Ini adalah perjalanan cinta kedua putri kembar Ezar dan Zara.
Arsila Marwah Ezara, si tomboy itu akhirnya berhasil bekerja di sebuah perusahan raksasa yang bermarkas di London, Inggris, HG Corp.
Hari pertama nya bekerja adalah hari tersial sepanjang sejarah hidupnya, namun hari yang menurutnya sial itu, ternyata hari di mana Allah mempertemukan nya dengan takdir cintanya.
Aluna Safa Ezara , si gadis kalem nan menawan akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah kedokteran dan sekarang mengabdikan diri untuk masyarakat seperti kedua orang tuanya dan keluarga besar Brawijaya yang memang 90% berprofesi sebagai seorang dokter.
Bagaimana kisah Safa sampai akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya?
Karya kali ini masih berputar di kehidupan kedokteran, walau tidak banyak, karena pada dasarnya, keluarga Brawijaya memang bergelut dengan profesi mulia itu.
Untuk reader yang mulai bosan dengan dunia medis, boleh di skip.🥰🥰
love you all
farala
💗💗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12 : Hari pertama menjadi sekertaris
Barra tidak mengalihkan pandangannya ketika Marwah melangkah masuk dan semakin dekat dengannya.
" Hai , kita bertemu lagi. Bagaimana dengan tawaran ku beberapa bulan lalu, nona Marwah?"
Marwah menelan ludahnya kasar.
" Saya pikir Pak Barra memanggil saya bukan untuk itu, melainkan masalah mobil bapak."
" Apa kau bisa menggantinya?"
" Berapa yang bapak minta?"
" Kau punya berapa?"
" Seratus juta, apa itu cukup?"
Barra berdiri dan mendekati Marwah yang perlahan mundur teratur.
" Kau bercanda, kan? Kau tau harga mobil ku berapa?"
Marwah bungkam.
" Satu Milyar, cukup kan?"
" APA?" Tanpa sadar, Marwah berteriak.
Di dekat pintu, Liam pun ikut menggelengkan kepalanya. Tuannya itu benar benar mengangkat bendera perang untuk nona Marwah. Padahal seratus juta , itu sudah cukup bahkan lebih untuk goresan kecil tak berarti itu.
" Bukankah itu terlalu berlebihan untuk goresan kecil di mobil anda, pak?"
" Berlebihan kau bilang !!"
Marwah rasa rasanya mau menangis. Dugaan Safa ternyata benar. Dan tidak mungkin baginya untuk bisa membayar dengan keterbatasan dana yang dia miliki.
" Lalu apa yang akan pak Barra lakukan jika saya tidak membayarnya?" Marwah pasrah.
" Kau bisa mencicil nya dengan menjadi sekertaris pribadi ku. Jadi setiap bulan aku akan memotong gajimu. Bagaimana?"
Marwah menghela nafas kasar, nampaknya dia memang sudah di takdirkan untuk selalu melihat wajah menjengkelkan itu setiap hari.
" Baiklah..."
Dalam hati Barra ingin sekali meloncat kegirangan, siasatnya berhasil dan dia tidak perlu susah payah lagi melakukan sayembara untuk merekrut sekertaris yang selama ini tidak ada satupun yang masuk ke dalam kriteria nya.
" Kau boleh pulang, besok jam lima pagi, kau sudah harus ada di mansion ku."
Marwah melongo, begitupun Liam yang sejak tadi hanya terdiam menyaksikan tuannya membantai nona Marwah sampai membuatnya benar benar tidak bisa berkutik.
Lalu, sekarang apalagi? Meminta nona Marwah datang ke rumahnya sepagi itu?
" Sepertinya bos ku sudah mulai gila. Dia ini sedang balas dendam, atau jatuh cinta? Aku jadi sulit membedakannya.." Liam menggumam dalam hati.
" Kenapa saya harus datang ke rumah bapak sepagi itu?"
" Itu adalah tugas seorang sekertaris pribadi."
" Tapi, kan, pak Liam ada. Kenapa harus saya?" Marwah masih melanjutkan protesnya.
" Liam tidak bisa, dia ada pekerjaan pagi pagi buta." Katanya menatap Liam.
