Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Kehidupan Baru
Sejak sebulan ditemukan, Kirana masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari tidurnya yang panjang. Sepanjang waktu itu, Empu Agung dan murid-muridnya yang setia terus merawat dan mengawasi Kirana secara berkala dengan penuh perhatian.
Suatu pagi, saat sinar matahari mulai menyusup ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan aroma terapi, Kirana tiba-tiba membuka matanya. Penglihatannya samar saat menatap ke langit-langit ruangan yang tampak asing.
Seorang Empu yang mendapat giliran bertugas merawat Kirana hari itu bersuka cita melihat pasiennya membuka mata setelah sekian lama.
"Cepat panggilkan Empu Agung. Wanita ini sudah siuman!" perintahnya kepada seorang pemuda yang segera berlari untuk menyampaikan pesan tersebut.
Dengan langkah cepat, pesan itu disampaikan kepada Empu Agung yang segera menyusul untuk melihat keadaan Kirana. Empu Agung berjalan dengan tenang, diikuti oleh murid-muridnya yang setia. Wajahnya yang penuh wibawa tak bisa menyembunyikan rasa lega melihat wanita yang dia selamatkan akhirnya telah membuka mata.
Kirana masih dalam keadaan sangat lemah. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya terasa kaku dan tubuhnya seakan mati rasa. Banyak hal berputar dalam kepalanya, keinginan untuk bebas dari situasi yang menyulitkan ini begitu kuat.
Saat Empu Agung masuk, Kirana hanya bisa menggerakkan ekor matanya, memperhatikan seorang pria muda dengan wajah rupawan dan berseri berdiri di sampingnya. Ada sebuah tanda khusus di dahi pria itu. Sayangnya, Kirana terlalu lemah untuk mengagumi wajah seseorang dalam keadaan setengah sekarat seperti saat ini.
Butuh beberapa hari bagi Kirana untuk benar-benar pulih sepenuhnya. Setiap hari, dia menjalani serangkaian pengobatan dari Empu Agung dan murid-muridnya yang lain.
Empu Agung dengan telaten terus memantau perkembangan kondisi Kirana. Hari demi hari, tanda-tanda pemulihan yang begitu pesat muncul, memberikan kelegaan bagi hati yang selama ini penuh kekhawatiran.
Hingga akhirnya, tiba saat yang ditunggu-tunggu. Kain putih yang selama ini menutupi wajah Kirana dilepas dengan bantuan salah satu murid Empu Agung yang perempuan.
Di hadapan cermin, Kirana memandang wajahnya yang kini bebas dari balutan perban. Semua orang tampak terkejut melihat wajah Kirana yang baru. Namun, di antara mereka semua, hanya Empu Agung yang tersenyum lega.
"Terima kasih, Empu, selama ini telah merawat saya. Padahal, saya hanya orang asing," ucap Kirana pada Empu Agung dengan suara yang lemah.
Empu Agung masih menyunggingkan senyumnya.
"Setiap hal yang terjadi di dunia ini adalah kehendak dari Sang Hyang. Berterima kasihlah pada-Nya karena Dia-lah yang telah memberikan petunjuk pada Empu untuk menyelamatkanmu," ucap Empu Agung penuh kerendahan hati.
Kirana terdiam dengan kepala yang terus tertunduk. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah dia harus senang karena diberikan kesempatan hidup, atau justru dia harus memaki takdir yang begitu kejam mempermainkannya? Saat terbangun dari tidurnya dan menemukan tempat yang asing ini, dia merasa sangat takut dan sempat membuat keributan yang nyaris membuat semua orang kewalahan.
Rasa bingung terus menghantui benaknya, memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana dan mengapa dia bisa berakhir di tempat yang tidak dikenal ini. Apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang Chandra lakukan selama dia mengambil alih tubuhnya?
Sampai saat ini, Kirana sama sekali tidak bisa merasakan tanda-tanda keberadaan Chandra di dalam dirinya, seolah Chandra tidak pernah ada, yang pada akhirnya membuat Kirana mulai menjatuhkan prasangka buruk pada alter egonya tersebut.
Kirana mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk, jika Chandra memang telah lama mengincar tubuh asli Kirana selama ini. Setelah mendapatkan kesempatan, dia melakukan sesuatu sehingga membuat jiwa Kirana terlempar ke luar dan berakhir di tubuh ini. Dengan begitu, Chandra bisa menguasai tubuh Kirana sepenuhnya.
