Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12 - Hampir saja!!
Lanjut...
Azura duduk dengan hati yang sedikit lega. Ia merasa ada harapan, harapan bahwa mungkin, meski perlahan, Rangga akan mulai menerimanya.
Bukan berarti Azura sudah menerima pernikahan paksa itu, tapi hati kecilnya berkata, jika Rangga memerlukan sosok teman dalam hidupnya yang hampa dan kosong.
Ia menatap sosok laki-laki itu yang masih memegang kuas, lalu memberanikan diri membuka percakapan lagi
“Rangga… tadi lukisanmu bagus sekali,” ucap Azura, dengan senyum yang mengembang.
Namun, belum sempat kalimat kedua terucap dari bibir Azura, suara dentingan tajam membuat tubuhnya tersentak.
BRAK!
Dengan tiba-tiba, Rangga melempar nampan berisi jus dan camilan yang tadi ia bawa.
Gelas-gelas pun pecah berserakan, cairan juga mengalir ke lantai seperti darah yang mewarnai kedamaian semu di ruangan itu.
“Argh!,” Azura menjerit karena kaget dan refleks menunduk.
Namun, belum juga hilang rasa keterkejutannya, dengan gerakan cepat dan mata yang berubah liar, Rangga berdiri dan langsung menghampirinya.
Azura merasa terancam tapi ia tak sempat mundur. Lalu, tangan kasar Rangga mencengkeram lengannya, dan dalam satu hentakan, tubuh Azura terdorong keras ke dinding.
“Argh! R-Rangga…!,” desis Azura.
Nafasnya tercekat saat tangan dingin dan kuat Rangga mencekik lehernya. Matanya melebar. Nafasnya mulai sesak. Jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang.
Tangan Azura mencoba melepas cekikan itu, tapi tidak berdaya. Sambil menahan sakit, ia menatap sorot mata Rangga yang kosong tapi sekaligus mengerikan.
Ia melihat Rangga seperti berada di dunia lain. Bukan di sini, bukan bersama dirinya.
“A-aku… tidak… berniat… menyakiti…” lirih Azura dengan suara yang hampir tak terdengar.
Saat keadaan semakin bahaya karena Azura hampir kehabisan napas, tiba-tiba suara langkah cepat terdengar dari luar ruangan menuju ke arah mereka.
“TUAN MUDA!!”
Beberapa orang penjaga dan dua asisten masuk dengan tergesa-gesa. Lalu, salah satu dari mereka langsung menarik tubuh Rangga sehingga menjauh dari Azura, sementara dua lainnya menahan tubuh Azura yang hampir roboh.
“Pegang dia! Tahan! Tuan Rangga, ini kami! Tenang!,” seru salah satu dari mereka.
Namun, Rangga terus meronta seolah ingin menggapai Azura, lalu ia menggeram pelan seperti binatang yang terluka, sebelum akhirnya tubuhnya melemah dan matanya kehilangan fokus.
Ia pun jatuh terduduk lalu memeluk lututnya sendiri di sudut ruangan sambil bergumam tak jelas.
Sementara itu, Azura terduduk lemas di lantai sambil memegangi lehernya yang memerah dan terasa nyeri. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menangis.
Matanya hanya menatap Rangga dengan pandangan yang kosong dan sedih.
“Maafkan kami, Nona,” ucap salah satu penjaga dengan khawatir. “Tuan muda… kalau sedang seperti ini, kadang tidak bisa membedakan mana kawan, mana musuh," lanjutnya.
Azura hanya diam dan bingung harus merespon bagaimana karena menahan rasa perih di leher dan hatinya yang remuk.
“Panggilkan dokter. Cepat!,” seru seorang asisten lainnya sambil menuntun Azura berdiri.
Saat mereka membawanya keluar, Azura menoleh sekali lagi ke arah Rangga. Pria itu kini duduk diam dengan menggenggam kuas patah di tangannya dan menatap lukisannya yang rusak dengan pandangan yang hampa.
Dalam hati Azura bergumam,
"Kenapa hatimu begitu luka, Rangga? Luka apa yang membuatmu sekeras ini?."
