Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. JALAN-JALAN
Mentari siang meneteskan sinarnya ke halaman kediaman gubernur, membuat daun-daun flamboyan berkilau bagai permata hijau yang ditaburi cahaya emas. Angin laut yang lembut membawa aroma asin bercampur wangi bunga kamboja dari taman, dan di beranda rumah besar itu Aruna berdiri dengan selendang tipis menutupi bahunya. Wajahnya pucat namun segar, bekas sakit panjang beberapa hari lalu masih tampak, tetapi sinar kehidupan telah kembali ke matanya.
Van der Capellen mendekat, mengenakan jas putih tipis yang lebih sesuai dengan udara tropis. Ia menatap Aruna dengan senyum hangat, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun selain gadis itu.
"Aruna," ucapnya pelan, "hari ini aku ingin mengajakmu keluar. Batavia tidak hanya seperti yang terlihat dari jendela kamar atau halaman kediaman. Ada denyut kehidupan yang berbeda di pusat kotanya, dan aku ingin kau melihatnya."
Aruna menoleh, alisnya terangkat lembut. "Pusat kota?" tanyanya, suaranya mengandung nada ragu sekaligus penasaran. "Bukankah ramai sekali di sana? Aku takut tidak sanggup dengan hiruk pikuk setelah sekian lama terbaring."
Van der tersenyum sabar. "Justru itu sebabnya kita akan pergi. Agar tubuhmu kembali terbiasa, agar jiwamu tidak terkungkung oleh tembok-tembok rumah ini. Aku berjanji, kita tidak akan berlama-lama. Aku ingin kau melihat wajah Batavia, dengan segala indah dan buruknya. Aku ingin membelikanmu beberapa hadiah sebagai tanda kesembuhanmu."
Ada jeda sejenak, lalu Aruna mengangguk. Selendangnya ia rapatkan, menutupi sebagian rambut hitamnya yang diikat sederhana. Dalam hatinya, ia merasa berdebar, sebuah perjalanan kecil yang mungkin akan meninggalkan kesan besar.
Kereta kuda beroda besar membawa mereka menembus jalanan Batavia. Suara derap kuda berpadu dengan derit roda di atas jalan berbatu. Dari jendela kereta, Aruna melihat rumah-rumah Belanda berjejer rapi, dengan pintu kayu besar dan jendela kaca yang berkilau. Namun di sela-selanya tampak gubuk-gubuk kayu milik pribumi, berdiri dengan sederhana, dinding anyaman bambu yang mudah ditembus angin.
"Beginilah kota ini," ujar Van der dengan nada reflektif, menatap keluar jendela seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Ada keindahan, tetapi juga luka yang nyata."
Aruna mengikuti pandangannya. Di sebuah sudut jalan, ia melihat seorang ibu pribumi berjalan sambil menjunjung bakul penuh sayur, wajahnya letih, pakaiannya lusuh. Tak jauh dari sana, seorang budak lelaki dengan rantai tipis di lehernya sedang dipaksa mengangkat peti berat oleh seorang Belanda gemuk yang berteriak-teriak.
Aruna menggenggam tangannya di pangkuan, merasakan sesak di dada.
"Perbudakan," cibir Aruna lirih. "Aku membencinya."
Van der mengangguk pelan, matanya redup. "Aku juga. Tetapi hukum yang diwariskan dari pemimpin sebelumnya masih mengizinkan sistem itu. Aku hanya bisa melarang penyiksaan dan kematian. Itu pun sering dilanggar diam-diam." Ia menarik napas panjang, menahan getir. "Kadang aku merasa tak berdaya di hadapan sistem yang lebih tua dari aku sendiri."
Aruna menoleh padanya, melihat kesungguhan di wajah gubernur itu. Ada sesuatu yang jujur dan rapuh dalam tatapannya. Untuk sejenak, Aruna merasakan empati yang dalam.
Kereta kuda akhirnya berhenti di dekat alun-alun kota. Hiruk pikuk pasar menyambut mereka: pedagang Tionghoa dengan jubah longgar memamerkan kain sutra berwarna-warni; pedagang Arab menjajakan rempah dengan aroma kuat yang menusuk; pribumi menawarkan buah-buahan tropis yang ranum; dan orang-orang Eropa melintas dengan payung renda serta topi lebar.
"Batavia adalah pertemuan dunia," kata Van der sambil membantu Aruna turun dari kereta. "Lihatlah, semua bangsa, semua bahasa, berbaur di sini. Namun tidak semua saling menghormati."
Aruna menapakkan kakinya di jalan berbatu, menghirup aroma bercampur yang aneh: wangi bunga melati, amis ikan, manis gula aren, dan asap arang yang menyesakkan.
Mereka berjalan menyusuri deretan toko. Salah satunya adalah toko pakaian dan perhiasan milik seorang Tionghoa. Kain sutra dengan motif naga dan bunga peony dipajang di etalase, berkilau ditimpa cahaya matahari.
Van der menoleh pada Aruna. "Mau masuk? Aku ingin kau memilih sesuatu untuk dirimu."
