NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:392
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 — Dia… Bukan Umbral

RAYAN menggerakkan stik RC. Drone perlahan berbalik. Cahaya LED-nya menyapu dinding yang retak sebelum melayang ke udara terbuka. Suara dengungnya kembali mengeras ketika baling-baling menembus udara dingin malam. Tanpa jeda dia menekan stik kendali—membawa drone meluncur halus mendekati pintu besi ruang pompa air yang setengah terbuka.

Rayan menahan posisi drone sekitar dua meter di depan pintu besi—seakan menantang sesuatu yang menyebabkan bunyi “KREEEEKK” beberapa puluh detik lalu.

Sasha terus memelototi tablet di tangannya. Pintu besi terlihat cukup jelas disapu oleh cahaya LED. Ruang pompa air diam membeku. Tak ada bunyi deritan. Tak ada suara apa pun. Dan grafik medan elektromagnetik juga statis. Di layar tablet, pintu besi itu tampak seperti gerbang misteri yang angker.

Elisa menyibakkan rambutnya yang jatuh menutupi mata. Sekarang dia agak menyesal karena mengenakan rok denim. Meskipun tak terganggu oleh gigitan nyamuk, namun udara dingin di sekitar kolam terasa tak wajar.

Dia mendengar bunyi aneh dari sudut gelap di samping tribun. Dia menengok ke situ—dan dia terbelalak ngeri ketika matanya menangkap sebuah bayangan hitam. IR termometer hampir terlepas dari tangannya.

Dia buru-buru memejamkan matanya sambil berusaha keras untuk tidak menangis. Dia berulang-ulang menegaskan dalam hati bahwa rasa takut membuat imajinasi liar di benaknya terasa begitu nyata.

Padahal nggak ada. Nggak mungkin ada. Mama bilang, hantu nggak ada di dunia ini. Semua horor itu cuma ada di film atau sinetron.

Perlahan dia membuka matanya—dan dia terhenyak ketakutan. Kedua lututnya bergetar lemas. Bulu kuduknya meremang.

Ya Tuhan, bayangan hitam itu bahkan bergerak... mendekat.

Elisa mencengkeram lengan Naya dengan kuat. Telapak tangannya berkeringat dingin.

“Nay, ap... apa itu?” bisiknya tercekat.

Semua kepala menoleh ketika mendengar suaranya yang gemetar ketakutam. Mereka sempat tertegun sebelum berhasil melihat sosok lelaki baya itu dengan lebih jelas.

Lelaki itu berdiri tak jauh dari bibir kolam utama. Tubuhnya kurus—dan pakaiannya tampak kusam seperti tak pernah diganti selama berhari-hari. Bayangan hitam dari gedung lantai dua menutupi tubuhnya. Tapi cahaya lampu portabel menyorot setengah wajahnya. Kulitnya kecokelatan, kerutan tampak jelas di sekitar mata, dan tatapannya… kosong.

“Tempat ini tidak aman bagi siapa pun,” katanya seolah tak ditujukan pada siapa-siapa. Suaranya berat, dingin, dan terdengar seolah datang dari ruang yang lebih besar dari tempat mereka berdiri.

Naya menghembuskan napas lega—seakan suara lelaki itu menegaskan bahwa dia bukan makhluk dari dunia lain.

Elisa mencengkeram lengan Naya makin erat. Meskipun dadanya berdegup kencang, tapi matanya tak lepas dari sosok renta itu.

Naya sedikit meringis karena cengkeraman Elisa. Namun dia berusaha tak menepis tangan temannya.

“Apa Bapak penjaga tempat ini?” tanyanya hati-hati.

Tidak ada respons. Lelaki itu seolah tak mendengar. Matanya yang kosong tetap memandang jauh entah ke mana. Dia seperti menghindari kontak mata dengan mereka. Tatapannya tidak mengarah pada siapa pun.

Davin menatap Tari. Dia nyaris menelan ludah ketika menangkap tatapan sahabatnya. Tanpa perlu diucapkan, dia seakan dapat membaca apa yang ingin disampaikan Tari padanya.

Rayan juga merasakan keganjilan karena kemunculan lelaki itu. Tanpa suara dia memiringkan kamera drone untuk menangkap wajah lelaki itu. Tapi di layar kontrol… tidak ada siapa-siapa. Hanya kolam renang kosong, dengan bunyi riak air kecil yang entah datang dari mana.

Suara dengung drone sama sekali tak mengusik lelaki aneh itu. Dia tidak berkedip. Tidak bergerak. Bibirnya saja yang bergerak perlahan.

Sasha menatap layar tablet—dan dia pun tak melihat apa-apa di bibir kolam utama. Dia mengangkat wajahnya, lalu memandang lelaki itu. Mungkin kamera drone membidik sudut lain. Namun cahaya LED jelas menyorot tubuh lelaki itu dari samping.

Dia saling bertukar pandang dengan Rayan. Rasa dingin begitu saja menjalar di tubuhnya. Tangannya gemetar ketika memperlihatkannya pada Davin.

Davin tak bisa menutupi ketegangannya. Terlihat jelas lonjakan medan elektromagnetik di layar tablet.

EMF detector di tangan Tari juga melonjak. Lampu indikatornya berkedip. Ada medan elektromagnetik yang signifikan di sekitar mereka.

Davin melirik Tari sekilas, lalu matanya kembali ke lelaki baya itu. Entah mengapa, kegugupannya seakan diredam oleh dorongan naluri yang aneh. Kalau sosok asing itu bukan entitas dari dimensi manusia, maka inilah untuk pertama kalinya dia pernah melihatnya dengan mata telanjang!

Dia menatap layar tablet di tangannya. Garis gelombang di SRD nyaris tak bergerak. Masih ada getaran yang terbaca. Tapi sangat lemah.

Dia… bukan Umbral.

Dia tidak tahu kenapa dirinya menarik kesimpulan itu. Namun dia sepenuhnya hanya berpatokan pada indikator di SRD. Dia tak punya pijakan apa-apa untuk mengidentifikasi Umbral.

Lelaki itu masih menghadap ke gedung tua.

“Pergi dari sini sebelum terperangkap.”

Lalu dia beranjak pergi. Tanpa menoleh lagi. Tapi, anehnya, dia melangkah ke sudut gelap yang buntu. Ketika Rayan mengarahkan lampu LED drone ke arah sana, sosok renta itu sudah lenyap entah ke mana.

Elisa langsung pucat pasi. Naya pun rasanya hampir semaput.

“Ya Allah,” desis Elisa lemas dan panik, “kita... kita barusan bukan ngomong sama orang?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!