Dasar si Liam yang polos, dia justru menggeleng.
" Tidak pak, saya tidak ada..."
" Mulai besok ada. Kau paham?" Barra memainkan matanya agar Liam paham apa maksud dari kodenya itu.
" Baik pak. Benar sekali nona Marwah, saya tidak sempat membangunkan tuan Barra karena saya ada kegiatan." Begitulah kira kira jawaban yang dinginkan Barra dari mulut Liam.
Barra tersenyum sumringah.
Tinggallah Marwah yang kebingungan. Bagaimana mungkin dia memasuki rumah seorang pria yang bukan mahramnya? Tidak...kalau sampai umi Zara tau, dia bisa di gantung dan di kuliti hidup hidup. Sebenarnya dia ada jalan keluar untuk masalah ini, yaitu meminta uang pada Abi dan uminya, namun ada konsekuensi yang harus dia terima dari itu semua.
" Baik, pak."
*
*
Keesokan harinya.
Marwah keluar dari mobil dan menatap sebuah mansion mewah bergaya British nan elegan sembari mencocokkan alamat yang di berikan Barra kemarin .
Jam masih menunjuk di angka empat lebih empat puluh lima menit.
Marwah bersandar di pintu kendaraannya sebelum akhirnya seorang security paruh baya menghampiri.
" Permisi."
Marwah memperbaiki posisi berdiri nya.
" Iya pak."
Security itu memperhatikan Marwah bergantian dengan sebuah foto di tangan kanannya.
Pencahayaan yang relatif minim membuat bapak security itu sulit menyamakan antara gambar dan orangnya langsung.
" Maaf karena mata bapak kurang awas. Apa benar anda nona Marwah?"
Marwah mengangguk." Iya pak."
" Alhamdulillah. Silahkan masuk nona."
Setengah berlari, bapak security membuka pintu pagar besar itu dan mempersilahkan Marwah masuk.
" Terima kasih , pak."
Di depan pintu utama, seorang pelayan menyambut kedatangan Marwah.
" Silahkan masuk, nona."
" Terima kasih."
Mansion ini sangat mewah, namun untuk Marwah, baginya sudah biasa dengan hal itu. Rumah Brawijaya, tempat tinggal Abi grandfa dan umi grandma jauh lebih besar dari ini.
Marwah sudah berada di ruang tamu dan seorang pelayan wanita kembali menghampiri nya.
" Kamar tuan Barra di lantai dua, nona. "
" Baiklah, tapi boleh kah saya bertanya? "
" Silahkan."
" Apa rumah ini ada mushola?"
Wajar jika Marwah bertanya, rumah sebesar ini rasanya mustahil jika tidak memiliki tempat ibadah khusus keluarga, apalagi yang dia tau, pemilik mansion ini adalah seorang muslim.
" Ada , nona. Mari saya antar."
Marwah tersenyum manis sembari mengikuti pelayan tadi.
Selesai shalat, Marwah ke kamar Barra.
Tanpa di tunjukkan, Marwah sudah tau jika kamar berpintu besar di lantai dua itu adalah kamar pangeran kodok yang membuatnya jengah.
Tok..tok..tok...
Tidak ada jawaban.
Berulang kali dia mengetuk pintu kamar Barra, tapi pria itu tak kunjung keluar.
Marwah mulai emosi. Intensitas ketukan di tambah dengan lebih kuatnya ia menggedor pintu ternyata berakhir sia sia.
" Dia pingsan atau mati, sih?" Kesalnya.
Marwah meraih ponsel dan menelpon Barra. Pilihan ini sedikit lebih baik dari sebelumnya karena sekali panggilan, Barra langsung mengangkatnya.
" Mmmm.."
" Saya sudah datang , pak."
Barra mengusap matanya. Nyawanya masih melayang di udara jadi dia tidak sadar jika yang menelponnya itu adalah Marwah.
" Ini siapa?"
Di depan pintu, Marwah menghela nafas kasar.
" Saya ARSILA MARWAH , SEKERTARIS PRIBADI BAPAK." Ujarnya penuh penekanan.
" Ooo, kenapa kau menelpon? Masuk, pintunya tidak di kunci."
