Lama menghilang bak tertelan bumi, rupanya Jesica, janda dari Bastian itu, kini dipersunting oleh pengusaha matang bernama Rasyid Faturahman.
Sama-sama bertemu dalam keadaan terpuruk di Madinah, Jesica mau menerima tunangan dari Rasyid. Hingga, tak ingin menunggu lama. Hanya berselisih 1 minggu, Rasyid mengitbah Jesica dipelataran Masjidil Haram.
Namun, siapa sangka jika Jesica hanya dijadikan Rasyid sebagai yang kedua.
Rasyid berhasil merobohkan dinding kepercayaan Jesica, dengan pemalsuan jatidiri yang sesungguhnya.
"Aku terpaksa menikahi Jesica, supaya dia dapat memberikan kita putra, Andini!" tekan Rasyid Faturahman.
"Aku tidak rela kamu madu, Mas!" Andini Maysaroh.
*
*
Lagi-lagi, Jesica kembali ketanah Surabaya. Tanah yang tak pernah ingin ia injak semenjak kejadian masa lalunya. Namun, takdir kembali membawanya kesana.
Pergi dalam keadaan berbadan dua, takdir malah mempertemukanya dengan seorang putra Kiyai. Pria yang pernah mengaguminya waktu lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Jesica ... Ikuti saya, ada yang ingin saya bicarakan!" Bu Hilma mengarahkan dagunya kesamping, lalu melenggang begitu saja.
"Oma, Bik Ulfa ... Jesica pamit dulu ya!" Jesica segera bangkit dan segera beranjak dari tempat duduknya.
'Kasian sekali Non Jesica! Maafin Bibi ya, Non. Bibi tidak dapat berbuat apa-apa.' puas menatap kepergian Jesica, Bik Ulfa kembali dibuat frustasi dengan sikap Majikannya.
"Siapa nama kamu?" tegur kembali Oma Selin.
Bik Ulfa hanya mampu mengangguk lemah. Dan langsung membantu Majikannya untuk bangkit.
***
Dan kini, Jesica dan Rasyid sudah duduk dihadapan Bu Hilma dan Tuan Gio Faturahman.
Wanita berjilbab merah muda itu menatap orang disebrangnya dengan perasaan kurang nyaman. Pasalnya, sikap Bu Hilma jauh berbeda, ketika dirinya pertama kali menghubungi Jesica.
Kedua parubaya itu menatap penuh tuntut, hingga menciptakan ketegangan tersendiri.
"Jesica ... Saya dan Suami saya mengucapkan selamat atas pernikahan kalian berdua. Semoga saja, kamu dapat bertahan dengan putra saya, sebelum kamu memberikan cucu kepada kami!" pungkas Bu Hilma, begitu menatap suaminya yang tampak acuh.
Tuan Gio menegakan badanya. Dari sorot matanya, seakan tidak mempedulikan semua yang terjadi. Ia menatap putranya-Rasyid, lalu berpindah kearah Jesica.
"Sebagai bentuk ucapan selamat, Ayah sudah menyiapkan rumah untuk kalian tempati!" seru Tuan Gio.
Rasyid sejak tadi menampakan wajah dingin, tanpa ekspresi apapun. Ia sejujurnya begitu sangat menyesal, telah menghianati kesetiaan istrinya. Namun, hidupnya bukan untuk bersenang-senang saja. Ia juga harus memikirkan nasib perusahaan sang Ayah, dengan adanya keturunan yang meneruskan perjuanganya.
"Dan untuk masalah status pernikahan kalian, terutama buat kamu Jesica ... Jangan pernah menuntut Rasyid untuk meresmikan pernikahan kalian dahulu. Karena ... Rasyid untuk saat ini harus fokus pada pembangunan pabrik miliknya terlebih dahulu. Kamu faham?!" Bu Hilma tak akan membiarkan menantunya menuntut apapun.
Tak!
Tuan Gio meletakan sebuah kunci diatas meja. "Ambilah Rasyid! Bawa istrimu ke rumah baru kalian!" ucap Tuan Gio menatap putranya dengan lekat.
Rasyid bangkit. Ia mengambil kunci itu, dan langsung melenggang pergi begitu saja.
"Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, Jesica. Ikutilah suamimu!" timpal Bu Hilma.
