Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 12: The Morning After
Pikiran Selina bukannya tenang, tapi malah semakin runyam. Ya gimana lagi… semalam baru saja dia melakukan adegan intim dengan bosnya sendiri. Dia sendiri juga yang meminta. Tapi… dia juga tidak bisa bohong kalau dia sangat menikmati belaian Leonhard.
Semalam, Leonhard sangat lembut denganya. Selina juga merasa berterima kasih karena sudah ‘membantunya’ pahal hal buruk terjadi karena kesalahan dirinya sendiri. Dia tidak seharusnya menerima minuman itu. Dia seharusnya lebih sadar kalau siapapun bisa berpura-pura mengenal Leongard, Prima, ataupun Raghav. Dia seharusnya… tidak impulsif.
Dan sekarang, dia masih terbaring di atas kasur berdampingan dengan Leonhard. Dia melirik ke bosnya itu. Wajahnya tenang seperti tidak ada beban—tidak seperti pria dingin yang selalu menatapnya tajam di bar. Rambutnya berantakan, dada bidangnya naik turun masih tertidur pulas.
Selina menggigit bibir bawahnya. Semalam masih terasa seperti mimpi. Antara salah dan benar, antara bahaya dan menggoda. Tangannya ingin sekali menyentuh wajah tampan itu, memastikan pria ini nyata, bukan bayangan.
Tapi sebelum jarinya benar-benar menyentuh, Leonhard bergumam pelan, kelopak matanya bergetar. Ia berbalik sedikit, sehingga wajahnya berhadapan dengan Selina. Nafas hangatnya menyapu wajahnya.
Kelopak mata Leonhard perlahan terbuka, pandangan matanya masih berat dan kabur, tapi langsung tertuju pada Selina yang terlihat panik memalingkan wajahnya. Senyum samar muncul di bibir Leonhard.
“Morning…” suaranya serak dan dalam.
Selina menahan nafas mendengar suara itu lagi. Dia buru-buru menarik selimut sampi menutupi setengah mukanya.
“Pagi…” jawabnya singkat, merasakan pipinya memanas.
Leonhard terkekeh kecil, suaranya merdu karena baru bangun tidur, lengan kekarnya hampir menyentuh Selina. “Kamu keliatan… gelisah. Kenapa? Hm? Nyesel?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu.
“It’s not like that… cuma… I don’t know how to act right now,” jawab Selina masih menutupi setengah wajahnya dengan selimut.
“Kemana Selina yang berani? Yang selalu ngebantah?” Tawa Leonhard kembali terdengar. Selina ikut terkekeh sambil memukul pelan dada Leonhard.
Leonhard mengucek matanya, lalu mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. “Just act normal. Nggak ada yang harus berubah. Anggap aja saya cuma bantu kamu semalem.”
Selina sedikit tertegun. Susah untuk menyangkal kalau kalimatnya tidak menusuk hatinya. Apakah Selina mulai menyimpan perasaan pada bosnya? Atau hanya perasaan semata yang dipicu kejadian semalam?
Selina menelan ludah, senyumnya hilang dari bibir itu. “Gampang banget ngomongnya…” gumam Selina pelan—mengalihkan pandangan dari mata Leonhard.
Leonhard menghela nafas kecil. “Jangan bikin rumit, Selina. Masih banyak yang harus saya selesaikan.”
Selina menoleh cepat ke arah Leonhard. Dia menatapnya tapi tidak berkata. Seakan harapannya yang baru saja mucul langsung dipatahkan.
“Now tell me. How did you end up like last night?” tanya Leonhard mengalihkan topik pembicaraan.
Leonhard terdiam sejenak, rahangnya mengeras dia yakin pria yang ditemuinya malam itu pasti orangnya.
“I think… ada yang menaruh sesuatu di minuman yang aku minum,” jawab Selina, nadanya sedikit ketus.
“Siapa?” Dia tetap bertanya untuk memastikan.
Selina menggeleng celat. “Gak tau… aku gak bisa liat mukanya. Katanya minuman itu dari Prima. Salahnya aku gak cek lagi.”
“Prima?” tanya Leonhard cepat. Sleina hanya mengangguk tidak punya penjelasan lain. “Semalem Prima gak ada di bar,” imbuh Leonhard yang membut Selina membelalakkan matanya.
“Jangan bercanda. Aku pikir Prima lagi di arena sama kamu.” Jawaban Selina malah berbalik kepada rahasinya. Leonhard bangkit duduk, menghadap Selina.
“Arena? So… you found out?”
Selina tercekat, tubuhnya reflek menegang. Matanya melebar, menatap Leonhard tak percaya. “Hah… jadi beneran ada balap liar?” suaranya setengah berbisik.
“That’s not the point right now. Kenapa kamu bisa di sana?”
Selina ingin berbohong, tapi kilatan mata Leonhard terlalu menusuk untuk dilawan. Ada apa ini? Kenapa Selina jadi melembut dengan Leonhard?
“Aku gak sengaja liat pintu belakang kebuka—biasanya kan dikunci. Ya… aku penasaran. Pas aku keluar… ya itu yang aku liat. Terus… aku masuk lagi sama cowok yang itu—yang nawarin aku minuman. Dia bilang mau ngasih tau info tentang arena…”
Leonhard mengusap kasar wajahnya, kemudian memijat pelan pelipis. “Selina… Selina… Kamu tau? Kamu itu pintar, tapi kurangin impulsifnya. Lihat kamu semalam… kalau dia ngebahayain nyawa kamu gimana?”
Selina benar-benar dibuat pusing dengan sikap Leonhard yang tarik ulur ini. Sedetik dia menjauh dan nemberi batas antara mereka, sedikit kemudian dia berubah manis.
Leonhard melepas nafas beratnya, menyandarkan siku di lutut, jemarinya menangkup wajah sebentar. “Berapa kali harus saya ingatkan? Curiousity kills the cat, Selina.” Nadanya dingin seperti peringatan. “Kalau saya telat sedetik aja, cowok itu mungkin udah dobrak pintu toiletnya,” tambah Leonhard, menoleh ke arah Selina.
Selina menunduk merasa bersalah dan tidak bisa berkata apa-apa lagi karena dia sadar itu murni kesalahannya sendiri.
“But… kamu datang tepat waktu…” gumam Selina pelan sambil memainkan kukunya.
Leonhard menyentuh dagu Selina, mengangkatnya agar mereka saling tatap. Aura dominan dari Leonhard sangat kuat sehingga Selina tidak punya celah untuk menyelinap.
“Ingat ini. Minuman apapun yang dikasih orang lain, anggap aja itu racun. Paham?”
Hanya anggukan pelan yang bisa Selina berikan. Ada sesuatu dalam cara Leonhard bicara—dingin, tapi juga protektif.
“Satu lagi. Kunci mulutmu. Jangan sampai topik arena Vault 33 keluar dari sini… termasuk kerucilmu—” Ucapan Leonhard terputus. Dia hampir saja keceplosan menyebut dua nama yang sangat dekat dengan Selina, Megan dan Tessa.
“Hah? Kerucil?” tanya Selina bingung.
Leonhard membeku sepersekian detik, tatapannya menajam, mengusap kasar wajahnya lagi. Ia berdiri berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden seakan mencari jeda untuk menata kata-kata.
“Forget it,” ucapnya pendek, tapi nada suaranya jelas.
Selina mengerutkan kening. “Maksudmu siapa? Aku punya kerucil?” desaknya merangkak mendekat ke ujung kasur.
Leonhard menoleh cepat ke arah Selina. “Ada hal-hal yang lebih aman kalau kamu gak tahu.”
Selina menatapnya semakin bingung. Obrolan ini seperti tidak ada arah—apa yang ditanyakan selalu dibalas dengan informasi baru yang tidak jelas.
“Kita lagi ngomongin apa sih?” desak Selina semakin kesal. “Kamu dari tadi ngomongnya ngelantur.”
“Exactly. Justru saya gak bisa kasih tau… because it’s you,” jawabnya datar sambil berjalan mendekati Selina. “Kamu akan tau, tapi gak sekarang.”
Kemudian dia berjalan keluar kamar, tapi sebelum menutup pintu dia berbalik sebentar. “Bersih-bersih. Saya buat sarapan dulu.” Setelah itu pintu itu tertutup meninggalkan Selina dalam kebingungan.
Ia akhirnya bangkit dari kasur, melangkah pelan menelusuri kamar yang masih asing baginya. Kalau diingat-ingat, ini kedua kalinya dia berada di ruang pribadi Leonhard. Yang pertama di rumahnya, dan sekarang di apartemennya. Kalau teman-temannya tahu, mereka pasti akan mengatainya gila.
Langkahnya terhenti di meja kerja—terdapat tumpukan buku klasik.
“Hm? Banyak banget buku sastra?” gumam Selina melihat tumpukan buku-buku yang tidak asing baginya sebagai mahasiswa Sastra Inggris. Tapi dia tidak terlalu menggubris, mungkin hanya kebetulan. Lagipula, Selina juga berpikir Leonhard pasti orang yang cerdas.
Di samping tumpukan itu ada kertas, sebagian berisi coretan angka dan diagram yang tidak dia pahami. Di atasnya, tergeletak kartu akses hitam.
Selina menunduk, meraihnya. Ternyata kartu nama. Di inisial kartu itu tertulis B.R.
Alisnya berkerut, “B.R…? Siapa?” gumamnya pelan. Belum sempat ia meletakkan kartu nama itu, Selina dikagetkan oleh suara Leonhard yang tiba-tiba datang dengan wajah sedikit panik.
“What are you doing?” tanganya sambil melangkah lebar mendekati Selina. Matanya fokus pada kartu nama di tangan Selina, kemudian langsung mengambilnya.
Selina refleks melepaskan kartu itu, gerakannya cepat seolah benda kecil itu berbahaya jika berada di tangan orang lain.
“Aku cuma liat-liat…” ucap Selina tenang.
Leonhard menatapnya tajam. “Jangan sembarang nyentuh barang milik saya.” Nada suaranya rendah tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya merending.
Selina terdiam, dia belum pernah melihat ekspresi Leonhard yang tadi—dia seperti bisa menghabiskannya detik itu juga. Lalu, seolah sadar kalau reaksinya terlalu keras, Leonhard membuang nafas berat. Ia menyelipkan kartu nama itu ke kantong celananya.
“Saya… kamu mau susu? Atau kamu laktosa intoleran…?” tanyanya, nada bicaranya melembut.
Selina menggeleng pelan, masih kaget dengan reaksi Leonhard yang aneh. “I’m fine with it.”
Kemudian Leonhard berbalik menuju pintu tanpa menatap Selina lagi. Selina masih terpaku. Kata-katanya seperti alarm yang harus diingat.
“What’s wrong with him…” gumam Selina, bergegas untuk mandi.