Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu rahasia Ayah
Malam sebelum pulang kampung
"Ashaa!"
Suara sang ibu memenuhi seisi rumah, dapat Asha tebak ibunya pasti akan melibatkan dirinya dalam pemilihan pakaian yang akan ibunya pakai untuk esok hari. Hal itu adalah rutinitas sang ibu sebelum pergi kemanapun, baik Asha atau ayahnya tentu tidak bisa menolak.
"Iyaa bu," jawab Asha dari dalam kamarnya.
"Keluar sebentar bantu ibu! Pake jilbabnya!" seru sang ibu membuat Asha menatap pintu yang tertutup dengan bingung.
"Iyaa bu, aku pake jilbab dulu!" jawab Asha lagi.
Asha membuka pintu kamarnya perlahan, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung berganti dengan hangatnya hawa rumah. Dari balik jendela yang tirainya setengah terbuka, kilauan cahaya lampu jalan masuk, menimpa lantai kamar hingga membuatnya tampak berkilau. Ia merapikan sedikit ujung kerudung yang baru saja dipakainya, memastikan penampilannya cukup rapi sebelum keluar.
Langkahnya pelan menyusuri area pribadinya. Dari atas sana, ia bisa melihat sebagian ruang tamu di bawah, meski hanya dari sela pagar tangga. Suara percakapan samar terdengar jelas itu suara ayahnya, dan satu lagi suara seorang pria yang cukup familiar di telinganya. Asha sempat berhenti sejenak di ujung tangga, berusaha menangkap percakapan itu, namun sayangnya hanya terdengar potongan kalimat yang tidak jelas.
Hatinya berdebar, entah kenapa. Ada rasa penasaran yang membuatnya ingin mencondongkan tubuh dan mengintip ke arah ruang tamu, tapi ia mengurungkan niat. Ia tahu betul, kebiasaannya menguping akan ketahuan cepat atau lambat. Tentu saja karena sering bergaul dengan Naira dan juga Rayna, kebiasaan menguping ini diwariskan oleh mereka berdua kepada Asha.
Perlahan ia menuruni anak tangga satu per satu. Derit kecil terdengar tiap kali kakinya menginjak pijakan kayu. Sesekali ia berhenti, menahan napas, mendengar tawa renyah ayahnya bercampur suara tamu itu. Semakin dekat ke lantai bawah, semakin jelas suara itu di telinganya, membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang.
Begitu sampai di lantai dasar, Asha langsung berlari kecil ke arah dapur. Di sana, ia melihat ibunya tengah sibuk menata gelas di atas nampan, seolah tak terganggu dengan ramainya percakapan dari ruang tamu.
"Siapa bu?" tanya Asha pelan sambil melirik ke arah ruang tamu.
Ibunya hanya menoleh sebentar lalu tersenyum samar.
"Tamunya Ayah," jawabnya.
"Tumben banget ayah nerima tamu jam segini," ujar Asha yang melihat kearah jam dinding yang menunjukkan pukul 21.15 WIB.
"Tamu baru," jawab sang ibu yang tetap fokus menata beberapa toples camilan.
"Baru dateng?" tanyanya lagi semakin penasaran.
"Abis tarawih tadi, kayaknya abis tarawih langsung mampir kesini." jawab sang ibu.
"Siapa bu?" semakin tidak dijawab pertanyaannya, semakin besar pula rasa ingin tahu Asha.
Ibunya kembali tersenyum, kali ini sedikit menggoda. "Nanti juga tahu. Pokoknya kamu jangan kaget."
Asha menatap curiga ibunya dengan dahi berkerut.
"Jangan-jangan… ada yang ngelamar lagi ya bu? Jangan main tebak-tebakan gini dong." tebaknya asal.
Berawal dari dirinya yang asal menebak, sekian detik kemudian berhasil membuat Asha terkejut.
"Kali ini jangan ditolak lagi ya nak," balas sang ibu menepuk pundak putrinya dengan pelan.
Ucapan itu membuat Asha terdiam sejenak. Ia menunduk, matanya melirik teko yang sudah diisi ibunya. Dengan sedikit bingung, ia menerima teko itu bersamaan dengan piring kecil berisi kue kering.
"Ibu serius?" tanyanya lagi dengan suara hampir berbisik.
“Serius,” jawab ibunya singkat, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Asha berdiri di dapur dengan perasaan campur aduk, membawa teko dan piring camilan yang terasa lebih berat dari seharusnya.
Ruang Tamu
Di sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi aroma kayu jati tua, dua pria duduk berhadapan. Suasana santai menyelimuti perbincangan mereka. Lelaki muda berparas tampan itu duduk tegap sambil tersenyum ramah. Tatapannya tajam namun tetap lembut, memperlihatkan wibawa yang masih segar dari usianya yang belum terlalu jauh melangkah. Di hadapannya, seorang pria paruh baya berusia setengah abad duduk dengan tenang, tubuhnya agak berisi namun penuh kharisma seorang ayah.
Obrolan mereka pun mengalir tanpa canggung, lelaki muda itu membuka kisah tentang latar belakang keluarganya.
"Sebenarnya, kalau ditelusuri, ana ini punya darah keturunan Tionghoa, Pak. Kakek ana asli dari China, trus menetap di Indonesia dari remaja."
Mendengar itu, pria paruh baya mengangguk, matanya berbinar penuh ketertarikan. Ia lalu tertawa kecil sambil mengangkat alisnya.
"Oh, pantes kulit antum lebih putih dari ana. Ana mah udah jelas keturunan kampung, kulit sawo matengnya gak bisa bohong." balasnya dengan tertawa kecil. Keduanya pun tertawa. Suasana menjadi semakin akrab, jauh dari kata kaku.