Aruna ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka melangkah masuk. Seorang pria Tionghoa paruh baya segera menyambut dengan ramah. "Selamat datang, Tuan, Nona. Apa yang bisa saya bantu?" katanya dengan aksen khas.
Van der bersiap menjawab dalam bahasa Belanda, tetapi Aruna mendahului. Dengan senyum lembut, ia menanggapi dalam bahasa Tionghoa yang fasih.
"Saya hanya ingin melihat-lihat dulu. Kain-kain ini indah sekali," kata Aruna salam bahasa Tionghoa.
Pria itu terkejut, matanya berbinar. "Ah! Nona bisa berbahasa Tionghoa? Lancar sekali!"
Van der menoleh cepat, matanya membelalak. "Aruna?"
Aruna menahan tawa melihat ekspresi gubernur itu. Ia hanya tersenyum lebar, menunduk sedikit lalu berkata dalam bahasa Belanda, "Aku belajar. Sama seperti aku belajar bahasa Belanda. Lidahku mudah terbiasa, itu saja."
Van der menggeleng, separuh kagum separuh bingung. "Aku semakin tak mengerti kau, Aruna. Kau selalu menyimpan kejutan."
Mereka masih berbincang ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari luar toko. Suara panik, disusul kegaduhan orang-orang yang berkerumun. Van der segera keluar, Aruna mengikutinya dengan langkah cepat.
Di jalan, seorang wanita Belanda terbaring di pelukan seorang pria muda berwajah pucat. Wanita itu sendiri tampak lebih pucat lagi, bibirnya kebiruan, keringat bercucuran di dahi. Dadanya naik turun dengan terengah-engah, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Lalu, tanpa daya, ia terkulai pingsan.
"Maria! Bangunlah, Maria!" seru pria itu, jelas panik, suaranya pecah.
Orang-orang berbisik cemas. Beberapa mencoba mendekat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
Aruna segera maju. Ia berlari kecil, lalu berlutut di sisi wanita itu.
"Tuan," sapa Aruna kepada pria muda yang memangku istrinya, "izinkan saya memeriksanya. Saya tabib."
Pria itu menatap bingung, lalu ke arah Van der yang berdiri tegap. Gubernur itu mengangguk singkat, memberi isyarat percaya. Dengan ragu, pria itu akhirnya menggeser tubuhnya, memberi ruang pada Aruna.
Aruna menunduk, meletakkan tangannya di pergelangan wanita itu untuk meraba denyut nadi. Lemah, sangat lemah. Ia menempelkan telinganya dekat mulut wanita itu: napasnya berbunyi serak, seperti ada sesuatu yang menghalangi jalannya udara.
"Gejala sesak napas akut," gumam Aruna pada dirinya sendiri. "Seperti asma."
Ia menepuk lembut pipi wanita itu, mencoba membangunkannya, tetapi hanya ada desahan lemah. Keringat dingin terus mengucur dari pelipisnya.
Aruna mendongak menatap Van der, matanya serius. "Kita harus segera menolongnya. Ia kehabisan udara."
Kerumunan semakin rapat, orang-orang berdesakan ingin melihat. Suara panik berbaur dengan seruan tak jelas. Seorang pedagang buah menaruh keranjangnya begitu saja di jalan, seorang ibu pribumi menutup mulut dengan kain lusuhnya, dan beberapa orang Belanda bersuara keras menyalahkan panas udara tropis sebagai penyebab.
Namun di tengah hiruk-pikuk itu, Aruna tetap tenang. Ia meletakkan wanita pucat itu telentang, melonggarkan kerah gaunnya yang terlalu ketat.
"Dia tidak bisa bernapas karena jalan udara di dadanya menyempit," ucap Aruna kepada pria muda yang nyaris menangis. "Kita harus membantunya agar dada lebih terbuka."
Dengan gerakan hati-hati, Aruna mengangkat kepala wanita itu sedikit, menempatkan lipatan kain di bawah lehernya agar jalan napas lebih lurus. Tangannya yang halus tapi tegas menepuk-nepuk ringan punggung wanita itu, mencoba memicu refleks pernapasan.
"Tuan?!" panggilnya cepat, "Tolong mintakan air hangat, atau lebih baik minyak kayu putih, jika ada yang menjual di dekat sini!"
Seorang babu gubernur yang ikut mendampingi langsung berlari mencari.
Wanita itu masih megap-megap, dadanya tersengal, wajahnya semakin pucat.
Kerumunan mulai heboh. "Dia sekarat ... oh, Tuhan."
Aruna menoleh pada pria muda itu, matanya tegas. "Tuan, tenanglah. Kepanikan tidak menolong. Biarkan saya yang mengurus."
Van der berdiri tegak di belakang Aruna, menatap dengan kekaguman bercampur khawatir. Ia belum pernah melihat gadis itu begitu berwibawa, seperti seorang tabib yang terlatih. Membuat Van der antusias ingin melihat apa yang dapat Aruna lakukan dalam keadaan seperti ini.