Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Malam sudah semakin larut. Dari kamarnya, Marvel sedang mengganti kemejanya dengan kaos rumahan. Ia hendak beristirahat ketika telinganya menangkap suara tawa dari kamar sebelah.
Ia menoleh dengan alis berkerut, itu suara Maura. Seketika rahang Marvel menegang.
Siapa yang membuatnya tertawa begitu?
Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan melangkah keluar kamarnya. Koridor sunyi, hanya ada cahaya lampu dinding yang remang. Pintu kamar Maura terbuka sedikit, memperlihatkan cahaya dari dalam. Marvel mendekat, langkahnya pelan tanpa suara. Saat ia menyingkap pintu, pemandangan di dalam membuat matanya menyala.
Maura berdiri di dekat jendela yang tirainya setengah terbuka, ponsel menempel di telinga, bahunya sedikit terangkat menahan tawa. “Aku baik-baik saja, jangan berlebihan, Dave. Si brengsek itu hanya membuatku sedikit sibuk." Suaranya terdengar renyah dan santai.
Marvel tidak menunggu lebih lama. Ia masuk begitu saja dan tanpa peringatan lengannya melingkari pinggang Maura.
“Uh!” Maura hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya. Ia terlonjak kaget, tubuhnya menegang. “Ma—Marvel?”
Marvel menunduk, bibirnya mendekati telinga Maura, berbisik pelan penuh tekanan. “Teruskan. Jangan berhenti. Saya ingin mendengar apa yang kalian bicarakan.”
Jantung Maura berpacu cepat. Tangannya bergetar, ponsel masih menempel di telinga. Sedangkan di seberang sana, suara Dave terdengar cemas, “Maura? Kamu kenapa? Ada yang terjadi?”
Maura hampir kehilangan kata-kata. Sementara itu, dengan sengaja Marvel menundukkan wajah ke lehernya. Bibirnya menyusuri kulit tipis di sana, napasnya berembus hangat, membuat tubuh Maura gemetar hebat.
“Bicara,” bisik Marvel lagi, kali ini terdengar serak dan mengancam. “Kalau tidak, saya yang akan menjawab untukmu.”
Maura menggigit bibir bawah, mencoba menahan suara laknat yang mendesak keluar. Matanya terpejam, panik. “T-tidak, Dave. Aku baik-baik saja ... hanya, hanya sedikit lelah.”
Dave tidak terdengar yakin. “Kamu yakin? Kalau begitu—"
Sebelum Dave bisa melanjutkan, Maura sudah tidak tahan lagi. Genggaman Marvel makin kuat, bibirnya menekan kulit lehernya dengan hisapan singkat yang membuatnya hampir memekik terkejut. Dengan cepat ia menurunkan ponselnya dan mematikan panggilan.
Hening seketika.
Marvel tertawa rendah di belakangnya. “Cepat sekali menyerah. Hanya karena sedikit sentuhan dariku?”
Maura terengah, tubuhnya masih gemetar. Ia mencoba meronta berusaha melepaskan diri. “Kamu keterlaluan!” desisnya.
Marvel tidak peduli, ia membalikkan tubuh Maura dengan kasar hingga menghadapnya. Tatapannya dingin, bibirnya menyeringai tipis. “Keterlaluan? Saya sudah memperingatkan agar tidak berinteraksi dengan pria lain. Apa sekarang kamu menantangku, eh?"
Maura menelan ludah, sedikit menegakkan kepala. “Aku tidak melakukan kesalahan. Aku hanya—”
“Tersenyum. Tertawa. Untuk orang lain.” Marvel menunduk, wajahnya begitu dekat hingga napas mereka beradu. “Bukankah itu sama saja dengan menantangku? Seolah kamu sengaja membuatku marah agar mendapat hukuman."
Maura mendorong dada Marvel dengan kasar, dadanya bergerak naik-turun karena emosi. “Cukup! Aku muak diperlakukan seperti boneka. Kamu pikir aku tidak punya harga diri, hah? Aku bukan milikmu, Marvel! Aku manusia, bukan tawanan yang bisa kamu atur seenaknya!”
Marvel terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Boneka?” Ia mendekat lagi, jemarinya dengan sengaja mengangkat dagu Maura agar menatapnya.
“Lucu sekali kamu bicara soal harga diri, Maura. Apa kamu lupa saat pertama kali datang ke kantorku? Kamu hanyalah gadis polos yang bahkan tidak tahu cara menyiapkan berkas dengan benar. Hidupmu berantakan. Kalau bukan karena saya, siapa yang akan melunasi hutangmu, hem?”
Maura terperangah, darahnya mendidih. “Itu tidak lantas memberimu hak untuk memperlakukan aku seperti ini!”
“Tidak?” Marvel menyeringai, mencondongkan wajahnya begitu dekat hingga Maura bisa merasakan hawa panas napasnya. “Lalu apa hakmu tertawa dengan pria lain, sementara saya ada di sini? Keberanianmu sebesar itu, ya?”
Maura menggertakkan gigi, menahan diri untuk tidak berteriak. “Kamu tidak bisa mengurungku, tidak bisa membatasiku. Aku bukan tahananmu, Marvel. Aku sudah cukup lama hidup dalam penjara yang kamu buat. Tolong biarkan aku bebas."
