FB Tupar Nasir, ikuti FB nya ya.
Diam-diam mencintai kakak angkat. Namun, cintanya tidak berbalas. Davira, nekad melakukan hal yang membuat seluruh keluarga angkatnya murka.
Letnan Satu Arkaffa Belanegara, kecewa dengan kekasihnya yang masih sesama anggota. Sertu Marini belum siap menikah, karena lebih memilih jenjang karir yang lebih tinggi.
Di tengah penolakan sang kekasih, Letnan Arkaffa justru mendapat sebuah insiden yang memaksa dia harus menikahi adik angkatnya. Apa yang terjadi?
Yuk kepoin.
Semoga banyak yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Luka yang Tak Pernah Sembuh
Suasana rumah itu yang biasanya ramai terasa begitu tegang sore itu. Baru saja Davira menutup buku catatannya di kamar, suara langkah cepat terdengar dari arah ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu kamarnya dibuka kasar oleh Bu Daisya.
Davira!" Suara Bu Daisy menggelegar, membuat jantung Davira berdegup kencang.
Davira buru-buru berdiri dari kursinya, wajahnya memucat. “Ada apa, Ma?” tanyanya hati-hati.
Bu Daisy melangkah masuk, diikuti Pak Daka yang menatap dengan wajah berat. “Kamu tadi pergi naik mobil seorang pria?” tuduh Bu Daisy tanpa basa-basi.
Kedua mata Davira membesar. Ia langsung teringat Dewa yang menolongnya di jalan pagi tadi, ketika ia hampir terlambat ujian. "Bukan begitu, Ma. Vira ....”
"Jangan banyak alasan!” potong Bu Daisy ketus. "Diza melihat sendiri kamu naik mobil seorang laki-laki. Anak kecil saja tahu, gadis baik-baik tidak sembarangan masuk mobil pria lain," dengusnya.
“Ma .…” Suara Davira bergetar. Ia mencoba menjelaskan. “Itu Dewa, teman kuliah. Vira tadi hampir terlambat ujian. Karena angkot yang Vira tunggu nggak kunjung datang, jadi ...."
"Jadi kamu merasa benar dengan naik mobilnya?” Bu Daisy semakin meninggi. “Apa kamu kira aku dan Papa sebodoh itu untuk percaya? Dari dulu aku sudah bilang, aku tidak pernah sepenuhnya percaya sama kamu. Di luar rumah, siapa yang tahu kelakuanmu sebenarnya?"
Kata-kata itu bagaikan pisau menancap dalam di hati Davira. Dadanya sesak, matanya panas menahan air mata. Ia mencoba bertahan, tapi suara lirihnya pecah.
"Vira tidak seperti itu, Ma. Vira tidak main-main dengan lelaki di luar. Demi Allah, Vira cuma ....”
Pak Daka menghela napas panjang, menatap Davira dengan kecewa. “Kamu sadar nggak, Vir, apa akibatnya kalau gosip ini sampai keluar? Nama baik keluarga kita dipertaruhkan. Apalagi Kaffa di luar sana berjuang di medan tempur. Kalau sampai dia dengar kabar istrinya naik mobil pria lain .…"
Davira menunduk. Setiap kata “istri” yang dilontarkan mertuanya justru terasa seperti beban, bukan kehormatan. Karena sejak awal, ia tahu pernikahannya dengan Kaffa hanyalah keterpaksaan, sebuah konsekuensi dari kesalahan yang ia buat.
Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga. "Vira tahu Vira bukan anak kandung Mama dan Papa. Vira tahu Vira cuma anak angkat. Tapi … setidaknya, percayalah kalau Vira nggak pernah berniat mempermalukan keluarga ini." Davira bicara sungguh-sungguh.
