Jiro Adrian pernah mencintai wanita begitu dalam namun di hianati, beberapa tahun kemudian setelah bertunangan dengan wanita lain tiba-tiba masa lalunya hadir dan kembali mengacak-acak hatinya.
Pria itu menyayangi tunangannya tapi juga tak bisa melepaskan wanita masa lalunya karena ingin membalas rasa sakit hatinya dahulu.
Lalu siapa yang akan ia pilih, tunangannya yang telah membantunya kembali bangkit atau justru masa lalunya yang banyak menyimpan rahasia yang tak pernah ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qinan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab~16
"Hanna, kamu belum pulang?"
Sore itu Jovan melihat Hanna masih sibuk dengan tumpukan dokumen diatas meja kerjanya, bagaimana tidak sejak pagi wanita itu harus menemani CEO dan kekasihnya pergi berbelanja lalu di lanjutkan makan siang di rumahnya. Setelah kembali ia juga harus mengerjakan pekerjaan nyonya Catherine hingga membuat pekerjaannya sendiri terbengkalai padahal esok hari sudah harus siap karena akan di gunakan untuk meeting.
"Sepertinya saya lembur lagi tuan Jovan," sahutnya menatap pria itu dengan wajah lelahnya di tengah seberkas senyum yang tunjukkan.
"Apa butuh bantuanku?" Jovan nampak menarik kursi lalu duduk di hadapan wanita itu.
"Terima kasih tuan Jovan tapi saya bisa mengatasinya sendiri," tolak Hanna menanggapi lantas kembali menatap layar monitor di hadapannya tersebut.
"Panggil aku Jovan saja Hanna! sepertinya kita seumuran juga," mohon pria itu karena panggilan wanita itu terlalu resmi hingga membuat mereka terlihat seperti memiliki jarak.
Hanna hanya tersenyum menanggapi, bagaimana ia bisa memanggilnya dengan nama saja sedangkan saat ia melihat ibunya ketika di rumah bosnya tadi siang pria itu memang pantas di sebut sebagai tuan muda. Nyonya Lucy memang selalu berpenampilan glamor dan serba mewah.
"Tuan Jovan tidak pulang?" Hanna nampak mengalihkan pembicaraan mereka.
"Tidak, aku akan menemanimu sampai pulang." Pria itu nampak mengambil sebuah dokumen di hadapan Hanna lantas di bantunya memeriksa.
"Saya bisa sendiri," Hanna yang melihatnya pun merasa tak enak hati.
"Tidak apa-apa Hanna, ngomong-ngomong apa kak Jiro sudah pulang?" tanya pria itu di sela memeriksa dokumen di tangannya tersebut.
"Belum," Hanna menatap ruangan bosnya yang sejak kembali dari rumahnya tadi siang nampak tertutup rapat hingga kini.
Kemudian mereka pun kembali bekerja sembari berbincang kecil dan Jovan baru tahu jika wanita itu kuliah di tempat yang sama dengan kakak sepupunya juga Sofie.
"Kamu serius dulu tidak mengenal kak Jiro dan Sofie di kampus?" tanya pria itu penasaran.
"Tidak, saya dulu terlalu fokus belajar untuk mempertahankan beasiswa agar tidak di cabut jadi tak sempat ikut organisasi atau semacamnya." sahut Hanna beralasan, biarlah masa lalu mereka tetap menjadi masa lalu tak perlu di ungkit-ungkit lagi.
Jovan mengangguk kecil. "Pantas kamu pintar sekali Hanna," puji pria itu. Di matanya Hanna sosok wanita sederhana, cerdas dan juga baik hati.
"Itu tidak benar tuan Jovan karena saat ini saya sedang mengalami kesulitan, apa kamu mau membantuku karena komputerku tiba-tiba macet." Hanna nampak serius menatap layar komputernya yang tak bisa ia operasikan.
"Masa sih, coba sini aku lihat!"
Jovan pun segera beranjak dari duduknya lantas berlalu kearah kursi Hanna untuk membantu memperbaiki komputernya.
"Sepertinya dia butuh istirahat seperti kamu Hanna," seloroh pria itu setelah mengeceknya dan tentu saja itu membuat Hanna langsung terkekeh mendengarnya. Ia bersyukur bertemu dengan pria sebaik pria itu karena sedikit banyak bisa membuat harinya tak membosankan.
"Ehm,"
Tiba-tiba seseorang berdehem ketika baru membuka pintunya dari dalam. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Jiro menatap Jovan yang sedang bersama sekretarisnya, entah apa yang keduanya lakukan karena terlihat begitu dekat.
