Valentine Lee mengalami malam terburuk dalam hidupnya. Ia diperkos4 oleh pria yang mencintainya selama ini, lalu mendapati tunangannya berselingkuh. Dalam kepedihan itu, ia mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya.
Saat sadar, seorang pria tampan dan berkuasa bernama Vincent Zhao mengaku sebagai tunangannya dan membawanya pulang untuk tinggal bersamanya.
Namun ketika ingatannya pulih, Valentine akhirnya mengetahui siapa Vincent Zhao sebenarnya. Akankah ia memilih Vincent yang selalu melindunginya, atau kembali pada tunangan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Salah satu teman Vincent, pria berbadan kekar dengan tindikan di alisnya, bangkit dari tempat duduk. Ia melangkah mendekati Valentine dengan sorot mata memperingatkan.
"Nona, menyinggung Tuan Zhao itu sama saja cari mati," katanya tajam. "Habiskan minuman itu, atau kau bisa melayani kami semua di sini." Suaranya penuh ancaman dan kesenangan yang menjijikkan.
Valentine tidak mundur. Meski jantungnya berdegup kencang, sorot matanya tetap berani.
"Orang kaya seperti kalian... sangat suka menindas orang lemah," ucapnya dingin.
Vincent berdiri di hadapan Valentine, Ia menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki seolah ingin melucuti martabatnya hanya dengan mata.
"Menindas wanita murahan adalah kesukaanku," katanya ringan, namun penuh racun. "Kau juga bekerja di sini, bukan? Jadi... untuk apa berpura-pura suci?"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Vincent. Suaranya bergema, memantul ke seluruh sudut ruangan.
Valentine menatapnya dengan nafas memburu, tangan masih terangkat setelah tamparan itu. "Apakah kau pikir kau lebih baik dari siapa pun hanya karena kau kaya?" katanya lantang. "Apa yang harus dibanggakan?
Seluruh ruangan terdiam. Tak ada yang berani bernapas. Mereka tak pernah melihat ada seorang wanita yang berani menampar Vincent Zhao.
Wajah Vincent berubah. Sorot matanya kini tajam seperti bilah pisau. Ketegangan menggantung di udara seperti tali gantungan.
"Kalian semua keluar!" perintahnya tajam.
Tak seorang pun berani membantah. Teman-temannya segera berhamburan keluar seperti semut yang kabur dari air panas. Dalam hitungan detik, ruangan itu hanya menyisakan Vincent dan Valentine.
Keheningan menyeruak. Napas Valentine terdengar jelas, dadanya naik turun menahan amarah dan ketakutan. Tapi sebelum ia sempat melangkah mundur, Vincent bergerak cepat.
"Sebagai wanita malam, kau berani menyentuhku?" desisnya, sebelum mengangkat tubuh Valentine dengan kasar lalu menghentakkannya ke sofa. "Aku ingin lihat... apakah kau benar-benar masih suci."
Valentine berontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi pria itu.
"Lepaskan tanganku!" bentaknya, suara gemetar karena takut dan marah bersatu.
Vincent mencengkeram kedua pergelangan tangan Valentine dan menekannya di atas kepala, membatasi gerakannya. Senyum sinis muncul lagi di wajahnya.
"Tadi kau begitu berani. Sekarang giliranmu melayani. Anggap saja kau beruntung... karena hanya aku yang menyentuhmu." Vincent mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Valentine. "Kalau aku puas, mungkin aku akan membayar sejumlah uang."
Tanpa memberi kesempatan, bibirnya menempel paksa di bibir Valentine.
Valentine menggeliat, berusaha menolak, namun kekuatannya tak sebanding dengan Vincent. Kedua tangannya ditekan, tubuhnya terjebak, dan akhirnya ia hanya bisa membalas ciuman itu secara terpaksa. Namun dalam ciuman itu, ada ledakan emosi yang aneh—rasa jijik, perlawanan, dan sesuatu yang tak terjelaskan di antara mereka berdua.
Ciuman Vincent brutal, mengoyak, memaksa. Namun di tengah paksaan itu, ia mendadak berhenti. Napasnya terengah.
Matanya membelalak sesaat, kesadaran seperti menghantam kepalanya.
"Gawat... kenapa aku bisa bereaksi saat menyentuhnya?" batinnya, bingung dengan tubuhnya sendiri. Ia langsung berdiri, menjauh dari Valentine dengan wajah gelap dan rahang mengeras.
Ia meraih rokok dari saku jasnya, menyalakannya dengan tangan gemetar.
"Segera menghilang dari hadapanku... sebelum aku serahkan tubuhmu pada mereka," katanya dingin, berusaha menyembunyikan kekacauan dalam pikirannya sendiri. Asap rokok mengepul di antara mereka, menutupi hasrat yang nyaris meledak tadi.
Valentine segera bangkit. Ia merapikan gaunnya dengan cepat, lalu berlari keluar dari ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun.
Flashback off.
Tatapan Vincent kosong, pikirannya masih melayang pada malam kelam lima bulan lalu—malam yang mempertemukannya dengan gadis yang kemudian diam-diam meresap ke dalam hatinya: Valentine.
Tanpa sadar, tangan Vincent mengepal di atas pahanya, dan matanya menatap kosong ke arah meja.
Samantha, sang ibu, memperhatikan anaknya yang tiba-tiba saja larut dalam lamunan panjang. Ia bertukar pandang dengan Anita.
"Vincent, kenapa kau diam saja dari tadi? Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Anita lembut, berusaha memecah keheningan.
Vincent terkejut kecil. Ia segera membetulkan duduknya, seolah tersadar dari mimpi.
"Tidak ada, hanya memikirkan sesuatu," jawabnya singkat sambil meneguk minumannya.
Tak lama kemudian, suara derap langkah terdengar dari arah pintu depan. Jacky memasuki ruangan dengan wajah lesu dan mata yang tampak sembab.
"Jacky, kenapa wajahmu kelihatan lelah? Apa yang terjadi?" tanya Samantha dengan nada khawatir.
Jacky menghampiri mereka dan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, seolah seluruh dunia telah menghimpit pundaknya. Matanya menatap kosong sebelum akhirnya membuka suara.
"Nenek, Ma, Paman," sapanya pelan. Tapi Vincent hanya melirik sebentar dan kembali fokus ke gelas di tangannya.
Anita mendekat, duduk di sebelah Jacky dengan penuh perhatian.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lembut, cemas.
Jacky menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah keluarganya sebelum akhirnya berkata, "Valentine sudah sadar."
Kalimat itu sontak membuat Anita dan Samantha membelalak.
"Bukankah itu kabar baik? Kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya? Supaya Mama dan Nenek bisa ikut menjenguknya," ujar Anita dengan penuh semangat.
"Dia telah dibawa pergi oleh pria yang mengaku sebagai tunangannya. Aku bahkan tidak bisa menghubunginya. Keluarganya pun menyembunyikan keberadaannya."
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Samantha tampak bingung, sementara Anita menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Apa? Tunangan? Mana mungkin Valentine memiliki tunangan lain?" ujar Anita tidak terima, nadanya naik satu oktaf.
Vincent yang sedari tadi tampak acuh, akhirnya menoleh perlahan. Tatapannya dingin, namun kata-katanya tajam menusuk seperti pisau.
"Untuk apa kau harus penasaran?" katanya pelan namun tegas. "Sedangkan kau sendiri bahkan tidak bisa menjaga dan mengurus Valentine."
Semua mata kini tertuju padanya.
"Kau berselingkuh dengan mantanmu, lalu menyakiti tunanganmu sendiri. Apa kau masih merasa pantas bersamanya?" lanjut Vincent, nada suaranya menghukum tanpa belas kasihan.
"Apa?! Jacky berselingkuh dengan Alexander?!" seru Anita, matanya membelalak tak percaya. "Itu… itu tidak mungkin! Kau pasti salah dengar, Vincent!" lanjutnya sambil menggeleng cepat, menolak kenyataan yang mulai menguak di hadapannya.
Vincent tak menjawab. Sebagai gantinya, ia menyelipkan tangan ke dalam jasnya dan melemparkan foto-foto itu ke atas meja.
Tap. Tap. Tap.
Foto-foto itu tersebar di atas permukaan meja kayu yang mengkilap, menghadap ke atas. Wajah-wajah di dalamnya terlihat jelas—Jacky dan Alexander, berdua dalam pose yang tak bisa disalahartikan. Di kafe, di mobil, dan satu foto yang paling mencolok: mereka berpelukan di kamar hotel, dengan ekspresi yang terlalu intim untuk disebut sekadar teman.