NovelToon NovelToon
Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Angst / Roman-Angst Mafia
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kinamira

Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Tidak beda jauh dengan Felix. Maxim yang mendapatkan luka tembak di pundaknya, tengah ditangani dokter untuk mendapatkan pertolongan pertama.

"Bagaimana, apa mereka mundur?" tanya Maxim.

"Saat ini iya, tapi masih ada yang menjaga di perbatasan. Artinya ini hanya mundur sebentar," jawab Liam memberikan informasi.

Maxim mengangguk pelan. Dengan begini ia tetap bersiap. Ia harus tetap kuat mempertahankan wilayahnya juga Ellena.

Maxim melirik Ellena yang berada di sudut tenda dengan tubuh pucat dan gemetar, membuatnya merasakan kepuasan.

"Bagaimana dengan pasukan kita? Sisa berapa yang siap maju, berapa yang terluka parah, dan berapa yang meninggal, demi mempertahankan DIA!" ucap Maxim sepenuhnya bertanya, dan juga menekan kata dia yang tertuju pada Ellena.

Ellena yang paham sontak menoleh padanya dengan sorot mata yang ketakutan, membuat Maxim membalasnya dengan seringaian mematikan.

Liam menatap Maxim dan Ellena bergantian. Menggelengkan kepala pelan, merasa cukup gemas dengan keduanya. Ia lalu menjawab. "Sisa satu kelompok pasukan. Tapi, tenang saja, perbatasan Selatan siap mengirim beberapa pasukannya. Soal yang terluka dan tidak bisa masuk medan perang lagi ada tiga puluh orang lebih, sedangkan yang meninggal tujuh puluh orang, jujur pasukan kita sepertinya dua kali lipat lebih banyak yang meninggal, dibanding pihak lawan."

Informasi terakhir itu membuat Maxim berdecih, karena artinya ia berada kalah. Ia menatap tajam Liam, meski jelas bukan kesalahannya.

Ia kembali menatap Ellena dengan tajam. "Felix sepertinya kau sangat ingin menyelamatkannya. Kau menyiapkan banyak pasukan kali ini," batinnya.

Maxim tiba-tiba bangkit tanpa pengobatan yang selesai. "Eh, Tuan belum selesai!" seru sang dokter, namun tidak digubris.

Maxim berjalan ke arah Ellena. Ellena yang menyadari itu, menoleh menatapnya dengan takut. Segera bangkit dari duduknya, sembari berjalan mundur dengan kaki lemasnya.

"Karenamu tujuh puluh orangku mati!" ucap Maxim penuh penekanan.

Ellena menggeleng, tubuhnya gemetar ketakutan mendengar Maxim menyalahkannya. "Tidak, itu bukan salahku."

Air mata bercampur dengan keringat dingin. Ellena terus mundur, berusaha tetap menjaga jarak dengan Maxim.

"Salahmu, karena suamimu melakukan demi dirimu!" ucapnya penuh penekanan.

Ellena menggeleng. Wajahnya tampak tertekan dan frustasi. "Tidak, aku bukan ...."

Ellena keluar dari tenda, dan baru beberapa langkah mundur ia menabrak sesuatu, membuatnya menoleh melihat apa yang ditabraknya.

"Akh!" Ellena menjerit ketakutan, syok saat melihat mayat berlumuran darah berada di bawahnya. Wanita itu sontak berjalan mundur menjauhinya.

Ellena terjatuh ke tanah, melihat beberapa mayat yang tergeletak, dan orang-orang yang terluka di luar tenda.

Wanita itu meringkuk ketakutan, menundukkan kepalanya, menyembunyikan pandangannya, dan meremas kuat rambutnya.

Suara tangisnya mengisi keheningan di tempat itu. Maxim tersenyum puas, ia memejamkan mata mendengar suara tangis yang penuh ketakutan Ellena sangat indah baginya.

**

Hari semakin larut. Malam telah datang. Tidak ada tanda-tanda dari Felix akan kembali melakukan serangan. Sedangkan pihak Maxim hanya ingin menunggu waktu itu tiba.

Malam itu puluhan orang terjaga untuk mengawasi. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ellena sendiri, tidak kunjung tidur, karena terus dihantui rasa takut.

Wanita itu meringkuk memeluk tubuhnya di bawah langit malam, bersandar di pohon yang menjadi penyangga utama tenda, sembari menatap api unggun yang menyala sebagai penghangat.

Tempat itu cukup ramai, banyak orang yang berlalu lalang, namun tidak ada satupun yang menyapanya, seolah ia hanyalah seekor lalat, tidak berguna.

Tatapannya dipenuhi rasa takut dan cemas.

"Bagaimana caranya aku pergi dari sini? Aku tidak kuat. Ini terlalu menyeramkan," batin Ellena melihat orang-orang berlalu lalang.

Memang bukan dirinya seorang perempuan di sana. Karena perawat dan dokter yang ada dominan adalah perempuan. Namun, itu tetaplah menyeramkan.

Ellena terlalu sibuk dalam ketakutannya hingga tidak menyadari Johny datang mendekat.

"Hey!" panggilnya membuat Ellena tersentak dan sedikit menyeret tubuhnya menjauh.

Johny bisa menilai seberapa takutnya Ellena saat ini. Namun, ia tidak bisa membantu. Johny mengulurkan sebuah ubi bakar yang tampak baru selesai diangkat.