"Hehe, jangan gitu, Pak. Justru kulit sawo mateng itu eksotis, banyak yang suka. Kalau saya, kadang malah ngerasa mudah kebakar matahari, jadi sering repot pake sunscreen." imbuh si pemuda.
"Halah, gaya kali! Nanti kalau ketemu calon istri, jangan sampe dikasih syarat harus bawa payung tiap keluar rumah ya." guraunya.
Mereka kembali tergelak, tawa mengisi ruang tamu yang tadinya tenang. Sesekali pria paruh baya itu menepuk pahanya sambil terkekeh puas, sementara si pemuda hanya bisa menunduk malu-malu namun tetap membalas dengan canda.
Namun, tawa itu mendadak mereda ketika suara langkah ringan terdengar dari arah dapur. Seorang gadis dengan wajah manis masuk ke ruang tamu, membawa nampan berisi teh hangat dan beberapa camilan di piring kecil. Jilbabnya terpasang rapi di kepalanya, senyum sopan terpancar saat ia meletakkan hidangan di atas meja.
"Ayah, ini cemilan sama tehnya." ucap si gadis meletakkan nampan diatas meja.
Kedua pria itu sontak menoleh. Si pemuda seketika terdiam, sementara pria paruh baya langsung menyambut salam dengan suara lantang.
"Widih enak nih ngeteh malem-malem," ucap sang ayah membantu sang putri meletakkan 2 gelas teh dan toples-toples camilan.
Sementara si gadis sempat melirik sedikit kearah si pemuda, seketika banyak pertanyaan bermunculan didalam kepalanya.
"Ngapain dia kesini? Jangan bilang... BELIAU YANG DIMAKSUD IBU!" matanya melotot tak menyangka dengan pemikirannya sendiri.
Usai meletakkan teh dan camilan, ia berpamitan kepada keduanya untuk kembali ke belakang.
"Silahkan diminum, aku pamit ke belakang lagi yah," ucapnya pada sang ayah.
Ketika gadis itu berjalan kembali ke dapur, pemuda itu hanya sempat melirik sekejap. Begitu sosoknya hilang, pria paruh baya langsung menoleh dengan tatapan menggoda.
"Kelihatannya antum jadi salah tingkah barusan, ya?" godanya.
Pemuda itu tersipu malu, bisa-bisanya ia salah tingkah di depan ayah dari gadis yang ia sukai. Dan ayahnya bisa menebak hal tersebut, tentu saja itu cukup memalukan.
Keduanya tertawa kecil, namun tawa si pemuda terdengar kaku, jelas ada rasa segan yang ia sembunyikan. Suasana pun kembali cair, hingga beberapa saat kemudian lelaki muda itu menghela napas, lalu merapatkan duduknya.
"Sebenarnya, Pak... ada maksud khusus kenapa ana berkunjung malam ini. Bukan sekadar silaturahmi biasa." ucapnya dengan serius.
Mendengar nada serius itu, pria paruh baya menegakkan tubuhnya. Tatapannya berubah lembut namun penuh perhatian.
"Ana sudah duga. Silakan, Nak, sampaikan saja. InsyaAllah ana dengarkan." balas si pria paruh baya tersebut.
Lelaki muda itu menunduk sejenak, lalu menatap penuh keyakinan.
"Ana sudah cukup lama kenal putri bapak, yaitu ustadzah Asha. Dari cara beliau bersikap, ana rasa ada kebaikan akhlak yang membuat ana memantaskan diri dan memantapkan hati. Jadi malam ini, dengan segala kerendahan hati, ana datang untuk menyampaikan niat ana... ingin melamar ustadzah Asha, putri bapak." jelasnya panjang lebar, dengan tangan yang terus menerus ia kaitkan agar tidak terlihat bahwa dirinya sedang gugup.
Sementara disisi lain, Asha yang mendengar hal tersebut tersedak oleh air yang sedang ia minum. Ia terkejut mendengar pernyataan pemuda yang cukup ia kenal, bahkan sangat ia kenal.
"Pelan-pelan minumnya Sha!" ucap sang ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"I-iya bu," balasnya salah tingkah.
Sejenak suasana hening. Hanya terdengar detak jam dinding. Pria paruh baya terdiam, lalu tersenyum samar, menatap pemuda itu dengan sorot mata dalam.
"Maa Syaa Allah... Jadi itu maksud antum. Ana hargai keberanian antum menyampaikan langsung keseriusan antum terhadap putri ana." ujarnya.
Ia lalu meneguk teh hangat sebelum menepuk meja pelan.
"Kalo gitu, antum jangan bicara sama ana aja. Ana juga mau istri sama anak ana juga mendengar maksud dan tujuan antum datang malam ini. Karena keputusan seperti ini bukan sepihak, tunggu sebentar, ya."
Pria paruh baya itu pun bangkit dari duduknya. Dengan suara lantang, ia memanggil dari arah ruang dalam.
"Ibu...! Asha...! Sini sebentar ke ruang tamu!"
Tak lama, suara langkah terdengar. Sang istri keluar dengan senyum ramah, disusul gadis yang tadi membawa teh. Ia tampak sedikit bingung, namun tetap menunduk sopan saat duduk di sisi ibunya.
Suasana ruang tamu kini terasa berbeda. Lebih khidmat, lebih berat, seolah udara malam itu ikut menahan napas menanti kata-kata selanjutnya. Pemuda itu menarik napas panjang, bersiap mengulang niatnya di hadapan keluarga kecil yang kini menatapnya penuh perhatian.