Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12. Pesta Kelulusan
Pagi itu, suasana rumah keluarga Purnomo berbeda. Udara hangat bercampur dengan rasa haru yang sulit dijelaskan. Hari ini, Arunika akan menghadiri pesta kelulusan—perayaan yang menandai berakhirnya masa putih abu-abu sekaligus awal perjalanan baru.
Sejak subuh, Eka sudah sibuk membantu putrinya bersiap. Rambut panjang Arunika yang biasanya terurai sederhana kini dikuncir kuda dengan aksen sasak kecil sehingga tampak lebih bervolume. Riasan tipis menambah manis wajahnya, membuat pipinya bersemu lembut.
Arunika berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih dengan rok abu-abu, model yang sengaja disesuaikan agar tetap membawa nuansa seragam SMA. Bukan pakaian glamor, tetapi justru sederhana dan anggun.
Eka berdiri di belakangnya, menatap pantulan wajah putrinya dengan mata berkaca-kaca. “Putriku sudah besar,” batinnya. “Bunda harap kau mencapai semua impianmu, dan kelak mendapat pasangan yang benar-benar mengerti dirimu.”
Arunika menunduk, malu-malu. Ia merasa canggung dengan penampilan barunya. Seolah seluruh cahaya ruangan tertuju padanya seorang.
Purnomo yang sejak tadi memperhatikan gelagat putrinya langsung mendekat. “Kenapa, Nak? Nggak suka?” tanyanya lembut.
Arunika hendak jujur bahwa ia merasa terlalu mencolok, tapi begitu melihat wajah ayahnya—yang sejak pagi penuh semangat, bahkan rela menemaninya ke salon—lidahnya kelu. Purnomo sudah berusaha keras agar hari ini menjadi momen indah untuk putrinya.
“Tidak apa-apa, Yah. Cuma… belum terbiasa saja,” jawabnya akhirnya dengan senyum kecil.
Purnomo menghela napas lega, lalu menepuk pundak Arunika. “Kalau begitu bagus. Justru ini tandanya kamu sudah siap melangkah. Hari ini bukan sekadar pesta, tapi tanda kamu sudah bisa berdiri tegak menghadapi dunia luar.”
Mereka bertiga berangkat bersama. Mobil BMW seri-E yang jarang disentuh itu kini meluncur pelan di jalan. Biasanya Purnomo lebih nyaman dengan motor tuanya, tapi untuk hari sepenting ini, ia ingin Arunika datang dengan penuh percaya diri.
Tak sampai lima belas menit, mereka tiba di gedung serbaguna milik sekolah. Di sana sudah ramai para siswa dan orang tua, mengenakan pakaian terbaik mereka. Gedung dihias cantik dengan pita, bunga, dan spanduk besar bertuliskan:
“Selamat dan Sukses Angkatan XX – Menatap Masa Depan Gemilang.”
Arunika melangkah masuk dengan hati berdebar. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap melihat sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Namun sampai ia duduk di barisan paling depan bersama kedua orang tuanya, ia belum juga menemukan Raka.
Padahal, di sisi lain gedung, Raka sudah hadir lebih dulu. Ia duduk tenang di deretan kursi tengah, diapit ayah dan ibunya. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya sesekali mencari-cari, sama seperti yang dilakukan Arunika.
Namun jarak kursi dan keramaian membuat keduanya belum saling bertemu pandang.
Arunika meremas ujung kebayanya, berusaha menenangkan diri. Di panggung, musik lembut mulai mengalun. Para guru duduk di barisan terhormat. Beberapa siswa sibuk bercakap, sebagian orang tua sibuk mengabadikan momen dengan kamera.
“Cantik sekali kamu, Nak,” bisik Eka lirih, tak bisa menyembunyikan rasa bangga.
Arunika menunduk, tersipu. Ia masih merasa canggung, tapi diam-diam ia tahu, hari ini adalah salah satu hari paling berarti dalam hidupnya. Hari di mana semua perjuangan tiga tahun terbayar lunas, dan hari di mana ia berharap bisa melihat Raka… meski hanya sekilas.
Tak lama, pembawa acara memulai acara. Panggung siswa yang diisi oleh semua siswa dan siswi Sekolah SMAN-16.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi, Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Yang terhormat, bapak kepala sekolah ...."
"Para hadirin di mohon berdiri, kita akan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya!" semua yang hadir pun berdiri.
Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembukaan dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran. Arunika menatap panggung,.sosok itu duduk dengan peci dan kepala tertunduk khusyuk pada mushaf.
'Kok,.kayak kenal?' gumamnya dalam hati.
