Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 12 Dia datang lagi?
Setelah selesai membereskan ruang tengah dan membantu nenek membersihkan rumah, aku masuk ke kamar sambil membawa sisa kehangatan teh di tanganku. Cahaya senja menyelinap masuk lewat sela jendela, mengubah warna dinding kamar menjadi jingga keemasan.
Aku meletakkan cangkir di meja kecil, lalu mengambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Layar menyala. Ada satu pesan WhatsApp masuk... dari nomor yang tidak kusimpan lagi, tapi fotonya membuat jantungku berhenti sejenak.
"Hai Kelly… apa kabar?"
Aku menatap layar lama. Rasanya absurd. Nama itu. Wajah itu. Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, setelah semua luka yang sempat kubenamkan jauh-jauh, dia muncul lagi… semudah itu?
Kutekan pelan layar ponsel. Jari-jariku gemetar ringan, bukan karena rindu, tapi karena ingin memastikan bahwa aku membalas dengan sadar, bukan dengan emosi, tapi juga bukan dengan kelembutan palsu.
Aku mengetik :
"Apa tujuannya kamu nanya kabar? Karena seingatku, kamu yang pergi tanpa penjelasan."
Pesan terkirim. Aku menatap titik tiga yang muncul, tanda dia sedang mengetik. Detik demi detik terasa lama, sampai akhirnya balasan masuk.
"Aku cuma… penasaran. Gak tau kenapa tiba-tiba keinget kamu"
Aku membacanya, tapi tidak langsung membalasnya.
"Aku nggak bermaksud ganggu... cuma penasaran. Apakah kamu baik baik aja?"
Aku membaca kalimat itu dengan kepala sedikit miring.
Penasaran?
Lucu, ya. Dia bertanya kabarku hanya karena penasaran.
Beberapa menit kemudian, masuk pesan baru masuk lagi.
"Maaf, Kelly. Aku tahu aku salah. Aku ninggalin kamu tanpa kejelasan. Tapi waktu itu aku bener-bener lagi sibuk... banyak tekanan kerja, dan aku gak tau harus ngomong apa."
Aku menatap layar, tidak merasa marah. Justru itu yang menandakan aku sudah sembuh. Karena tidak ada satu pun kalimat yang bisa menimbulkan gemuruh dalam dada. Hanya ada satu rasa : cukup.
Sibuk????
Alasan paling klasik yang pernah aku dengar dari laki-laki yang tidak siap berjuang. Dua bulan tanpa kabar? Hahahaha! Aku bukan wanita bodoh.
Aku tidak membalas. Dan kali ini bukan karena aku ingin dia merasa bersalah, tapi karena aku tahu, aku tidak perlu ikut tenggelam lagi dalam lautan yang pernah menenggelamkanku.
Perlahan, aku membuka profilnya. Jempolku bergerak pelan, dan dengan satu sentuhan, aku menghapus nomornya. Tidak memblokir. Karena aku tidak perlu menutup pintu dengan kasar hanya untuk merasa berani.
Membiarkan pintu tetap terbuka tanpa berniat menoleh ke belakang, itu juga bentuk kedewasaan.
Dia berasal dari negara yang katanya penuh pesona. Tanah tempat dua benua bersentuhan, di mana pagi bisa disambut oleh azan dari menara tua, dan malam bisa dinikmati di kafe-kafe yang menghadap ke selat terkenal itu.
Negara dengan sejarah panjang, bazaar yang penuh warna, dan langit senja yang sering dipuja para pelukis dan penyair. Banyak orang memimpikan mengunjungi tempat itu, berjalan-jalan di antara bangunan tua yang memeluk masa lalu dan masa depan dalam satu tarikan napas.
Tapi ternyata, seindah tempat asalnya, tidak semua yang datang dari sana membawa keindahan yang sama dalam hatinya.
Janji-janjinya dulu terasa manis.
Katanya, dia akan datang menemuiku.
Katanya, dia akan membawa aku ke Bali.
Tapi semua itu hanya kata-kata tanpa bukti. Rencana yang hanya hidup di mulut, tapi tak pernah sampai ke langkah. Aku sempat percaya, karena suaranya terdengar begitu yakin saat mengucapkannya. Tapi ternyata, yang ia bangun hanyalah harapan palsu, dan aku yang dengan bodohnya berdiri di atasnya, menunggu sesuatu yang tidak pernah benar-benar akan datang.
Hari ini, aku memilih untuk tidak menyakiti siapa-siapa.
Tapi juga tidak membiarkan siapa pun menyakitiku lagi.
...........
Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta. Cahaya jingga menyelinap masuk lewat tirai kamar, memantulkan siluet lembut di dinding. Suasana sore itu terasa berbeda, lebih hening, lebih ringan. Mungkin karena aku sudah melepas beban yang terlalu lama aku pikul. Atau mungkin… karena semesta sedang bersiap membawaku kembali ke sesuatu yang lebih hangat.
Ponselku bergetar pelan. Sebuah pesan masuk. Dari Maarten.
“Aku sudah sampai di bandara Jakarta. Baru turun dari pesawat.”
Entah kenapa, mataku langsung terasa basah. Tapi kali ini bukan karena sedih. Bukan karena luka yang diungkit. Tapi karena rasa lega yang muncul diam-diam. Karena setelah hari yang penuh bayangan dari masa lalu, ada seseorang di masa kini yang tetap datang, tanpa diminta, dengan senyum dan kesederhanaan yang tak pernah menuntut apapun.
Aku mengetik balasan.
“Aaaah senang mendengarnya!!
Welcome back. Hati-hati di jalan ya. Kamu nginep di mana nanti?”
Tak lama kemudian, dia membalas:
“Aku pilih hotel di Depok. Biar lebih dekat sama kamu. Aku nggak mau kamu harus jalan jauh-jauh lagi seperti kemarin.”
Aku menatap pesan itu lama, membacanya berulang-ulang. Hati kecilku seperti mendapat pelukan diam-diam. Kadang, bentuk perhatian paling tulus tidak datang dari kejutan besar, tapi dari seseorang yang benar-benar memperhatikan bagian terkecil yang pernah dilakukan.
"Depok?" aku membalas cepat sambil tersenyum kecil.
"Oh Maarten, terima kasih... Kamu nggak perlu sejauh itu buat bikin aku nyaman, tapi kamu tetap lakukan itu. Aku senang banget."
Beberapa detik kemudian pesannya masuk lagi dengan cepat, seolah dia tidak sabar untuk membalas.
"Aku yang harus berterima kasih. Aku senang bisa lebih dekat denganmu. Rasanya aku pengen cepat-cepat sampai di hotel."
Aku bisa membayangkan ekspresinya dari cara dia mengetik. Tergesa tapi hangat. Maarten lalu mengirim pesan susulan.
"Aku sudah mau pesan Grab. Mungkin 45 menit dari sekarang aku sampai. Tapi... aku kepikiran satu hal."
Aku membalas,
"Apa itu?"
"Aku pengen ke masjid," tulisnya.
"Aku sering lihat di foto-foto. Tenang, damai, dan aku penasaran rasanya berada di tempat seperti itu. Tapi aku nggak tahu… aku harus pakai baju seperti apa ya? Apa ada aturan?"
Aku tersenyum lebar membaca pesan itu. Bahkan setelah perjalanan panjang, rasa ingin tahunya tidak pernah padam.
"Yang penting kamu berpakaian sopan, Maarten. Pakai baju yang nutupin lengan dan celana panjang ya. Nanti aku bantu cariin masjid yang dekat dari hotelmu."
"Oke baik," balasnya cepat.
"Kalau kamu mau ikut, aku akan senang sekali."
"Aku siap buat antar kamu, Maarten. Dengan senang hati."
"Kamu serius? Wah, aku seneng banget!
Tapi jangan membuatmu repot ya, Kelly… aku nggak mau ngerepotin kamu lagi"
"Gak sama sekali! Lagian, aku juga pengen ketemu kamu lagi.
Tadi sore Jakarta lumayan adem. Mungkin malam ini juga enak buat jalan sebentar"
"Tuhan, kamu manis banget.
Aku baru turun dari pesawat tapi hatiku udah berasa pulang duluan"
"Kalau gitu, siap-siap ya. Nanti kabarin aku pas kamu udah sampai hotel.
Aku bisa jemput, atau kita ketemu di tempat yang kamu pilih"
"Oke! Aku langsung pesan Grab sekarang. Sampai ketemu sebentar lagi, Kelly.
And thank you… for making me feel home, even in a place that’s not mine"
Aku meletakkan ponsel di meja, menatapnya sejenak sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, semuanya terasa begitu ringan. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang menahan langkahku. Hanya ada satu pesan sederhana yang mampu menggetarkan hati: "Aku mau waktu yang sederhana... sama kamu." Dan dari semua hal yang pernah aku dengar, mungkin itu yang paling tulus. Aku menyandarkan punggung ke dinding kamar, menatap langit sore yang mulai meredup, lalu menarik napas pelan, seolah memberi ruang pada hati yang mulai berani berharap lagi.