NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:410
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 JEJAK LUKA DAN KEBENARAN

Langkah Lyra menggema di lorong batu Benteng Noctvar, disusul napas berat Kaelen dan langkah hati-hati Arven di belakangnya. Mereka meninggalkan pria bertopeng yang entah kenapa tiba-tiba menghilang begitu saja setelah mengucap kalimat penuh misteri tentang "takdir" dan “kebangkitan.”

Dan ya, tentu saja—buku itu masih ada. Tapi mereka sepakat buat ninggalin dulu. Soalnya… kalau ruangannya tiba-tiba bisa munculin pria bertopeng tanpa suara, siapa tahu benda itu juga bisa meledak kalau disentuh. Nggak lucu kan kalau mati konyol karena salah buka buku?

"Aku masih merinding, sumpah," gumam Kaelen sambil menyalakan bola cahaya kecil di telapak tangannya buat nerangin jalan. "Lo yakin dia nggak ngikutin kita?"

"Kalau dia mau ngikutin, dia udah munculin diri sejak tadi," jawab Arven pelan. Tapi nada suaranya lebih ke buat nenangin diri sendiri.

Lyra diam. Pandangannya terus terpaku pada lantai berdebu, tapi pikirannya berkecamuk kayak badai. Nama ibunya, Serena, tertulis di buku itu. Bukan sekadar disebut—namanya diukir seperti seseorang yang penting. Tapi kenapa? Apa hubungan ibunya dengan tempat gelap dan menyeramkan ini?

“Lyra?” Arven memanggil pelan.

“Ya?”

“Kamu kelihatan kayak mau muntah.”

Lyra menoleh dengan ekspresi setengah kesal, setengah jujur. “Gue emang mau muntah. Tapi bukan karena takut. Gue cuma... muak. Kenapa semuanya selalu ditutupin dari gue?”

Kaelen melirik. “Lu yakin nggak ada semacam... kutukan keluarga? Kayak lu cucu penyihir legendaris yang dulunya ngehajar Raja Kelam trus sekarang ditakdirin buat ngulangin semua dari awal?”

“…Gue harap itu cuma fanfic,” jawab Lyra lirih.

Mereka terus berjalan sampai lorong berubah jadi aula lebar yang terbuka di bagian atas. Cahaya langit sore masuk lewat retakan besar di dinding dan atap yang runtuh sebagian, menyorot ke tumpukan puing yang tampaknya dulunya adalah altar lain.

Tapi kali ini, di tengah altar, ada sesuatu yang berbeda.

Sebuah lukisan raksasa terpampang di dinding yang masih berdiri tegak. Gambar itu sudah pudar, tapi masih jelas menampilkan sosok wanita berjubah putih—bermata emas—dengan lambang bulan sabit di dahinya.

Lyra terdiam.

“Serena Caellum,” bisik Arven sebelum Lyra sempat bertanya.

“Jadi itu… ibu gue?” tanyanya pelan, seperti takut suaranya bakal ngebangunin arwah yang tertidur di balik lukisan.

Arven mengangguk. “Bukan cuma ibumu. Dia adalah—”

Dia terhenti.

“Adalah?” desak Kaelen.

Arven menatap Lyra. “Serena adalah salah satu dari Penjaga Cahaya terakhir. Mereka dulu yang bertarung melawan Raja Kelam sebelum dia disegel.”

“Jadi… dia bukan orang biasa?” suara Lyra nyaris serak. “Dan dia nyembunyiin itu semua dari gue?”

Arven menunduk. “Mungkin dia cuma mau kamu hidup normal. Tapi kalau darahmu berasal dari Serena… berarti kekuatanmu—”

“Tunggu.” Lyra mengangkat tangan. “Gue... punya kekuatan?”

Kaelen melongo. “Baru sadar sekarang?”

“Eh sorry banget, hidup gue selama ini cuma berisi PR, kerjaan rumah, dan ngumpet dari penjaga desa karena dikira maling sapi,” tukas Lyra.

Arven melangkah pelan ke depan lukisan. “Lambang di dahimu waktu kamu marah di desa, itu lambang bulan sabit. Sama persis kayak di lukisan ini.”

Lyra refleks menyentuh dahinya, tapi yang dirasakannya cuma kulit. Tapi ia tahu, itu muncul waktu kekuatannya meledak.

Kaelen melangkah ke sisi lukisan, lalu menunjuk ke sudut kanvas yang hampir sobek. “Lihat ini. Ada tanda tangan. ‘S. Caellum, Tahun 719’.”

Lyra menelan ludah. Itu jelas inisial ibunya.

“Dia pernah ke sini. Mungkin lebih dari itu. Mungkin dia tinggal di sini,” gumamnya.