Kirana benar-benar menyesal dan frustasi memikirkan jika Chandra memang sengaja mengkhianatinya, padahal selama ini dia sangat mempercayai gadis itu.
Tetapi, menyesal pun tidak ada gunanya lagi. Kepala Kirana sampai terasa cenat-cenut karena terlalu banyak pikiran di saat keadaannya sendiri belum pulih sepenuhnya.
"Kenapa, Kirana?" tanya Empu Agung khawatir saat melihat gadis itu menunjukkan ekspresi kesakitan sambil memegang pelipisnya.
"Tidak apa-apa, Empu," jawab Kirana berusaha terlihat baik-baik saja.
"Beristirahatlah kembali. Tubuhmu masih perlu penyesuaian. Nanti kita akan bicara lagi. Ada beberapa hal yang harus Empu selesaikan terlebih dahulu," pungkas Empu Agung sebelum pergi meninggalkan Kirana.
Sepeninggal Empu Agung, pikiran Kirana kembali hanyut, melayang jauh ke masa lalu yang penuh penyesalan. Bayangan-bayangan wajah orang-orang yang telah dia abaikan selama ini muncul satu per satu, mengiris perasaannya dengan rasa bersalah yang mendalam.
Air matanya jatuh, meluncur deras begitu saja, membasahi pipi yang kini lebih pucat dari biasanya. Perasaannya campur aduk tak karuan. Rasa bersalah, kesedihan, dan kerinduan berbaur menjadi satu, menyesakkan dada.
Kirana mulai berpikir, bahwa apa yang terjadi padanya saat ini adalah balasan atau karma. Selama ini, dia selalu mengabaikan orang-orang di sekitarnya, terutama Lauri dan juga Sandra. Inilah balasan yang setimpal untuknya, dipisahkan dari keluarga dan orang-orang yang selama ini selalu peduli padanya.
Manik cokelatnya yang mulai berkaca-kaca, tak mampu terbendung lagi. Akhirnya, Kirana memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Dia tidak ingin ada orang lain yang melihat kesedihannya saat ini.
Barulah ketika berada di kamarnya yang sepi, Kirana melampiaskan seluruh kesedihannya saat itu juga. Meskipun, suara tangisnya tidak terdengar sama sekali.
"Maafkan aku, Kak," bisik Kirana lirih, penuh penyesalan. Hatinya terasa seperti dihimpit beban yang begitu berat, menghancurkan setiap harapan yang tersisa.
Sambil memeluk lututnya, Kirana merasa tubuhnya bergetar, dipenuhi dengan emosi yang membanjiri dari segala sisi jiwa dan raga.
Di luar, matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di dalam ruangan. Kirana memandang ke luar jendela dengan mata yang sembab, mencoba mencari jawaban di langit yang mulai gelap. Namun, yang dia temukan hanya kekosongan yang semakin mempertegas perasaannya yang terasing.
Ketika malam tiba, Kirana berusaha menenangkan diri. Dia tahu, tidak ada pilihan lain baginya selain menguatkan diri sendiri. Sampai semuanya menjadi jelas, Kirana harus menghadapi semua yang terjadi dengan tegar. Meski rasa takut tak bisa disingkirkan dengan mudah dari hati dan pikirannya.
Di tengah tangisnya yang mulai mereda, Kirana menengadahkan tangan. Mengharapkan keajaiban pada Tuhan yang bisa mengembalikan semuanya seperti semula. Kirana selalu percaya, bahwa Tuhan itu ada dan akan mendengarkan doa-doanya yang panjang.
Setelah beberapa saat larut dalam kesedihan, rasa kantuk menguasai Kirana. Gadis itu tertidur dengan air mata yang membasahi wajahnya.
***
Empu Agung yang seolah bisa memahami hati dan perasaan orang lain, segera menceritakan segala yang ingin Kirana dengar terkait keberadaannya di dunia ini. Kirana mendengarkan dengan seksama setiap cerita yang disampaikan oleh Empu Agung, dan dia pun sampai pada satu kesimpulan, bahwa tubuh yang dia tempati saat ini bukanlah miliknya. Dia terjebak di dalam tubuh orang lain.
Diketahui bahwa wajah pemilik tubuh ini telah rusak parah sehingga membuat identitasnya sulit dikenali. Berkat kekuatan suci milik Empu Agung, wajah pemilik tubuh ini bisa disembuhkan, namun struktur wajahnya berubah mengikuti jiwa yang mendiami tubuh tersebut.
