Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Malam itu, langit desa Sukasari gelap tanpa bulan. Hanya bintang-bintang kecil yang bertaburan, seolah ikut mendengar bisikan hati Arga. Pemuda sederhana itu duduk di beranda rumahnya, menatap pekat malam sambil memainkan gelas teh hangat yang sudah mulai dingin. Angin semilir menyapu rambutnya
Hatinya penuh gejolak. Sejak Tere pergi bersama kedua orang tuanya, wajah perempuan itu selalu hadir di benaknya. Tatapannya, suaranya, bahkan amarahnya saat meminta agar pernikahan mereka diakhiri. Semuanya seolah terekam jelas dalam ingatan Arga.
“Ya Allah... aku ini sudah sah jadi suaminya. Tapi aku malah membiarkannya pergi,” lirih Arga pada dirinya sendiri.
Malam itu juga, Arga membulatkan tekad. Ia ingin menyusul Tere ke Jakarta. Bukan hanya untuk menagih janji, tapi untuk menjadi suami yang pantas. Ia sadar, cinta sudah tumbuh di hatinya, meski Tere tak pernah mengakuinya sebagai suami.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ternyata Jaka, sahabatnya, datang dengan langkah santai.
“Ga, ngelamun aje lu. Malam-malam begini malah nongkrong di depan rumah,” goda Jaka sambil nyengir.
Arga tersenyum kecil. “Gue lagi mikir, Jak. Gue mau merantau. Cari pengalaman di kota. Mungkin rezeki gue ada di sana.”
Jaka terdiam sejenak, lalu duduk di samping Arga. “Beneran, Ga? Yaelah... ini baru sahabat gue! Daripada lu ngendon di desa terus, kagak kemana-mana. Ayo lah, gue ikut. Siapa tahu gue dapet kerjaan juga, daripada tiap hari dimarahin!”
Arga hanya tersenyum, enggan mengungkap alasan sebenarnya. Malam itu mereka berdua berjanji: besok pagi mereka akan berangkat.
Ayam jantan belum habis berkokok ketika Arga dan Jaka sudah sibuk menyiapkan barang bawaan. Hanya satu tas ransel kecil dan bekal secukupnya. Mereka pamit pada orang tua jaka, mendapat restu dan doa tulus.
berjam jam kemudian, mereka tiba di terminal kota. jakarta yang selama ini di angan, kini nyata di depan mata
"Ya Allah, arga.... gedung nya tinggi tinggi beneran. Mobil dimana-mana. gue ngerasa kayak semut di lautan beton!" jaka melongo, mata nya sibuk menatap sekeliling.
arga menarik nafas dalam. “Jak, kita cari kos dulu deh. Nggak mungkin nginep di terminal begini,” kata Arga.
Mereka berjalan kaki hingga ke sebuah gang kecil. Di sanalah mereka berjumpa seorang lelaki paruh baya berbadan besar, berkumis tebal, memakai kaos oblong dan sarung kotak-kotak. Wajahnya ramah dengan logat Betawi kental.
“Eh, anak muda! Nyari apaan nih? Kosan? Di sini banyak, nih!” sapa lelaki itu.
Arga dan Jaka saling pandang, lalu mengangguk sopan. “Iya, pak. Kami nyari kos, kalau ada yang murah dan aman.”
Orang itu tertawa lepas. “Gue Babe Udin. Kebetulan, di belakang rumah gue ada kamar kosong. Yuk, ikut, jangan malu-malu.”
Jaka langsung sumringah. “Nah, ini baru rezeki anak baik!”
Mereka berdua mengikuti Babe Udin masuk ke rumah kos sederhana tapi bersih. Ruangan kecil itu cukup untuk beristirahat dan menyimpan barang.
" gimana cocok?" tanya Babe udin.
"cocok be, berapa sewa perbulan?"
“Murah aja, lima ratus ribu. Tapi kalau duitnya mepet, elo bilang. Gampang urusan harga mah, yang penting amanah.”
Arga mengangguk. “Insyaallah, Be. Kami amanah.”
Setelah beres bayar uang muka, Arga dan Jaka merebahkan diri di kamar kos kecil itu.
“Nah, tinggal di sini dulu. Kalo ada apa-apa, bilang aje sama Babe. Jangan malu-malu, anggep rumah sendiri.”
Arga mengucap terima kasih. Dalam hati, ia merasa langkah pertamanya di kota ini telah dimulai. Dengan tempat tinggal sudah ada.