"Saya permisi dulu!" Jesica juga ikut bangkit, tertunduk segan dan langsung pergi dari sana.
Diteras depan, Jesica sudah siap dengan 1 koper ditangannya. Agak sedikit mengherankan, karena Rasyid tidak juga membawa kopernya. "Mas ... Kamu kok nggak bawa kopermu?" ucapnya agak mengernyit.
"Sudah, kamu masuk saja kedalam mobil!" Dengan sikap acuhnya, Rasyid menyambar koper istrinya seraya diletakan dibangku belakang.
Tidak ingin mendebat lebih lama, Jesica hanya mengikuti langkah Rasyid masuk mobil. Dan begitu siap, mobil Rasyid sudah mulai berjalan meninggalkan kediaman megah itu.
Namun disisi lain, sebuah mobil Xpander putih, kini baru saja memasuki kediaman Tuan Faturahman. Sejujurnya orang didalam mobil itu paling anti menginjakan kakinya dirumah tersebut. Namun, demi mencari sang suami. Ia menepis semua keraguannya.
Bu Hilma melipatkan tangan didada, begitu melihat Andini sudah masuk kedalam rumahnya.
"Mau apa kamu datang kesini? Apa kamu sudah hamil?" desis Bu Hilma tersenyum remeh.
"Bu ... Aku kesini mau mencari Mas Rasyid! Bukanya dia sudah pulang umrah, tapi kok belum pulang-pulang juga?!" Andini menatap dengan manik mata memanas.
Bu Hilma mendesah dalam, lalu menjatuhkan lenganya kebawah. "Mungkin saja putraku bosan berada dirumahnya. Seorang suami, pasti akan lebih nyaman tinggal dirumah ... Begitu dia mendapati kebahagiaan didalamnya. Yaitu dengan adanya seorang anak!" pekiknya. "Apa kamu sudah memberikan itu pada Rasyid?"
Andini tertunduk diam. Kelemahannya tidak dapat menjawab cercaan sang mertua. Sesakit apa, Andini lebih memilih diam, dan langsung pergi dari hadapan Bu Hilma.
Oma Selin tersentak, kala melihat cucu mantunya sudah berdiri disampingnya. "Oma ... Oma apa kabar?" sapa Andini tersenyum hangat. Daripada menghadapi sikap mertuanya, mending ia singgah ke area dapur untuk mencari tahu keberadaan suaminya.
Oma Selin agak mengernyit. Tatapanya menelisik, menerka, seakan asing menatap Andini untuk pertama kalinya. "Ulfa ... Apa dia dokter baruku?" pekiknya memanggil Bik Ulfa. "Duduklah dokter, saya baru selesai makan malam."
Bik Ulfa menghampiri Majikannya. Ia juga tak kalah tersentak, begitu Andini sudah duduk dibalik meja makan. "Non Andini seja kapan?" tanyanya sedikit agak cemas.
"Baru saja, Bik! Oh ya ... Mas Rasyid pergi kemana ya, kok sampai malam begini nggak pulang?" Andini tampak antusias menunggu jawaban dari pelayan itu.
Dengan sebisa mungkin, Ulfa menghindari pertanyaan itu. Ia lebih memilih membereskan sisa cemilan didepan Oma Selin. "Maaf ya Non, kalau itu saya kurang faham. Karena sejak tadi saya disini dengan Oma!"
Andini mengangguk lemah. Wajahnya sedikit berpikir, kemana perginya sang suami. "Ya udah, saya keatas dulu ya Bik. Oma ... Andini kekamar dulu!" pamitnya sambil mengusap lengan kendur Oma Selin.
"Baik, Dokter! Tunggu saja diatas," pekiknya.
Andini kini masuk kedalam kamar suaminya. Seketika ia berhenti sejenak, kala wangi parfume itu menusuk indra penciumannya. Andini menghirup dalam, merasa asing dengan parfume itu.
"Apa Mas Rasyid mengganti parfumenya, ya? Kok aku asing banget," Andini beranjak menuju meja rias, saat melihat sebuah botol parfume tertinggal. Ia sedikit menyemprotkan pada lenganya, dan memang wanginya persis. "Ini parfume mahal? Milik siapa ini?" lirihnya menerka-nerka.
