“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Kelas yang Sama
Ucapan Kemala jatuh seperti pisau. Senyuman Rima buyar, jemarinya meremas ujung meja, gemetar menahan bara amarah.
“Kau…” geramnya lirih.
Kemala menunduk sejenak, lalu tertawa kecil tanpa suara. Tawa yang lebih menyakitkan daripada ejekan lantang.
“Tadi malam aku sempat khawatir… takut Ardi sakit. Aku tidak bisa tidur. Tapi ternyata…” ia menatap Rima dengan tatapan yang nyaris penuh belas kasih, “…kau malah merasa menang dengan cara yang bahkan tidak layak disebut kemenangan.”
Wajah Rima mengeras. Napasnya memburu. Sorot matanya seperti pisau yang ingin menusuk balik, tapi kata-kata yang terucap hanya terputus di tenggorokan.
Kemala menghela napas pelan, lalu menambahkan dengan suara yang tetap datar, seolah fakta semata.
“Lagipula… aku tidak yakin semalam Ardi sadar siapa yang bersamanya. Biasanya, ia selalu menyebut namaku saat hasratnya memuncak.”
Tubuh Rima menegang. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada apa pun. Ada rasa panas menjalar di wajahnya, antara malu, marah, dan dendam.
“Aku akan menghapus namamu dari hatinya, Kemala,” desis Rima, suaranya rendah, hampir seperti bisikan iblis. “Percayalah… tidak ada istana yang bisa berdiri dengan dua ratu. Dan aku tidak akan pernah jadi bayangan di hadapanmu.”
Kemala menatapnya lama. Sorot matanya teduh, tapi di dalamnya ada kekuatan yang tak bisa digoyahkan.
“Kau boleh mencoba, Rima. Tapi cinta tidak bisa dicuri. Ia hanya bisa diberikan. Dan itu… bukan padamu.”
Keheningan kembali merayap, tapi kali ini bukan sekadar sunyi, melainkan medan perang tak kasat mata. Dua perempuan itu duduk, tak ada satu pun yang mundur, keduanya tahu ini baru permulaan dari perang panjang yang tak hanya melibatkan mereka, tapi juga hati, rumah, dan keluarga.
***
Rima duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lelah, tapi matanya berkilat bagai api yang tak kunjung padam. Jemarinya mengetuk pelan meja rias, seolah mengikuti irama detak dendam yang terus berdengung di kepalanya.
"Kemala... Kau selalu tampak tenang. Bahkan setelah aku rebut sebagian tempatmu, kau masih bisa berdiri dengan kepala tegak. Dasar wanita naif." Rima menatap bayangan dirinya di cermin, lalu tersenyum miring. Senyum itu tipis, namun penuh siasat.
Ia bangkit, tangannya terkepal.
"Kau pikir hanya karena dia mencintaimu sejak awal, aku akan menyerah? Tidak, Kemala. Cinta bisa retak, bisa pudar, asal ada yang tahu cara menusuk di celahnya. Dan aku tahu betul cara itu."
Rima berjalan ke arah jendela, menyingkap tirai, menatap ke luar. Langit terlihat muram tertutup awan, sinar mentari pun tersembunyi.
"Aku tidak perlu menang di hadapanmu. Aku hanya perlu menang di dalam pikirannya. Sekali saja ia mulai ragu, sekali saja aku membuatnya merasa bersalah karena membandingkanmu denganku... saat itu, kau sudah kalah tanpa sadar."
Ia tertawa pelan, suara tawanya lirih tapi mencekam, seperti retakan halus di kaca yang siap pecah kapan saja.
"Aku akan menjadi luka kecil yang terus menganga di hatinya. Kau boleh jadi istri pertamanya, tapi aku… akan menjadi istri terakhir yang dia sesali seumur hidupnya."
Rima kembali menatap bayangan dirinya di cermin. Tatapannya mantap, senyumnya makin tajam.
"Dan tadi malam hanyalah awal. Perlahan, aku akan mencuri yang kau kira tak tergantikan."
Sementara itu
Mobil melaju tenang di jalan pagi, tapi hati Ardi masih bergejolak. Sisa ketegangan semalam dan pagi tadi di meja makan masih membekas. Jemarinya menggenggam setir lebih erat dari biasanya. Di sampingnya, Kevia duduk diam, wajahnya menempel pada jendela, seolah sedang sibuk mengamati jalan. Padahal, sesungguhnya hatinya sibuk bertanya,
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Kenapa suasana tadi begitu tegang?"
Di kursi belakang, Riri sama sekali tak peduli. Earphone menempel di telinganya, jemarinya sibuk menari di layar ponsel. Dunia di dalam mobil itu terasa seperti tiga pulau terpisah, disatukan hanya oleh desah mesin yang berdengung pelan.
Setibanya di sekolah, Ardi menarik napas panjang. Ia tahu, sebelum hari benar-benar dimulai, ada yang harus ia katakan. Tepat ketika Riri hendak meraih tuas pintu mobil, suara Ardi terdengar, lembut tapi penuh penegasan.
“Riri.”
Gadis itu mendongak malas.
“Kevia sekarang satu sekolah denganmu. Dia adikmu, kau harus menjaganya. Tolong kenalkan dia pada teman-temanmu, biar dia tidak sendirian.”
Sesaat hening. Kevia menahan napas, berharap akan ada jawaban yang membuat hatinya lebih ringan.
Namun bibir Riri justru melengkung sinis. Tatapannya jatuh pada Kevia, tajam bagai pisau.
“Aku nggak punya adik. Apalagi orang miskin. Gak level.”
Kata-kata itu meluncur dingin, menghantam Kevia tepat di dada. Ia menunduk lebih dalam, menggenggam tali tasnya erat-erat.
Ardi tercekat, hatinya mencelos. Sejak ia tinggal di rumah itu, hanya saat makan ia bertemu Riri. Anak itu jarang bicara, lebih sering acuh tak acuh. Tapi sekali ia bicara… mulutnya tajam, lebih dari siapapun.
“Riri—” suara Ardi bergetar, mencoba menahan gejolak amarah sekaligus kekecewaan.
Namun belum sempat ia menuntaskan kalimatnya, gadis itu sudah memotong, dingin dan kejam.
“Jangan cerewet. Aku setuju ibu menikah denganmu karena aku kira kau orang kaya. Ternyata… kau cuma orang miskin yang numpang hidup enak dari harta ayahku. Sama saja dengan suami-suami ibu yang dulu. Kalau aku tahu, aku nggak bakal setuju pernikahan itu.”
Kata-kata itu menancap, menusuk tanpa ampun. Riri lantas membuka pintu mobil, melangkah pergi tanpa menoleh, tanpa pamit.
Di luar mobil punggung mungilnya lenyap ditelan kerumunan anak sekolah. Seolah Ardi dan Kevia hanyalah bayangan tak berarti.
Ardi menggenggam setir erat-erat. Rahangnya mengeras, dadanya sesak.
Sementara Kevia duduk kaku, matanya panas tapi tak menangis. Gadis tiga belas tahun itu hanya menunduk lebih dalam, membiarkan rasa sakitnya tenggelam dalam diam.
Ardi tahu, mulut anak berusia empat belas tahun itu lebih tajam dari pisau. Dan luka yang ditinggalkannya jauh lebih dalam.
Ardi mengantarkan Kevia sampai ke ruang guru sebelum akhirnya pamit untuk bekerja. Dari sana, seorang guru perempuan menyambut Kevia dengan senyum tipis, lalu menuntunnya masuk ke kelas barunya.
Kebetulan kelas itu adalah kelas Riri.
“Eh, ada murid baru.”
Suara lirih dari salah satu murid langsung membuat semua mata menoleh. Kevia berjalan pelan di belakang wali kelas, sorot mata puluhan anak menelusuri dirinya.
Riri, dengan wajah malas, langsung mendengus saat mengenali siapa yang datang. “Ck, kenapa dia harus di kelasku, sih…” decaknya pelan, nyaris tak terdengar. Usianya memang empat belas, tapi masih duduk di kelas tujuh. Rekor buruk karena pernah tak naik kelas. Meski kini ikut les privat, nilainya tak pernah lebih dari standar.
Guru berdiri di depan kelas. “Anak-anak, ini teman baru kalian.” Ia lalu menoleh pada Kevia. “Silakan perkenalkan diri.”
Kevia menunduk sopan pada gurunya, lalu mengangkat wajah menatap para murid yang akan menjadi teman-temannya. Ia sedikit terkejut saat melihat Riri duduk di antara mereka, tapi hanya sesaat.
“Selamat pagi, teman-teman. Aku murid pindahan dari SMP Kusuma Bangsa. Mulai hari ini aku belajar di kelas ini. Semoga kita bisa berteman baik dan belajar bersama-sama.” Senyumnya ramah, diakhiri dengan sedikit tunduk.
Beberapa murid menyambut hangat. Suara bisik-bisik dari bangku belakang terdengar samar.
“Cantik, ya.”
“Iya, cantik alami, nggak kayak yang lain.”
Kevia pura-pura tidak mendengar, tapi wajahnya sedikit merona.
Sementara itu, Riri hanya memutar bola matanya, kesal, terutama saat melihat beberapa murid laki-laki tampak lebih tertarik pada Kevia daripada dirinya.
“Kevia, di belakang Riri ada bangku kosong. Kamu duduk di sana, ya,” ujar guru sambil menunjuk.
Kevia mengangguk. “Di belakang Riri?” batinnya. Namun ia tetap melangkah menuju bangku itu. Sesaat, mata mereka beradu. Riri dengan sorot ogah-ogahan penuh penolakan, Kevia dengan tatapan datar, biasa saja.
Mereka sama-sama tahu, selama tinggal serumah, mereka tak pernah benar-benar saling bicara. Hanya bertemu di meja makan, tanpa kata, tanpa sapaan.
Kini, jarak mereka dipersempit.
Dipaksa berdekatan, di kelas yang sama.
Dan hening itu terasa lebih nyaring daripada riuh rendah kelas yang kembali gaduh.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Baru saja Kevia hendak masuk dari sisi lain, suara Riri melayang tajam.
“Kunci pintunya, Pak. Jalan!”
Sopir menoleh kaget.
“Tapi, Non Kevia masih di luar—”
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....