Lalu terdengarlah suara merdu dan bibir siswa itu. Semua diam dan bergetar saat ayat-ayat suci itu dilantunkan.
Semua mendadak hening, semua mata tertuju pada tengah-tengah panggung. Surah Al-Alaq ayat satu sampai lima terdengar begitu syahdu dan menyayat.
Arunika menatap sosok yang begitu khusyuk bacaannya. Dari postur dan suaranya. Ia merasa pernah bertemu dengannya.
"Sepertinya pernah lihat?" tanyanya berbisik.
'Siapa Nak?" tanya Purnomo yang mendengar.
"Ah, tidak Ayah. Aku seperti kenal dengan siswa itu," jawab Arunika pelan.
Pembacaan ayat suci Al-Quran dan artinya selesai. Suara riuh tepuk tangan menggema di ruangan besar itu.
"Terimakasih, Kak Bagas! Suaranya indah sekali, masyaallah!" ujar pembawa acara.
Acara pun berlanjut, sambutan-sambutan pun dilontarkan. Dari pemilik sekolah Pak Edi, sampai jajaran diknas yang meminta maaf atas eksiden soal ujian Agama.
"Ini dia acara yang ditunggu-tunggu! Pengumuman Nilai Ebta Murni SMAN-16!' acara utama pun dimulai.
"Sebagai peringkat ke tiga nilai tertinggi! Novia Ardhana dengan nilai 38,17!"
Novia maju, wajahnya full make up. Semua bertepuk tangan meriah.
"Peringkat ke dua jatuh pada Raka Mahendra! Dengan nilai 39,22!'
Tiba-tiba jantung Arunika berdebar kencang, matanya tak lepas dari anak arah di mana sosok yang dari tadi ia cari.
Raka hadir dengan kemeja warna abu-abu dan celana panjang hitam, sepatunya mengkilat. Langkahnya begitu tegap dan pasti. Ia berdiri di sisi Novia dan matanya langsung bertemu dengan mata Arunika. Dua sudut bibirnya terangkat.
"Ini dia penerima nilai tertinggi dari nilai Ebta Murni juga nilai rata-rata raport! Arunika dengan nem 40,75 dan rata-rata kelas 8,9!" semua tampak heboh.
Beberapa murid langsung menoleh siapa yang jadi nomor satu. Arunika gugup, kakinya tak bisa ia gerakkan sama sekali. Sampai Purnomo menggenggam tangannya erat.
"Bismillah Nak!' suruhnya.
Arunika pun mengucapkan basmalah dalam hati. Lalu ia pun berdiri dan berjalan sedikit lamban. Purnomo dan Eka sangat paham, putrinya yang introvert pasti sangat sulit berjalan ke tengah-tengah panggung dan jadi sorot perhatian.
"Yang tenang Arunika! Kamu pasti bisa!" sebuah suara menggetarkan Arunika. Ia menoleh, remaja itu tersenyum dan mengangguk yakin.
Entah kenapa, langkah Arunika menjadi ringan. Ia dengan cepat menguasai ketakutannya. Lalu ketika ia sampai di panggung, menatap senyuman lembut Raka, hatinya pun jadi hangat dan nyaman.
Sebuah tropi diberikan, acara berlangsung dengan hiburan yang diisi oleh para siswa-siswi berprestasi. Ada pantun, sandiwara kecil dan juga komedi yang membuat semua penonton tertawa.
Acara pun selesai, semua pulang dengan wajah gembira karena semua siswa dan siswi kelas tiga lulus seratus persen dengan nilai cukup baik.
Raka mempercepat langkahnya, ia mencari keberadaan Arunika. Lalu matanya tertuju pada sosok yang ia cari tengah berdiri dan bersalaman dengan para guru. Ia pun mendekat ketika melihat Arunika berdiri sendiri.
"Run!" Arunika menoleh, wajahnya langsung gugup.
"Aku tunggu kamu di gerbang kampus UI!" ujarnya lalu ia menoleh arah lain, di sana ayahnya memanggil.
Arunika menatap punggung Raka sampai masuk mobil sedan mewah warna hitam dan menghilang dari pandangannya.
"Nak!" Arunika terkejut, Purnomo menatap nyalang arah di mana tadi Raka berlalu.
"Ayah," panggil Arunika lembut dan membuat kemarahan Purnomo reda.
"Ayo pulang!' ajaknya penuh kasih sayang, Eka pun datang dan berjalan menuju mobil mereka.
bersambung.
Yah .. Ayah kan selalu menjaga putrinya agar tak salah pergaulan.
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu