Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yansya Vs Tim Lisa
Akan tetapi, Yansya tidak tahu bahwa di balik seringai misterius Lisa, ada sebuah ancaman yang jauh lebih besar. Lisa baru saja menerima laporan rahasia yang mengindikasikan adanya seorang mata-mata di dalam organisasi mereka yang berusaha membocorkan data penting.
Lisa merasa yakin mata-mata itu berada di antara sepuluh ketua tim agen khusus, termasuk dirinya dan Fabian. Untuk mengungkap rahasia itu, Lisa tahu ia harus bekerja sama dengan Yansya. Ini berarti melibatkan mereka berdua dalam risiko yang lebih tinggi. Instingnya mengatakan bahwa hanya Yansya yang memiliki kemampuan untuk melihat pola-pola rumit dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Esok harinya, Lisa memanggil Yansya ke ruang kerjanya yang serba minim ornamen dan kedap suara. Di sana, ia menjelaskan secara rinci tentang laporan rahasia itu. Lisa menyerahkan sebuah tablet dengan layar yang menunjukkan berbagai grafik dan deretan angka rumit. Data itu menampilkan pola aneh dari kebocoran informasi yang terjadi secara berkala.
Lisa berkata dengan nada serius bahwa ia membutuhkan keahlian analisis Yansya untuk menemukan siapa pelaku di balik semua ini. Hanya Yansya yang dapat melihat apa yang tidak terlihat oleh mata biasa. Ia ingin menyelesaikan masalah ini sebelum ada korban lain yang berjatuhan.
Yansya menerima tablet itu. Tatapan matanya langsung fokus pada deretan data yang terpampang di sana. Ia memprosesnya dengan kecepatan luar biasa. Sesekali ia mengangguk pelan seolah sedang menyusun teka-teki rumit di benaknya.
Lalu Yansya mengangkat kepala dan menatap Lisa dengan seringai tipis yang penuh percaya diri. "Jadi, ini tantangan baru ya, Nona Lisa?" ujarnya santai, suaranya sedikit mengolok. "Kebetulan aku sedang bosan dengan rutinitas biasa, apalagi kalau bukan kamu yang meminta, rasanya kurang greget."
Yansya mengembalikan tablet itu. Tangannya sedikit menyentuh tangan Lisa. Ia melanjutkan, "Aku siap membantumu mengungkap siapa 'pengkhianat' itu, tetapi ada harga yang harus kamu bayar, apalagi aku tidak suka bekerja tanpa ada hadiahnya." Lisa menatapnya tajam. Ia tahu Yansya tidak pernah main-main dengan ucapannya, bahkan dalam situasi genting sekalipun, karena Yansya selalu mencari celah untuk bernegosiasi dan mendapatkan keuntungan.
"Berapa banyak yang kamu inginkan?" tanya Lisa. Suaranya terdengar datar, tetapi matanya menyorot curiga. Ia sudah bisa menebak bahwa Yansya pasti akan meminta imbalan yang tidak masuk akal.
Yansya tertawa kecil. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menyilangkan tangannya di dada. Tatapannya seolah sedang memperkirakan harga yang paling pantas untuk keahliannya. "Untuk misi sebesar ini, dengan risiko yang sangat tinggi, aku rasa sepuluh miliar tidak terlalu banyak, kan?" jawab Yansya santai, seolah ia baru saja menyebut harga permen. "Apalagi ini demi kelangsungan organisasi, dan aku yakin kamu tidak akan keberatan, karena ini untuk masa depanku juga, kan?" Senyum Lisa memudar, rahangnya mengeras. Ia tahu persis bahwa negosiasi dengan Yansya tidak akan pernah mudah.
"Lagipula, uang itu bukan hanya untukku, tahu?" Yansya melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih lembut. Ada nada bujukan yang tersirat. "Sebagian besar tentu saja akan kuinvestasikan untuk masa depanku, tetapi sebagian kecil bisa ku gunakan untuk membelikanmu hadiah yang cantik, bagaimana?"