Bu Daisy mendengus, melipat tangan di dada. “Percaya? Bagaimana aku bisa percaya kalau kenyataannya mataku sendiri sudah melihat kamu melakukan tipu daya? Kamu menjebak Kaffa, anakku, sampai terpaksa menikahimu. Dan sekarang, kamu membuatku semakin yakin, di luar sana kamu tidak sebaik penampilanmu!”
Davira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sakit sekali rasanya. Ingin rasanya berteriak bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan. Ingin ia bercerita bahwa Marini, calon mantu idaman itu, justru penuh tipu muslihat. Tapi lidahnya kelu. Apa gunanya bicara kalau tidak ada yang mau mendengar dan bukti yang jelas, seperti foto misalnya.
Bi Dioh yang sejak tadi berdiri di pintu, hanya bisa menatap iba. Tidak tega rasanya melihat gadis sepolos dan sebaik Davira dihantam tuduhan sekejam itu. Tapi Bi Dioh pun tidak berani menyela, karena tahu kedudukannya hanya seorang pembantu.
Setelah puas meluapkan amarah, Bu Daisy meninggalkan kamar itu dengan langkah kasar. Pak Daka hanya menepuk pelan bahu Davira sebelum menyusul istrinya. Tinggallah Davira terduduk lemas di tepi ranjang, menangis dalam diam.
“Semua orang salah paham sama aku, Ya Allah. Apa aku memang seterhina itu?" bisiknya lirih. "Ini memang salahku, aku yang membuat mama dan papa beranggapan seperti itu," batinnya menyadari.
Hari-hari berikutnya, Davira menjalani rutinitas kuliahnya dengan hati yang berat. Ia berusaha tetap fokus menghadapi ujian akhir semester, meski pikirannya terus terganggu oleh kata-kata Bu Daisy.
Hingga suatu sore, ketika ia pulang dari kampus, langkahnya terhenti di depan sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Dari kaca bening kafe itu, matanya menangkap pemandangan yang membuat dadanya serasa ditusuk.
"Mbak Marini."
Perempuan cantik bergaun polos itu duduk berseberangan dengan seorang pria berseragam polisi. Mereka tampak mesra. Marini menyuapkan sesuap makanan ke mulut pria itu, lalu tertawa renyah ketika pria itu menggoda balik.
Davira tertegun, tubuhnya membeku. Napasnya tercekat. Terlihat jelas, pria yang tempo hari dilihatnya bersama Marini bukanlah saudara. Mereka jelas pasangan kekasih.
Jantungnya berdetak kencang. Tangan Davira merogoh masuk ke dalam tas, meraih ponsel untuk mengabadikan moment itu. Tanpa pikir panjang, ia memotret kebersamaan Marini dan pria Polisi itu berbagai pose.
Setelah berhasil memotret keberadaan Marini dengan pria Polisi itu, Davira memberanikan diri melangkah masuk ke kafe. Ia pura-pura tidak tahu kalau Marini ada di kafe yang sama.
"Mbak Marini,” panggilnya dengan suara bergetar, setelah tubuh Davira lebih dekat.
Marini yang sedang tertawa langsung menoleh, wajahnya sempat terkejut sebelum kemudian tersenyum sinis. “Oh … kamu, Davira.”
Pria di hadapannya hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan makanannya.
Davira menggenggam tangannya erat, mencoba menahan emosi. "Mama kangen ingin bertemu Mbak. Apakah Mbak Marini tidak mau menemui mereka? Dan pria ini siapa?" Davira berkata penuh keberanian, meskipun ia was-was juga.
Marini terkekeh kecil, tatapannya penuh ejekan. "Oh, ini? Saudara aku. Memangnya kamu sedang apa di sini? Kamu sedang tidak bolos kuliah, kan Vira?" Mata Marini mengerjap seakan sedang menyembunyikan kegugupan.
"Aku, tidak sedang bolos. Aku mampir ke sini hanya untuk minum setelah pulang dari kampus," jawab Davira menatap Marini lalu pria polisi itu, bergantian.