*
*
*
Sampai dipos satpam, Rasyid menunjukan kartu identitasnya terlebih dulu. Namun dengan cepat, Rasyid memasukan kembali.
Hingga, mobil Rasyid berhenti disalah satu rumah dua lantai dengan cat putih, sangat begitu aesthatic.
Rumah yang tidak terlalu besar, namun cukup nyaman itu, kini menyambut kedatangan pengantin baru, dengan pesonanya yang indah.
"Mas, kamu mau kemana lagi?" Jesica menarik lengan suaminya, begitu melihat Rasyid akan pergi lagi.
"Aku harus kembali ke rumah lagi, karena ada pekerjaan yang belum aku selesaikan! Lusa, akan ada pelayan datang yang menemanimu disini." Rasyid dengan cepat mengambil tanganya, dan langsung pergi dari sana.
Jesica menatap sendu kepergian suaminya. Entah alasan apapun, seharusnya Rasyid tidak meninggalkannya begitu saja. Apalagi di rumah sendirian.
Tak ingin larut, Jesica menarik kopernya dan langsung masuk kedalam kamar utama.
Lagi-lagi ia diabaikan begitu saja. Jesica membuka pintu balkon. Ia duduk disana sambil menatap indahnya sang rembulan. Malam ini terlihat sangat terang, meski hatinya agak mendung. Hembusan angin mengikis wajah cantiknya, hingga bibir ramun itu melekuk indah.
Mengingat tadi ia belum menunaikan sholat isyak, jadi Jesica bergegas menuju kamar mandi untuk menunaikan ibadahnya.
Sementara dalam perjalananya, mobil Rasyid langsung melesat kencang menuju rumahnya dengan Andini. Sebagai manusia biasa, jujur saja terlintas rasa bosan setiap ia memasuki rumahnya itu. Disana sepi, tidak ada gelak tawa dari mulut mungil seorang balita. Tidak ada celotehan indah, yang membuat hari-harinya berwarna.
8 tahun membina keluarga dengan Andini, membuat Rasyid harus ekstra sabar menjalaninya.
"Dimana istri saya?" Rasyid kini berhenti di dapur, ketika melihat seorang pelayan.
"Tadi Non Andini pergi, Den! Kata Nona ... Dia mau ke rumah Nyonya besar buat cari Aden," jabar Bik Sumi.
'Andini ke rumah Ibu? Untung saja aku sudah membawa Jesica pergi!' batin Rasyid sedikit lega. "Ya sudah, Mbok ... Saya permisi!"
Rasyid kembali melajukan mobilnya menuju rumah utama Faturahman. Fisik dan pikiranya seharian dihajar habis oleh keadaan. Ia bolak balik, demi semuanya berjalan dengan semestinya.
Dan benar, begitu Rasyid tiba. Ia melihat mobil milik istrinya dihalaman rumah. Tak menunggu lama, Rasyid langsung bergegas masuk kedalam.
Namun lagi-lagi, sang Ibu menghadang langkahnya dengan lontaran kalimat,
"Kamu ngapain pulang lagi, Rasyid? Seharusnya kamu bermalam dengan Jesica," hardik Bu Hilma seraya bangkit dari duduknya diruang tengah.
Rasyid mendesah dalam. "Bu ... Aku memiliki istri, dan aku harus pulang! Aku nggak ingin membuat Andini berpikir yang tidak-tidak!"
"Biarkan saja dia berpikir lebih, karena memang dia tidak dapat memberikan Ibu cucu laki-laki," tekan Bu Hilma dengan mata nyalangnya.
"Belum tentu juga, jika Jesica dapat memberikan cucu Ibu laki-laki-"
"Tapi setidaknya Jesica akan hamil, dan secepatnya memberikan Ibu seorang cucu!" sahut Bu Hilma meninggikan suaranya.
Deg!
Andini yang tiba ditangga bawah, kini membekap kuat mulutnya, bagai terhantam benda berat didadanya. Bibirnya bergetar, hingga kedua matanya memanas seketika.
"SIAPA JESICA?" teriak Andini yang sejak tadi mendengar obrolan Ibu dan anak itu.
Rasyid menoleh. Wajahnya menegang.
jangan lupa mampir dan react balik yaaa. thank you