"Hai kak, aku sedang membantu Hanna memperbaiki komputernya. Apa kakak mau pulang?" Jovan menatap kakak sepupunya itu.
"Pulanglah, sepertinya mama Lucy sedang membutuhkan mu!" perintah Jiro kemudian.
"Apa dia menghubungimu?" Jovan nampak penasaran karena ibunya tak ada menghubunginya.
"Hm,"
Jiro hanya berdehem kecil menanggapinya dan itu membuat Jovan nampak serba salah saat ini antara menemani Hanna lembur atau pulang bertemu ibunya.
"Hanna, aku minta maaf ya sepertinya tak bisa menemanimu karena aku harus mengantar ibuku." ucapnya penuh penyesalan menatap wanita itu, pria itu memang tak pernah bisa menolak permintaan ibunya mengingat selama ini ibunya berjuang sendiri membesarkannya.
Hanna mengangguk kecil sembari tersenyum menatapnya. "Jangan khawatirkan hal itu aku baik-baik saja kok," ucapnya tak mempermasalahkannya.
"Terima kasih Hanna, baiklah aku pergi dulu." Jovan pun segera pergi dari sana meninggalkan mereka berdua.
Setelah Jovan pergi Hanna kembali duduk di kursinya, beruntung komputernya kembali baik setelah di perbaiki oleh Jovan hingga membuatnya bisa melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Pulanglah!"
Perintah Jiro tiba-tiba hingga membuat Hanna kembali menatap pria yang masih berdiri di depan pintu ruangannya tersebut.
"Tuan duluan saja, saya masih banyak kerjaan." sahutnya seraya melirik tumpukan dokumen di atas mejanya.
"Aku tidak suka di bantah,"
Jiro menatap tajam wanita itu lantas berlalu pergi melewati mejanya begitu saja dan itu membuat Hanna nampak menggeleng kesal. Akhirnya mau tak mau kini wanita itu pun segera bersiap-siap untuk pulang dan tak lupa membawa dokumen penting untuk ia selesaikan di rumah karena esok pagi harus siap saat meeting.
Resiko memiiki bos killer ia harus bisa membaca situasi tanpa perlu banyak tanya, beruntung ia sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan namun suatu saat jika kesabarannya sudah hilang mungkin pergi adalah jalan satu-satunya namun saat ini ia masih membutuhkan banyak uang untuk hidupnya maupun sang ayah.
Sesampainya di lantai bawah rupanya hari telah petang, kantor pun mulai sepi dan wanita itu segera berlalu pergi menuju stasiun yang berada sekitar 500 meter dari kantornya.
Saat sedang melangkahkan kakinya menyusuri jalanan tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tak jauh darinya lantas di bukanya kaca jendelanya, rupanya bosnya. sepertinya pria itu memakai mobil sport baru yang hanya memiliki dua kursi karena ia hampir saja tak mengenalinya.
"Naiklah!" perintah pria itu kemudian.
"Maaf tuan tapi saya naik kereta saja," tolak Hanna, kemudian kembali melangkahkan kakinya pergi.
"Sudah ku bilang saya tidak suka di bantah," teriak pria itu menatap tajam sekretarisnya tersebut namun Hanna tetap melangkah pergi. Selain karena trauma pergi berdua dengan pria itu ia juga sebisa mungkin ingin menghindari mereka agar tidak berduaan.
Tiba-tiba sebuah klakson panjang terdengar hingga membuatnya maupun para pengemudi lain langsung menoleh ke sumber suara, rupanya bosnya pelakunya. Karena tak ingin menimbulkan keributan lebih jauh dan berakhir di kantor polisi Hanna terpaksa kembali melangkah mendekat lalu naik ke dalam mobil pria itu.
"Sudah ku bilang aku jalan kaki saja," ucapnya menatap kesal bosnya itu namun Jiro langsung mengemudikan mobilnya tanpa sepatah kata pun.
Hanna yang di abaikan nampak kesal. "Tolong berhenti di stasiun depan!" ucapnya seraya melihat kearah kereta yang sebentar lagi akan berangkat tapi bukannya berhenti pria itu justru melajukan mobilnya melewati stasiun tersebut tanpa perasaan.
Hanna hanya bisa membuang napasnya, lalu memalingkan wajahnya ke jendela sampingnya dan enggan berbicara lagi karena hanya di anggap angin lalu oleh pria itu.