Marvel sedikit menjauhkan kepalanya, lalu tertawa terbahak. "Membiarkanmu bebas seperti apa yang kamu maksud? Jangan pernah bermimpi untuk mengkhianatiku, Sayang. Sangkar emas ini lebih cocok untukmu," ucapnya dengan nada lembut.
"Dasar bajingan, gila! Apa kamu tidak sadar apa yang kamu lakukan ini menyakitiku, lama-lama aku bisa gila karena perlakuanmu!"
“Kalau begitu, berhentilah bermain-main denganku!” desisnya , terdengar tajam penuh ancaman.
Jari-jari tangan Maura terkepal di sisi tubuh. “Aku akan mengadukanmu pada Jesica, dan semua orang!”
Sekilas, sudut bibir Marvel terangkat menampilkan senyum setengah mengejek. "Benarkah? Lakukan saja kalau kamu yakin mereka akan percaya." Detik berikutnya ekspresinya berubah serius. Ia menunduk lebih dekat, sorot gelapnya membuat jantung Maura berdetak cepat.
“Dengar baik-baik, Maura. Sekali lagi mempermainkan laranganku, hukumanku akan jauh lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah kamu rasakan sebelumnya. Saya tidak bermain-main."
Tubuh Maura menegang, jantungnya semakin berdebar keras.
Tiba-tiba, bibir Marvel menyambar singkat, menekan bibirnya dengan kasar lalu menjauh lagi, meninggalkan rasa panas yang membuat Maura terengah.
“Sekarang,” Marvel berbisik, napasnya menggelitik kulit leher Maura, “lepaskan bajumu.”
Mata Maura membelalak. “Tidak.” Suaranya pelan. Ia menepis tangan Marvel yang akan meraih bajunya. “Aku sedang tidak akan mau melakukannya. Jangan memaksaku untuk melakukan hal menjijikan—"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Marvel menahan dagunya keras. “Jangan membuatku kehilangan kesabaran. Atau kamu lebih suka saya melampiaskan amarah pada Dave?” Sebelah sudut bibirnya terangkat. “Kamu tahu, saya bisa mematahkan semua kaki dan tangannya bahkan menghancurkan hidupnya."
Darah Maura sontak dingin, napasnya tercekat sedangkan tubuhnya bergetar. Ia menutup mata, menahan perasaannya yang campur aduk—takut, marah, dan putus asa. Dengan gerakan kaku, ia menurut, membuka satu persatu kancing kemejanya.
Senyum tipis melintas di wajah Marvel saat akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkan. Ia meraih pinggang Maura, mendekatkannya tanpa memberi ruang untuk lari.
Namun, tepat saat suasana makin panas Maura bersuara. “Apa ... Neni juga akan berpikir sama, setelah melihatku?” tanyanya, lirih, nyaris berbisik.
Marvel berhenti seketika. Kedua alisnya berkerut.
Maura menatapnya dengan mata berembun, bibirnya gemetar. “Aku tahu dia sadar aku mirip ibumu.”
Sejenak, Marvel terdiam, keheningan itu hanya berlangsung sepersekian detik karena detik kemudian sorot matanya berubah tajam. “Jangan. Pernah. Singgung. Itu lagi!” Ia berteriak keras hingga membuat Maura tersentak. Tangan yang mencengkeram pinggang Maura mencengkeram semakin kuat.
“Marvel—” Maura meringis kesakitan.
“Diam!” bentak Marvel, mendekatkan wajah ke arah Maura. “Kamu pikir kamu siapa berani membicarakan ibuku?!” Rahangnya mengeras, matanya berkilat dengan amarah yang tidak terkendali.
Maura menahan napas, tubuhnya bergetar hebat tanpa mengatakan apa pun.
“Ingat ini baik-baik, jalang. Jangan berani-berani menyamakan dirimu dengannya." Kedua tangannya kini berada di bahu Maura, mencengkeram keras, membuatnya sulit bergerak. “Kalau Neni melihat sesuatu, itu karena dia sudah tua, rabun, dan terlalu sentimentil. Jangan terlalu percaya diri dengan asumsi yang ada di kepala bodohmu itu!”
Jemarinya yang tadi mencengkeram bahu Maura perlahan terlepas. Tanpa sepatah kata pun ia berbalik dan melangkah meninggalkannya.
Saat tangan Marvel menggenggam gagang pintu, ia berhenti sejenak. “Kamu beruntung karena saya masih bisa menahan diri malam ini.” Ia tidak menoleh, hanya berdiri dengan punggung lebar menghadap Maura.
Klik.
Pintu tertutup keras.
Maura terperangah, tubuhnya masih gemetar hebat. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tidak beraturan. Tubuhnya masih merasakan jejak genggaman Marvel di bahunya, panas dan menyakitkan.
Perlahan ia jatuh terduduk di tepi ranjang. Tangannya menutup wajah, air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya tumpah.
“Kapan ini akan berakhir….” bisiknya, lirih, hampir tidak terdengar.