"Kamu belum makan sejak pagi. Ini makanlah," ucap Johny.

Ellena diam menatap Johny beberapa saat lalu menatap ubi bakar tersebut. Makanan sederhana, namun tampak menggoda untuk dinikmati. Kepalanya bergerak menatap ke arah tenda yang dikiranya ada Maxim di sana.

"Tenang saja. Maxim tau aku memberimu makanan," ucap Johny menebak ke khawatiran Ellena, dan berusaha menyakinkan.

Meski begitu Ellena tetap ragu. Dengan gerakan pelan ia menerima ubi itu. Benaknya menduga banyak hal, salah satunya, Johny akan menyatuhkan ubi itu dan melukai tangannya.

"Terima kasih," ucap Ellena setelah makanan itu berpindah aman di tangannya.

Johny tidak menjawab. Tidak ingin berurusan panjang, ia langsung pergi setelah memberikan makanan itu, meninggalkan Ellena yang kembali sendirian.

Sedangkan Ellena yang berpikir Maxim tidak akan membiarkan dirinya benar-benar tenang, segera memakan ubi bakar tersebut. Meniupnya sekuat-kuatnya untuk meredakan panasnya dan memakannya cepat. Meski itu membuat mulutnya sedikit terbakar, tapi Ellena tidak berhenti.

"Ahh, panas," gumamnya mengeluarkan nafas, meniup makanan dalam mulutnya.

"Aku harus makan cepat, sebelum Maxim datang." Dalam keadaan sibuk mengunyah. Ellena berulang kali melihat ke arah tenda, untuk memastikan datang tidaknya Maxim.

Sementara itu di dalam tenda. Maxim juga masih terjaga, bukan karena tidak ingin istirahat, namun batinnya terganggu, ia merasa gelisah. Dan ia sadar apa yang membuatnya gelisah.

"Sstt huh ...." Maxim mendesis dan menghela nafas, sembari mengusap kasar wajahnya untuk mengurai rasa gelisahnya.

"Sial, sial, kenapa sekarang aku selalu terbayang tubuhnya?" batin Maxim yang tertuju pada Ellena.

"Aku ingin menyentuhnya, tapi tidak mungkin dalam keadaan begini?" batinnya.

Matanya terpejam erat, jari telunjuknya mengetuk cepat di atas meja, berusaha menenangkan diri. Namun, saat memejamkan mata tubuh Ellena dan suaranya malah terekam ulang dalam benaknya.

Maxim berdecih, mengebrak meja dengan kesal, membuat perhatian tertuju padanya.

"Em, ada apa Tuan?" tanya Liam memberanikan menganggu pikiran Maxim.

Maxim terdiam beberapa saat, dengan dada yang naik turun menghembuskan nafas dari mulut. Ia lalu berucap. "Siapkan tenda dome untukku!" perintahnya.

Meski bingung Liam hanya mengangguk tanpa membantah sedikitpun. "Baik Tuan."

Liam menarik sebuah tas segi panjang, dan membawanya keluar, memerintahkan orang di luar untuk segera memasang tenda itu.

"Sudahlah. Aku butuh dia untuk pelampiasan nafsu. Lagipula siapa yang mau menegurku," batin Maxim melihat tenda yang di mintanya mulai terpasang.

Maxim meneguk gelas berisi wine. Detik kemudian seringai muncul di wajahnya saat sebuah ide masuk dalam pikirannya.

Ia bangkit dari duduknya, mengambil botol wine yang belum terbuka, dan membawanya keluar.

Matanya langsung melihat ke arah tempat di mana terakhir kali ia melihat Ellena, dan sesuai dugaan. Ellena tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.

"Hey kau!" seru Maxim memanggil.

Suaranya yang menggelengar, membuat semua orang menoleh dengan was-was, takut dirinya dipanggil Pemiliki suara bariton itu.

Begitu pun Ellena yang menoleh dan langsung tersentak saat matanya bertemu dengan Maxim.

Ellena memalingkan wajah, tidak beranjak dari duduknya, membuat Maxim menggeram. "Kenapa diam saja, kemari!" bentaknya.

Ellena takut, namun tidak berani membantah. Jika tidak mendekat pasti dia akan diseret.

Maxim menatapnya dingin, sembari tangannya membuka botol wine itu dengan sekali tarikan tanpa kesulitan.

"Kau minum?" tanyanya dengan suara rendah, namun penuh penekanan.

Ellena segera menggeleng. "Aku, aku tidak pernah minum," jawabnya, membuat Maxim semakin tersenyum puas.

Dengan begitu, setidaknya tiga kali tegukan pasti membuat Ellena mabuk berat.

"Kalau begitu, minum," ucap Maxim.

Belum sempat Ellena merespon, meski sekedar berekspresi. Maxim sudah menekan kedua pipinya memaksa mulutnya terbuka.

Ellena menggeleng, memukul tangan Maxim berusaha memberontak. Namun, itu sama sekali tidak berguna.

"Temani aku malam ini dalam keadaan mabuk."

Maxim mengangkat botol itu di depan Ellena, namun baru saja akan menuangkan langsung ke mulut Ellena, sebuah ledakan keras tepat di tengah-tengah perkumpulan mereka.

Meski tidak langsung minum, tapi wine itu tumpah di wajah Ellena.

Ledakan itu membuat semua orang seketika ricuh, dan menjauh dari sana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!