Davira yakin, apa yang dikatakan Marini adalah bohong. "Mbak Marini kapan akan ke rumah lagi? Mama selalu menyebut nama Mbak?"
Marini berdiri, lalu menghampiri Davira, memegang lengannya kemudian dibawa menjauh dari meja yang dia tempati.
"Aku tidak ada waktu ke rumah mamanya Bang Kaffa. Kamu salamkan saja sama dia. Lagipula aku sebentar lagi mau sekolah Secapa, jadi tidak ada kesempatan lagi, aku keburu sibuk," ujarnya dengan nada tidak tenang.
Davira merasa heran, kenapa Marini sampai mengajaknya bicara jauh dari mejanya? "Kenapa hanya bicara begini saja Mbak Marini sampai mengajak aku jauh dari meja? Bukankah pria polisi itu saudara Mbak?"
Marini terlihat kesal, wajahnya tidak ramah. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara di sini saja."
"Pria itu bukan selingkuhan Mbak, kan?"
Mendengar ucapan Davira barusan, Marini terkesiap, wajahnya merah padam.
"Nggak usah bicara yang terlalu sok tahu deh. Sudah kubilang dia adalah saudara aku yang datang dari jauh. Wajar aku menyambutnya dengan baik. Kamu ini, hanya anak pungut mendapat belas kasihan dari mama dan papa Bang Kaffa saja sudah belagu. Dasar anak pungut," cemoohnya sambil berlalu.
Davira terhenyak, dia sangat sedih dengan cemoohan Marini yang ketus. Dia memang anak pungut, tapi ucapan Marini barusan seakan dirinya sangat hina menjadi anak pungut.
Davira tidak melawan, karena dia tidak mungkin di tempat umum berteriak kembali. Davira menatap kepergian Marini kembali ke mejanya dengan sangat kecewa. Davira pun segera pergi dari kafe itu.
"Hari ini, aku kembali melihat Marini bersama pria polisi itu. Mereka tertawa, saling menyuap. Tidak mungkin hubungan mereka hanya sebatas teman. Ingin sekali aku membuktikan semua ini, tapi apa dayaku? Semua orang lebih memilih percaya pada Marini daripada aku."
Davira kembali menuliskan curahan hatinya di buku diary. Hanya dengan begitu, hatinya akan sedikit tenang, meskipun hari-hari selalu diliputi kesedihan di dalam rumah itu.
dr awal sudah dianggap rendahan..
klo kafa g suka mending talak aja biarkan davira bahagia dgn caranya
krn tdk prnh mo jujur tu yg sdh bw davira dlm kebodohanx😏🙄
sm halx dgn diri qt,
suami mna yg tdk marah lo dpati qt ber2 sm laki" lain sx pun qt cm anggap tmn yg suami qt tdk knl???
psti mrh kan....
sm lo suami qt kdpatan ber2 sm perem lain qt j9 psti marah.
z ttap d pihak kafa, krn sbgai istri tdk mnjaga MARWAHNYA.
pinterx cm mghilang sj n jd prempuan bodoh.
z jd jemek jengkel dgn sifat davira ni, dsni jd tokoh utama tp tokoh utamax goblok bin o'on🙄🙄🙄
bner yg d blg kafa lo davira ni pengecut, kafa jg tdk slh dgn kata" yg d lontarkan buka sj hijab mu n menarikx hingga lepas
krn kafa jg py hAk krn suamix, lo kafa blg bk sj hijab mu mang benar ...
krn apa....krna davira goblok, sbgai istri tdk bs mnjaga MARWAHNYA
seenakx jln sm laki" lain bhkan smpe dbw krmh ortux,
untung ortux arda menolak
jd perempuan tu hrs tegas davira, jgn jd prempuan goblok trus.
lo ad apa" tu mulut mu bicara jgn diam jd pengecut.
lm" z jd pngin ulek mulut davira ni biar bs bicara jujur bkn jd pengecut trus mnerus