Lambat laun, ingatan-ingatan asing merambat masuk ke dalam diri Kirana, seperti bayangan-bayangan kabur yang mulai jelas seiring waktu. Kirana memahami bahwa ingatan tersebut bukanlah miliknya, melainkan ingatan dari pemilik tubuh yang asli. Setiap kali ingatan itu datang, Kirana merasakan berbagai emosi yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Hal itu cukup membuatnya merasa sedikit kesulitan.
Tidak mudah bagi Kirana untuk bertahan sampai sejauh ini. Dia merasa beruntung karena ada orang-orang baik yang peduli dan selalu memperhatikannya, seperti Empu Agung dan teman-teman yang tinggal di asrama Langgar Suci.
Kehangatan dan kebaikan mereka memberikan secercah harapan di tengah keterasingannya. Setiap senyuman dan bantuan kecil dari mereka membuat Kirana merasa dihargai dan diterima, meskipun dia adalah orang asing di tubuh yang bukan miliknya.
Kirana tidak ingin menyerah pada hidupnya dan berputus asa begitu saja. Setelah keadaannya benar-benar mulai membaik, dia memutuskan untuk tidak hanya menjadi beban bagi Empu Agung yang telah banyak memberikan kebaikan dan pertolongan padanya.
Sebagai manusia yang tahu diri, Kirana mencoba melakukan apa saja yang dia bisa, termasuk membantu membersihkan Langgar suci dan mempelajari beberapa hal--terkait dunia yang dia tinggali saat ini.
Orang-orang yang tinggal di Langgar Suci adalah orang-orang yang baik dan begitu ramah. Hal ini memudahkan Kirana untuk bisa beradaptasi dengan cepat.
Setiap hari, sejak matahari terbit, Kirana bangun lebih awal dari yang lainnya. Dengan tekun, dia membersihkan Langgar dan menyusun bunga-bunga yang akan digunakan dalam persembahan. Rona-warna segar dari bunga-bunga tersebut memberikan kehidupan baru pada ruangan-ruangan suci di dalam Langgar. Meskipun dia belum memiliki pengetahuan yang luas tentang ritual-ritual suci, dia belajar dengan cepat dan berusaha membantu sebaik mungkin.
Kirana juga belajar dari para Empu tentang cara meracik dupa yang harum. Dengan cermat, dia mencampurkan berbagai rempah-rempah dan minyak wangi yang diperoleh dari alam sekitar Langgar.
Bau harum dupa yang dihasilkan oleh tangannya sendiri menjadi simbol kesungguhan dan pengabdiannya untuk memberikan yang terbaik pada Langgar Suci. Terkadang pula, Kirana membantu mempersiapkan makanan untuk murid-murid yang belajar dan tinggal di sana.
Di tengah hiruk-pikuk persiapan yang semakin padat, Empu Agung selalu memperhatikan Kirana dengan penuh kebanggaan. Gadis itu tidak pernah menjadi beban; sebaliknya, dia adalah bagian yang sangat berharga dari keluarga besar Langgar Suci.
Karena terlalu fokus pada pekerjaannya, Kirana sama sekali tidak menyadari kedatangan Empu Agung. "Bagaimana keadaanmu, Kirana?" suara lembut Empu Agung berhasil membuat Kirana menghentikan aktivitasnya. Gadis itu sedikit tersentak, kemudian menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
"Kabar saya baik, Empu. Maaf, saya tidak menyadari kedatangan Empu," ucapnya dengan penuh kerendahan hati, suaranya sedikit bergetar karena ketegangan.
Empu Agung tersenyum dengan lembut, matanya menunjukkan kehangatan dan pengertian. "Jangan terlalu memaksakan diri, Kirana. Kondisimu masih belum pulih sepenuhnya."
Kirana menggelengkan kepala dengan lembut, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Tidak, Empu. Saya tidak merasa terbebani sama sekali. Justru saya sangat senang bisa menjadi bagian dari Langgar Suci. Saya ingin melakukan sesuatu sebisa saya."
Empu Agung mengangguk pelan, senyum tak pernah pudar dari wajahnya yang teduh.
"Saya suka dengan semangatmu. Tapi ingat, kondisimu tidak sama dengan yang lain. Kamu tidak perlu memberikan tugas yang berat pada dirimu sendiri. Kerjakan sebisamu saja, ya?"
"Baik, Empu."
"Baiklah. Sampai bertemu lagi di acara Perayaan Suci Lunar."
Dengan senyuman hangat, Empu Agung melanjutkan langkahnya, meninggalkan Kirana yang kembali sibuk dengan tugasnya.
Bersambung
Minggu, 07 September 2025