirnya.
“Dengar,” Zidan meraih tangan Khansa. “Aku selalu bertanya padamu apa yang kamu inginkan, jika tidak salah kamu ingin melanjutkan pendidikanmu. Jadi, penuhi keinginanmu. Untuk masalah biaya, biarkan aku yang akan menanggungnya.”
“Ti-tidak! Aku tidak ingin membebanimu dan keluargamu,” tolak Khansa yang merasa tidak enak hati.
“Kamu tidak akan membebani keluargaku apalagi aku. Kamu tanggung jawabku, sudah seharusnya aku memenuhi kewajibanku. Lagipula aku sudah punya usaha sendiri. Memang tidak sebesar punya mama, tapi itu sudah cukup untuk membiayai kamu dan diriku sendiri,” jelas Zidan.
Khansa menundukkan kepalanya, “Aku tahu, tapi tetap saja. Kalaupun aku harus mengeluarkan biaya, biarkan orang tuaku yang membayarnya.”
Tidak ada yang tau bagaimana di masa depan. Mungkin sekarang Zidan baik padanya, tidak tau untuk seterusnya. Bisa saja Zidan berubah, dan Khansa tidak akan mengambil resiko yang nantinya akan menimbulkan masalah untuk dirinya sendiri.
Lagipula, hubungan mereka masih beberapa hari. Belum ada satu bulan, jadi Khansa tidak ingin menggantungkan dirinya pada Zidan.
“Sa, aku suamimu. Jadi, sudah seharusnya aku melakukan semua ini untukmu.” Zidan memegang erat tangan Khansa.
“Aku tau, dan itu sudah cukup membuktikan. Tapi, untuk masalah ini tidak bisakah kamu menghargai keputusanku? Aku sedang memperjuangkan keinginan dengan usahaku sendiri,” jelas Khansa yang berusaha memberikan pengertian pada Zidan.
Zidan menarik tangan Khansa, mau tidak mau Khansa berdiri di depan Zidan. Mereka berdua menatap satu sama lain. Bisa dilihat dari sorot mata Zidan yang sangat mencintai Khansa. Namun sebaliknya, Khansa terlihat biasa saja, seperti tidak ada yang terjadi.
“Akh!” Khansa duduk di pangkuan Zidan karena tangannya ditarik olehnya. Tangan Zidan melingkar memeluk pinggang Khansa.
“Kalau begitu, apa kamu bisa memberitahuku apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apapun itu aku akan mendukung dan membantumu.”
Khansa diam menatap Zidan, ia ragu untuk mengatakannya. Setelah berpikir panjang, sepertinya Khansa memang harus memberitahu Zidan.
Zidan menatap Khansa yang mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Aku ingin mendaftar beasiswa,” lirihnya.
“Beasiswa?” Khansa mengangguk menatap Zidan.
“Kenapa? Kamu ragu jika aku tidak bisa membiayaimu?” Khansa menggelengkan ribut.
“Bukan seperti itu, prodi yang ingin aku ambil sangatlah mahal. Aku sudah merencanakan ini jauh sebelum aku masuk sekolah menengah. Tiga tahun aku sudah mempersiapkan semua ini, jadi aku mohon biarkan aku melakukannya.”
“Sa? Saingan kamu tidak hanya sepuluh orang, ribuan orang. Kamu belum tentu bisa mendapatkan beasiswanya, bukan aku meragukanmu. Tapi aku tidak ingin kamu kecewa.”
“Aku tau, setidaknya aku harus mencobanya. Kalaupun tidak berhasil masih ada kesempatan lain.” Khansa menegakkan tubuhnya saat pelukan Zidan semakin erat.
“Kalau begitu, jika kamu tidak lolos. Biarkan aku yang membiayaimu. Apapun prodi yang akan kamu ambil. Kalau boleh tahu, kamu ingin mengambil prodi apa?” tanya Zidan.
“Desain,” lirihnya.
“Desain?” Khansa mengangguk.
“Kalaupun kamu ingin menjadi dokter, aku akan tetap membiayaimu, Sa.”
Khansa menghela nafasnya, “Begini saja, jika aku memang tidak bisa mendapatkan beasiswa ini. Aku akan menerima apapun keputusanmu.”
Mendengar keputusan Khansa membuat hatinya senang. “Baiklah. Ini sudah menjadi keputusan kita berdua, dan aku akan mendukungmu. Jadi, kapan kamu akan mengikuti tesnya?”
“Lusa, jadi besok aku harus belajar buat mengikuti tes tertulisnya. Tapi—”
“Tapi apa? Katakan saja.”
“Aku… aku perlu membeli beberapa keperluan untuk persiapan. Selain alat tulis, aku perlu membeli beberapa buku untuk tes kejuruan.”
“Oke, kalau begitu kita beli sekarang! Aku akan mengantarkanmu, jadi siap-siaplah.” Zidan mengangkat tubuh Khansa untuk berdiri.
“kita pergi sekarang?”
“Tentu! Aku tidak ingin kamu gagal, jadi kita persiapkan semuanya dan besok aku akan bantu kamu belajar. Kita memang beda kejuruan. Tapi aku bisa bantu kamu di materi umum.”
Khansa merasa sangat senang hingga tidak sengaja memeluk Zidan dengan erat. Sedangkan Zidan tersenyum dan membalas pelukan Khansa.
“Terima kasih karena sudah mau membantu!” Khansa begitu senang, bahkan saat berada di pelukan Zidan ia melompat kecil.
“Oke, sudah cukup. Kita jadi pergi tidak? Sekalian kita jalan-jalan, aku belum pernah membawamu pergi jalan-jalan. Kita hanya pergi disekitar komplek ini aja,” ucap Zidan yang berhasil membuat Khansa berhenti melompat.
“Maaf…” khansa melepaskan pelukannya, saat ini ia merasa canggung dan malu dengan apa yang ia lakukan.
“Bersiaplah, aku akan menunggumu.” Khansa mengangguk.
Zidan pergi keluar dari kamar, menunggu di ruang tamu agar Khansa bisa bersiap-siap.
“Astaga Khansa! Bikin malu aja! Please, malu banget buat ketemu sama Zidan. Lupakan! Jangan membuatnya menunggu terlalu lama.”
Khansa berganti baju, memilih mengenakan dress yang lumayan panjang, dengan panjang lengang diatas siku. Terlihat elegan, tidak ada yang tau jika dirinya berasal dari desa. Sedikit polesan di wajahnya membuat penampilannya semakin anggun.