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Tatapan matanya berkedip nakal, mencoba meluluhkan kekakuan di wajah Lisa. "Bayangkan saja, kamu bisa punya tas baru yang bagus, atau perhiasan yang mewah, semua dari hasil kerja keras kita berdua, bukankah itu menarik?" Lisa masih diam, tetapi pipinya mulai merona tipis. Yansya tahu persis bahwa ia telah menemukan celah untuk membujuknya.
Dalam hati, Yansya tidak bisa menahan kegembiraan yang meluap. Ia sangat berharap agar negosiasi ini berhasil. Ia sudah membayangkan dirinya cepat kaya, bebas dari segala kesulitan finansial yang selama ini membelenggu hidupnya. Lalu ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan tanpa perlu pusing memikirkan harga.
Yansya juga membayangkan bisa memamerkan kekayaannya kepada mantan istrinya, Sarah. Ia ingin menunjukkan bahwa ia sekarang jauh lebih sukses dan bahagia. Ia ingin semua jerih payahnya terbayar lunas. Ia tahu persis bahwa uang itu akan menjadi tiketnya menuju kehidupan yang lebih baik, tanpa beban dan penuh kemewahan.
Lisa mendengus pelan. Ada seringai tipis terukir di bibirnya, namun kali ini bukan senyum misterius, melainkan seringai mengejek yang membuat Yansya sedikit salah tingkah. "Oh, jadi kamu ini mata duitan ya?" balas Lisa, nadanya sedikit sarkastis. "Aku kira kamu tertarik dengan misi ini karena ingin menunjukkan kemampuanmu, bukan karena hadiah uang yang bisa kamu gunakan untuk foya-foya, apalagi membelikanku hadiah, tidak usah repot-repot, aku bisa beli sendiri dengan uangku."
Ia melipat tangan di dada, menatap Yansya dengan tatapan geli, seolah sedang melihat anak kecil yang merengek meminta permen. Yansya tahu persis bahwa ia tidak akan bisa mengelak dari ejekan Lisa.
"Kok begitu sih?" protes Yansya. Raut wajahnya berubah cemberut, seolah kekayaannya yang sebentar lagi datang sedang diremehkan. "Aku kan cuma ingin berbagi kebahagiaan, karena kebetulan itu juga hasil jerih payah kita berdua, lagipula ini bukan foya-foya, ini namanya apresiasi, tahu tidak?"
Ia sedikit kesal, tetapi tidak bisa menyembunyikan rona geli di bibirnya, karena Lisa berhasil membuatnya salah tingkah dengan ejekan itu. Yansya juga tahu bahwa Lisa sebenarnya menikmati godaannya. Ia tahu Lisa hanya ingin menguji seberapa jauh Yansya akan berusaha membujuknya.
"Baiklah, kalau kamu memang tidak mau hadiah dariku," Yansya berkata, ekspresinya berubah serius. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap mata Lisa dalam-dalam. "Bagaimana kalau sebagai gantinya, setelah misi ini selesai, aku akan mengajakmu makan malam di restoran paling mewah, dan kamu bisa memesan apa saja yang kamu inginkan?"
Yansya tahu persis bahwa ini adalah penawaran yang sulit ditolak Lisa, karena ia juga ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Ia melanjutkan, "Aku akan memastikan malam itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan untuk kita berdua." Lisa terdiam sejenak, bibirnya sedikit melengkung ke atas. Ia akhirnya mengangguk pelan, seolah tidak punya pilihan lain. "Baiklah, aku setuju, tetapi jangan coba-coba mengecewakanku, ya." Ia tahu ia tidak bisa menolak godaan Yansya yang satu ini.
Di luar ruang kerja Lisa yang kedap suara, Rio dan Delisa saling berpandangan. Mereka menahan tawa mati-matian, karena suara Yansya yang cempreng saat memohon tadi berhasil menembus celah pintu yang sedikit terbuka.
Rio mencolek Layla yang sedang fokus pada ponselnya. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Layla, "Dengar tidak, duda kita itu benar-benar mata duitan, ya?" Layla mengangguk sambil menutupi mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa.
Firmino hanya menggelengkan kepala samar-samar. Beban hanya bisa menghela napas. Ia tahu persis bahwa Yansya tidak akan pernah berubah, selalu saja mencari cara untuk mendapatkan keuntungan dari setiap situasi.