**
Azura kini terduduk di tepi ranjang, ditemani seorang pelayan yang setia mengelap luka memar samar di lehernya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya dengan jas putih masuk ke kamar dengan langkah cepat. Sementara di belakangnya, dua asisten medis membawa tas berisi perlengkapan.
“Selamat sore, Nona,” sapanya ramah. “Saya Dokter Bram, penanggung jawab medis khusus untuk keluarga Pak Adrian. Izinkan saya memeriksa Anda.”
Azura pun hanya mengangguk karena suaranya belum cukup kuat untuk membalas perkataan dokter, tapi sorot matanya menunjukkan persetujuan.
Dengan lembut sang dokter menyentuh leher Azura, menekan dengan perlahan dan mengecek tanda-tanda lebam yang terlihat.
“Tidak ada luka dalam, hanya memar ringan. Tapi saya akan beri salep dan obat antinyeri untuk berjaga-jaga," kata dokter.
“Terima kasih, Dok,” ucap Azura yang masih terpaku dalam pikirannya sendiri karena membayangkan kejadian beberapa saat yang lalu.
Dokter Bram lalu duduk di kursi di samping ranjang sambil memperhatikan Azura yang menatap kosong ke arah jendela.
“Kalau boleh saya bertanya, Nona…” katanya hati-hati. “Apakah Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang kondisi Tuan Rangga?.”
Azura menoleh dan menjawab, “Saya ingin tahu… tapi tidak tahu harus mulai dari mana.”
Dokter Bram pun tersenyum simpati, lalu mulai menjelaskan keadaan Rangga yang sudah lama ia ketahui sejak menjadi dokter khusus keluarga Adrian.
“Rangga mengalami trauma berat di masa kecilnya. Luka itu sangat dalam, dan belum sepenuhnya sembuh hingga hari ini. Ia bisa menjadi sangat tenang… tapi juga bisa sangat agresif saat pikirannya kembali ke masa lalu yang kelam.”
“Masa lalu yang kelam? Apa yang sebenarnya terjadi?,” tanya Azura.
Sang dokter tidak langsung menjawab seolah menimbang-nimbang, lalu menjawab dengan lirih, “Maaf, saya tidak bisa memberi semua detailnya sekarang. Tapi yang bisa saya katakan… Tuan Rangga pernah menyaksikan sendiri hal-hal mengerikan yang melibatkan keluarganya. Sejak saat itu, ia kehilangan sebagian kendali emosinya. Kadang ia merasa semua orang adalah ancaman.”
Azura mengatupkan bibirnya, dan merasa jika saat ini napasnya terasa berat. “Lalu... kenapa ia tidak diobati di rumah sakit khusus?,” tanyanya lagi.
“Karena... ia pernah kabur dari tempat seperti itu,” jawab dokter. “Ia menjadi lebih kacau di sana. Satu-satunya tempat yang bisa menenangkannya, justru adalah rumah ini… bersama orang-orang yang sudah terbiasa menghadapinya. Tapi sejak kepergian ibunya, orang terakhir yang bisa menjangkaunya keadaannya makin tidak stabil.”
Azura kembali menatap jendela, hatinya tersayat mendengar semua itu. Ternyata, Rangga juga kehilangan sosok ibu yang menyayanginya.
“Dan sekarang… saya harap Anda bisa menjadi sosok yang baru, yang bisa menjangkau hatinya lagi,” lanjut Dokter Bram. “Tentu tidak mudah, tapi semoga kehadiran Anda membawa hal positif untuknya."
“Saya tidak tahu apakah saya mampu. Tapi kalau ini takdir saya… saya akan mencoba, Dok," balas Azura.
Tak lama kemudian, dokter dan timnya pun berpamitan. Sedangkan Azura, ia menatap keluar jendela kembali, ke arah taman belakang tempat yang pernah ia lihat Rangga berada di sana.
"Jawaban yang sama, dari dua dokter yang berbeda. Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, Rangga… Tapi aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku ingin tahu siapa dirimu di balik luka-luka itu."
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong