Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.
Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.
Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.
Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!
Tingkatan kultivasi :
Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang
Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang
Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang
Purification Dao 1-7 Tahapan bintang
Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang
Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang
Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang
Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir
Origin Dao Awal - menengah - akhir
Heavenly Dao
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 12
Di dalam kamar penginapan, udara terasa mencekam. Lentera kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya lembut, sementara sosok Acheng duduk di kursi, wajahnya datar namun penuh kewaspadaan. Di hadapannya, pria berjubah hitam yang sebelumnya ia tangkap kini mulai sadar dari pingsannya.
Pria itu mengerang pelan, mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa ia tak bisa melawan. Disini Acheng sudah menanamkan sebuah mantra bernama Mantra Boneka Iblis yang diterapkan oleh Acheng yang dia peroleh dari ingatan Raja Iblis. Mantra itu merasuk ke dalam pikirannya, menjerat kesadarannya dengan cengkeraman tak terlihat.
Acheng mengamati dengan tenang saat pria itu membuka matanya, bingung dan panik. Dengan gerakan lambat, Acheng mengulurkan tangannya, mencabut topeng merah yang menutupi wajah pria itu. Wajah setengah baya dengan kerutan tipis di dahi dan mata yang penuh ketakutan kini terlihat jelas.
“Siapa kau?” Acheng bertanya dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Pria itu membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya tampak berkabut, bukti pengaruh mantra pikiran iblis yang Acheng gunakan.
“Jawab,” perintah Acheng, matanya berkilat tajam.
Mantra itu bekerja dengan sempurna. Pria itu mulai berbicara, suaranya datar seperti boneka yang sedang dikendalikan. “Aku adalah murid Sekte Bintang Darah… Aku dikirim oleh Tetua Wu untuk mencari tahu keberadaan seseorang yang disebut sebagai Mang Acheng.”
Mata Acheng menyipit, emosinya terpendam di balik ekspresi dinginnya. “Bagaimana Sekte Bintang Darah bisa mengetahui keberadaanku di kota ini?” tanyanya lagi.
Pria itu menggeleng pelan, wajahnya tetap kosong. “Aku tidak tahu… Aku hanya diperintahkan untuk mengonfirmasi informasi yang diterima sekte.”
“Informasi apa? Dari mana asalnya?” Acheng mendesak, tetapi pria itu menggeleng lagi, menunjukkan ketidaktahuannya.
Acheng diam sejenak, memproses informasi yang baru saja ia dengar. Sekte Bintang Darah tahu tentang keberadaannya. Tapi bagaimana? Seseorang pasti telah membocorkan sesuatu. Wajahnya tetap dingin, tetapi pikirannya berputar cepat.
“Kau tidak tahu apa pun lagi?” Acheng bertanya untuk terakhir kalinya.
Pria itu menggeleng lagi, suaranya gemetar. “Tidak, aku tidak tahu… Aku hanya murid biasa. Tolong…”
Namun, Acheng sudah kehilangan kesabarannya. “Tak ada yang bisa menolongmu sekarang,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Api hitam muncul di tangan kanan Acheng, berpendar dengan aura gelap yang memancarkan rasa dingin dan panas bersamaan. Pria itu mulai menggigil hebat, menyadari nasibnya.
“Ampuni aku tuan, aku hanya menjalankan perintah... ” ia memohon dengan penuh kepanikan, tetapi Acheng tidak menggubris.
Dengan satu gerakan tangan, api itu menyelimuti tubuh pria tersebut. Dalam hitungan detik, tubuhnya terbakar menjadi abu tanpa suara. Tidak ada teriakan, tidak ada bekas. Yang tersisa hanyalah bau asap tipis yang menyebar di ruangan.
Acheng berdiri di tengah ruangan, matanya memandang abu yang tersisa dengan dingin. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan kekacauan yang kini memenuhi pikirannya. “Seseorang membocorkan keberadaanku,” pikirnya.
Ia berjalan menuju jendela, memandang ke luar kota yang kini sunyi. Bulan purnama yang menggantung di langit tampak seperti mata yang terus mengawasinya.
“Siapa pun kau, aku akan menemukanmu. Jika kau ingin mencari keuntungan dari hidupku, aku pastikan kau hanya akan mendapatkan kematian.”
Angin malam masuk melalui celah jendela, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Acheng kembali duduk di kursinya, tetapi pikirannya tidak tenang. Ia tahu, di luar sana, musuh-musuhnya semakin mendekat.
Namun, ia tidak takut. Sebaliknya, dendam dan tekad di hatinya semakin membara. “Tunggu saja bajingan! Aku akan meladeni permainan kalian,” gumamnya, memandangi api hitam di tangannya yang perlahan memudar.
...
Di Sekte Bintang Darah.