Meskipun begitu, mereka tidak mendengar percakapan inti antara Lisa dan Yansya mengenai laporan rahasia mata-mata, atau perjanjian serius terkait misi penting tersebut. Suara Yansya yang meninggi saat meminta hadiah dan Lisa yang mengejeknya memang terdengar jelas.
Namun, detail-detail tentang ancaman di dalam organisasi itu tetap tersimpan rapat di balik dinding kedap suara. Lisa memang sengaja merancang ruangannya untuk menjaga kerahasiaan tingkat tinggi, dan ia tahu persis bahwa tidak ada yang boleh mendengar percakapan vital semacam itu.
Beberapa saat kemudian, Yansya keluar dari ruangan Lisa dengan cengiran lebar yang masih merekah di wajahnya. Ia merasa sangat puas karena berhasil mencapai kesepakatan itu.
Tetapi cengirannya langsung pudar saat Rio berteriak, "Wah, wah, wah, duda kita ini sudah kaya raya, ya!" yang disambut tawa geli oleh Delisa dan Layla. Beban menyahut dengan nada mengeluh, "Pasti dia minta uang jajan banyak dari Nona Lisa, dasar mata duitan!"
Yansya hanya bisa mendengus kesal. Ia tahu persis bahwa dirinya tidak akan bisa menghentikan ejekan teman-temannya yang sudah terlanjur menganggapnya hanya peduli pada uang, apalagi mereka memang mendengar ia meminta imbalan tadi.
Yansya berbalik menghadap teman-temannya, tangannya bersedekap di dada. Ia membalas ejekan mereka dengan seringai tipis yang penuh tantangan. Ia tahu ini adalah kesempatan sempurna untuk membuat mereka bungkam sekaligus menunjukkan kehebatannya.
Lalu ia berkata, "Enak saja bilang aku mata duitan, kalau kalian memang hebat, coba saja kalahkan aku di sesi latihan nanti, dan kalau kalian berhasil, aku janji akan membagikan sebagian dari uang sepuluh miliar itu, bagaimana?" Matanya berbinar nakal. Ia tahu persis bahwa tawaran itu akan langsung memicu semangat kompetitif mereka, karena ia juga ingin melihat seberapa jauh kemampuan teman-temannya, apalagi ia yakin tidak akan ada yang bisa mengalahkannya.
Tantangan Yansya langsung disambut gemuruh semangat. Rio yang paling bersemangat langsung menariknya menuju lapangan latihan, karena ia tidak sabar ingin melihat sejauh mana Yansya bisa bertahan dari serangan tim mereka.
Delisa dan Layla saling pandang dengan tatapan penuh rencana. Mereka berdua tahu persis bahwa mereka harus bekerja sama untuk bisa mengalahkan Yansya. Beban sudah bersiap dengan kuda-kuda bertarungnya. Ia ingin membuktikan bahwa kekuatan fisiknya tidak bisa diremehkan.
Sementara Firmino hanya tersenyum tipis. Ia yakin Yansya akan kewalahan menghadapi semua ini, karena tidak ada yang bisa mengalahkan Tim Lisa secara bersamaan.
Di tengah lapangan latihan yang luas, duel antara Yansya melawan seluruh tim Lisa pun dimulai. Rio menyerang lebih dulu dengan kecepatan kilat, disusul oleh tendangan memutar dari Layla. Delisa mencoba mencari celah untuk menyelinap dari belakang. Beban dengan tubuh besarnya berusaha membatasi gerak Yansya.
Firmino hanya berdiri di pinggir lapangan dengan tatapan tenang. Ia memantau setiap gerakan Yansya, karena ia tahu persis bahwa Yansya tidak akan bisa bertahan lama jika terus-menerus diserang dari berbagai arah.
Tetapi Yansya dengan lincahnya menghindari setiap serangan. Ia menggunakan analisis super cepatnya untuk membaca pola gerakan lawan dan menemukan celah untuk membalas. Ia tampak menikmati pertarungan itu. Sementara Lisa yang melihat semua tingkah Yansya dari kejauhan hanya bisa menghela napas panjang. Tatapannya datar, karena ia merasa sedikit kecewa melihat Yansya yang masih saja mengedepankan egonya dibandingkan fokus pada misi penting yang baru saja mereka bahas.