" Maaf pak, saya tidak pernah masuk ke kamar pria, lagian, bapak juga sudah bangun. Saya tunggu bapak di bawah untuk sarapan. Assalamualaikum."
Panggilan berakhir.
Marwah berjalan ke lantai bawah, menyiapkan sarapan untuk bos arogannya itu.
Sementara Barra, dia duduk bersandar di sandaran tempat tidur, menatap ponselnya yang semakin lama semakin menggelap.
" Tunggu, dia yang kurang ajar, atau aku yang terlalu baik?" Gumamnya berpikir keras.
Di dapur, Marwah mulai menyiapkan sarapan di temani pelayan yang memang khusus bertugas untuk masalah lambung sang tuan bos.
Dua jam kemudian.
Tok... tok... tok..
Barra mengetuk kaca pintu mobil Marwah.
Marwah membuka mata, ternyata sejak dia selesai menyiapkan makanan untuk Barra , dia memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya di dalam mobil.
" Apa yang kau lakukan di sini?"
" Tidur, bapak tidak liat?"
Masih pagi pagi , Barra sudah mulai emosi menghadapi Marwah.
" Ayo kita berangkat."
" Iya pak."
Marwah menyalakan mesin kendaraan. Namun Barra datang dan mematikannya.
Barra menatap Marwah yang memegang seat belt nya dengan keras. Karena sebagian tubuh pria itu masuk ke dalam mobil , tentu jarak di antara keduanya jadi semakin menipis.
Wangi parfum maskulin seketika menguar memanjakan indra penciuman Marwah. Bahkan hembusan nafas Barra, bisa di rasakan Marwah.
Di saat bersamaan, netra mereka bertemu, dan membuat jantung Marwah berdebar.
" Apa aku menyuruhmu untuk naik mobilmu sendiri? Turun!!" Perintahnya.
Barra sudah berjalan jauh di depan, sementara Marwah masih berusaha mengatur detak jantungnya.
Klakson mobil di depan mobil Marwah berbunyi keras.
Marwah tersadar dan segera turun dari mobil dan turut dalam kendaraan mewah di depannya.
Marwah membuka pintu depan.
" Selamat pagi, nona Marwah.." Sapa Liam yang duduk di belakang kemudi.
" Pagi juga , Liam."
" Bagaimana awal hari anda, nona?"
" Lumayan." Singkat Marwah.
Marwah duduk di samping Liam. Sementara Barra di belakangnya duduk tenang tanpa suara.
" Apa agendaku hari ini?"
Marwah dengan teliti dan dengan bahasa yang pelan memberitahukan apa apa saja kegiatan Barra dari pagi hingga petang.
" Ok, agenda kedua kita undur setelah makan siang."
" Baik, pak."
Hening.
Atmosfer berubah yang tadinya lebih hangat berubah menjadi dingin.
Marwah memecah kesunyian.
" Pak Barra."
" Mmm.."
" Boleh saya bertanya?"
" Apa.."
" Berapa lama saya harus menjadi sekertaris anda?"
...****************...
aahh Thor critamu bikin ku Ter love2..
ku tunggu critanya Marwah Thor dh Ter bara2 n Ter marwah2 aq in thor/Drool//Kiss/
d tunggu kelanjutan nya akan ada kejutan kan KA
lanjut thor.....gak papa arhan kelihatan baik tapi bejat.... tadinya dukung arhan skrg pindah dukung arga..
bisa langsung menyusul puzzle 😃👍🏻👍🏻
udah tau respon tubuhnya parah gitu kog pacaran bahkan sampai tunangan sama si pecicilan,
apa yg di harapkan klo sampai menikah?,kesentuh saja gatal2 dan muntah
apa bisa kelonan?
eh! 🤣🤣🤣🤣✌🏻🏃🏻🏃🏻🏃🏻
pasti nanti akan ada hubungannya 🤭
yg di sini para tetua sudah ada kesepakatan
yg di sana lagi proses "ta'aruffan" (tarik urat kesabaran)
😂
klo berani ngomong doonngggg
berani tidaaak????😂
ini niru siapa sieee Ara iniiii👍🏻💪🏻