Di dalam aula megah yang menjadi pusat komando Sekte Bintang Darah, tujuh tetua sekte duduk mengelilingi meja panjang yang terbuat dari kayu hitam berukir. Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding berlapis emas dan permata.
Wajah-wajah para tetua terlihat tegang, beberapa di antara mereka bahkan tampak gelisah. Aura mereka yang berada di ranah Dao Ancestor Bintang 1 memancar tanpa sadar, memenuhi aula dengan tekanan yang berat. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang berbicara lebih dulu, hingga akhirnya Tetua Yu, seorang pria paruh baya dengan rambut putih yang diikat rapi, memecah keheningan.
“Kita telah kehilangan kontak dengan kedua murid yang dikirim ke Kota Liyang.” Suaranya dingin dan tegas, namun ada jejak kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. “Ini hanya berarti satu hal: mereka telah mati.”
Para tetua lainnya saling pandang, dan suasana di ruangan itu semakin berat.
“Jika mereka mati, itu membuktikan bahwa informasi yang diberikan oleh Asosiasi Mata Langit adalah benar. Mang Acheng ada di Liyang,” kata Tetua Gan, seorang pria berusia lanjut dengan bekas luka besar di wajahnya. “Tapi yang menjadi pertanyaan adalah… bagaimana dia bisa selamat dari reruntuhan makam Raja Iblis?”
“Bukan hanya itu,” sela Tetua Wu, seorang pria dengan jubah merah tua dan tatapan tajam. “Jika benar dia selamat, itu membuktikan bahwa dia memiliki beberapa kemampuan, karena berhasil mencuri Hati Naga Iblis dari kita! Itu adalah harta yang sangat penting bagi kita!”
Aula kembali sunyi. Hati Naga Iblis adalah pusaka yang selama ini di jaga ketat oleh Sekte Bintang Darah. Harta itu tidak hanya mampu meningkatkan kultivasi secara drastis, tetapi juga memberikan kemampuan regenerasi tubuh yang luar biasa dan kekebalan terhadap racun. Kehilangannya adalah pukulan besar bagi sekte mereka, dan semua tetua di sini tahu siapa yang harus disalahkan.
“Mang Acheng,” desis Tetua Yu, matanya menyipit penuh kebencian. “Anak itu tidak hanya merampok kehormatan kita, tetapi juga membahayakan masa depan sekte ini.”
Tetua Zhang, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. Ia adalah tetua tertua di antara mereka, dengan rambut putih yang panjang dan wajah yang penuh kerutan, tetapi aura keagungan yang masih kuat.
“Jangan remehkan anak itu,” katanya, suaranya berat namun tenang. “Jika ia berhasil selamat dari makam Raja Iblis, itu berarti ia telah menyerap sebagian kekuatan iblis itu. Ingat, kita bertujuh pun hampir mati saat melawan raja iblis, dan dia… dia keluar hidup-hidup.”
Ucapan itu membuat suasana di aula semakin tegang. Mereka semua tahu betapa menakutkannya Raja Iblis yang mereka hadapi di makam kuno itu. Dan sekarang, Mang Acheng membawa sebagian dari kekuatan itu di dalam dirinya.
Tetua Wu mengepalkan tangannya, aura merah gelap menyelimuti tubuhnya. “Kita harus bergerak sekarang. Hati Naga Iblis adalah inti kekuatan sekte ini. Tanpanya, kita tidak akan mampu mempertahankan posisi kita sebagai salah satu kekuatan besar di Kerajaan Song.”
“Setuju,” kata Tetua Yu. “Kita harus pergi ke Kota Liyang dan menghabisinya. Dengan kekuatan kita bertujuh, bahkan jika dia telah memperoleh kekuatan Raja Iblis, dia tidak akan bisa melawan.”
Tetua Zhang mengangguk perlahan. “Pastikan tidak ada kesalahan. Jika kita gagal lagi, itu akan menjadi akhir dari Sekte Bintang Darah seperti yang kita kenal.”
Para tetua segera bangkit dari tempat duduk mereka. Dalam sekejap, mereka telah memutuskan untuk bergerak bersama menuju Kota Liyang. Angin malam yang dingin berhembus melalui aula megah itu saat ketujuh tetua melangkah keluar, masing-masing dikelilingi oleh aura dao mereka yang menakutkan.
Di kejauhan, bulan purnama bersinar pucat, seolah menyaksikan rencana besar yang sedang dirancang oleh para tetua Sekte Bintang Darah. Di dalam hati mereka, tekad untuk mengambil kembali Hati Naga Iblis dan menghabisi Acheng telah membara seperti api yang tak terpadamkan.
Mereka tak tahu bahwa lawan mereka kini telah menyerap harta yang mereka jaga selama ini, dan berhasil meningkatkan kultivasinya di tingkat yang sama dengan mereka.
Ma arti nya mamak/ibu perempuan ,, Pa PPA)ayah laki.