Mereka bertiga berdiri dalam hening selama beberapa menit. Hanya suara angin sore yang masuk dari celah atap dan rintik debu beterbangan di udara yang jadi saksi keheningan itu.

Hingga akhirnya Kaelen berkata pelan, “Lyra… kalo lo mau nyari tahu semuanya, lo harus siap. Siap buat denger hal-hal yang mungkin nggak lo suka.”

Lyra memejamkan mata. “Gue udah capek denger kebohongan. Jadi kali ini… apapun itu, gue siap.”

Dan saat itulah, tiba-tiba altar di bawah lukisan itu bersinar.

Sebuah pintu bayangan muncul di lantai. Bukan pintu biasa—lebih seperti pusaran hitam pekat dengan tepian berkilauan ungu. Ia berdenyut pelan, seperti napas yang menunggu disentuh.

Lyra, Kaelen, dan Arven saling pandang.

“Well,” ujar Kaelen, “paling parah kita mati atau kesedot ke dimensi lain, ya nggak?”

“Jangan ngomong gitu sambil nyengir,” protes Lyra.

Arven hanya mengangguk. “Ini bagian dari takdirmu, Lyra. Siap atau nggak… waktunya udah datang.”

Dan bersama-sama, mereka melangkah masuk ke pusaran itu.

Begitu mereka melewati pusaran itu, dunia seakan... bergeser.

Lyra merasakan tubuhnya tertarik dan diremukkan sekaligus. Seolah gravitasi dan waktu berebutan pengaruh atasnya. Lalu—dengan satu dentuman sunyi—kakinya menyentuh lantai.

Tapi bukan lantai batu seperti di benteng tadi. Ini… marmer putih, dingin dan mulus. Dan tempat ini? Gila. Tempat ini kayak perpustakaan, kuil, dan galeri seni disatukan dalam satu bangunan super mewah dan mistis.

"Apa ini... Ikea versi dewa?" gumam Kaelen, matanya membelalak.

Arven tampak lebih serius. “Tempat ini… seharusnya udah hancur sejak Perang Kedua.”

"Lo ngomong kayak lo baca sejarahnya langsung dari saksi mata," celetuk Lyra, masih melihat sekeliling.

Cahaya lembut mengalir dari langit-langit kristal di atas mereka. Pilar-pilar besar menjulang, dihiasi ukiran lambang kuno dan mantra yang berkilau samar. Tapi yang menarik perhatian Lyra adalah sebuah kaca tinggi di tengah aula utama. Kaca itu tampak seperti cermin raksasa—tapi memantulkan... sesuatu yang berbeda.

Bukan bayangan mereka. Tapi kenangan.

Lyra mendekat perlahan, jantungnya berdetak kencang.

Dan saat ia menatap permukaannya... adegan demi adegan mulai muncul. Seorang wanita muda, berambut cokelat keemasan, mata emas yang lembut, berdiri di taman dengan bayi di gendongannya.

Serena Caellum.

Ibunya.

Lyra menahan napas. Ia tak bergerak, hanya menatap sosok itu seolah takut kenangan itu akan hancur jika disentuh.

"Aku tahu tempat ini," gumam Lyra. "Itu... taman belakang rumahku. Tapi waktu itu belum seperti sekarang. Dulu masih indah. Sebelum semuanya hancur."

Kaelen dan Arven berdiri tak jauh, membiarkannya menyerap apa pun yang sedang disajikan oleh cermin aneh itu.

Dan lalu—kenangan berubah.

Serena tengah berdebat dengan seorang pria. Wajahnya tegas, matanya menyala dengan aura sihir yang begitu kuat. Lyra tak pernah melihatnya sebelumnya, tapi entah kenapa, ia merasa... familiar.

"Siapa itu?" bisik Kaelen.

Arven mengernyit. "Aku... tidak yakin. Tapi dari pakaiannya, dia anggota Dewan Aedhira. Mungkin... ayah Lyra?"

Lyra menoleh cepat. "Gue punya ayah?"

"...Secara teknis semua orang punya," celetuk Kaelen cepat-cepat. Tapi langsung menyesal waktu Lyra menatap tajam.

Mereka kembali melihat cermin.

Percakapan tak terdengar, tapi bahasa tubuh Serena menunjukkan kemarahan, keputusasaan... dan akhirnya keputusan. Ia memegang bayi itu—Lyra kecil—dan memeluknya erat sebelum kenangan itu mengabur perlahan.

Lalu cermin menjadi gelap.

"Dia melindungiku," gumam Lyra. "Dia menyembunyikan aku dari... siapa pun itu."

Arven menunduk. “Mungkin dari Raja Kelam. Atau mungkin… dari Dewan sendiri. Ada kemungkinan keduanya ingin memanfaatkan kamu.”

Sebelum Lyra bisa menjawab, suara lembut namun jelas terdengar dari ujung ruangan.

“Dan itulah kenapa dia membawamu ke dunia manusia, Lyra Caellum.”

Mereka bertiga menoleh serempak.

Seseorang—seorang perempuan—berdiri di sana. Rambutnya putih seperti salju, matanya perak, dan auranya... dingin namun memikat. Ia mengenakan jubah panjang yang berkilau samar seperti sinar bulan.

“Siapa kamu?” tanya Arven pelan, tangannya otomatis bersiap siaga.

Perempuan itu tersenyum tipis. “Aku adalah keeper. Penjaga dari Hall of Memories. Di sinilah semua kenangan Aedhira tersimpan.”

Kaelen berbisik ke Lyra, “Nama gelarnya keren banget ya. Kayak NPC di game fantasy deluxe.”

“Ngomong pelan dikit napa, dia bisa denger tuh,” desis Lyra balik.

Si keeper melangkah pelan, tangannya menyentuh cermin yang kini tenang. “Serena adalah teman lama. Juga salah satu dari sedikit yang mampu melihat masa depan.”

“Masa depan?” tanya Lyra. “Dia bisa melihat… aku bakal ke sini?”

Keeper mengangguk. “Dan dia tahu, suatu hari, kau akan harus memilih. Menjadi kunci bagi kebangkitan Aedhira… atau kehancurannya.”

Diam. Lagi-lagi kata “kehancuran” bikin bulu kuduk Lyra merinding.

“Tunggu dulu,” potong Kaelen. “Itu kayak... ramalan klasik yang nggak fair banget. Kenapa nggak ada pilihan ‘hidup damai dan pensiun di desa pinggir danau’?”

“Karena takdir jarang memberi kita pilihan mudah,” jawab Keeper pelan.

Lyra menatap cermin yang kini kosong, lalu menatap wanita itu. “Apa ada cara... buat tahu lebih banyak tentang ibu gue? Tentang... siapa sebenarnya gue ini?”

Keeper mengangguk dan mengangkat tangannya.

Sebuah pintu cahaya muncul di belakang mereka.

“Langkahkan kakimu ke dalam ‘Ruangan Inti’. Di sana, ingatan Serena… akan bicara langsung padamu.”

Langkah kaki Lyra terasa berat saat mendekati pintu cahaya itu. Rasanya seperti berjalan menuju jantung dari semua rahasia—semua luka yang belum sempat ia pahami sejak malam pertama ia melarikan diri dari rumah. Tapi ia tahu satu hal: dia harus tahu.

Kaelen berjalan di belakangnya, tangan di saku, seolah berusaha terlihat santai padahal sorot matanya waspada. Arven diam, tapi tubuhnya selalu dalam posisi siap siaga. Typical guardian mode.

Ketika Lyra menyentuh batas cahaya, pintu itu... tidak membuka. Ia menyerap. Seolah tubuhnya dipecah menjadi ribuan partikel lalu disusun ulang di tempat lain. Rasanya kayak teleportasi dalam game RPG yang glitchy—agak bikin pusing, tapi ajaib.

Begitu ia muncul di sisi lain, napasnya tertahan.

Ruangan itu bukan ruangan biasa. Langit-langitnya tak terlihat, hanya ada langit malam yang berbintang... di dalam ruangan. Lantai kaca jernih di bawahnya mencerminkan semua cahaya. Di tengah ruangan berdiri sebuah pilar kristal, tinggi dan bersinar lembut.

Di dalamnya—Lyra melihat ibunya.

Bukan sosok hidup. Tapi... semacam proyeksi energi. Serena Caellum berdiri dengan gaun putih mengalir dan senyum sendu di wajahnya. Ia seperti hologram yang hidup, menatap tepat ke arah Lyra.

“Anakku... akhirnya kamu sampai di sini,” suara Serena terdengar jelas, meski bibirnya tak bergerak.

Lyra membeku. “Ini... nyata?”

Suara itu lembut. “Ini adalah kenangan yang aku segel jauh sebelum kamu lahir. Hanya bisa terbuka jika kamu menemukan Hall ini.”

Lyra menelan ludah. "Aku... aku pengen tahu semuanya. Kenapa aku? Kenapa mereka ngejar aku? Siapa ayahku? Dan—kenapa lo ninggalin aku di dunia manusia?!"

Serena tertawa kecil. Hangat, tapi juga mengandung rasa bersalah. “Kamu akan tahu. Tapi dengarkan dulu…”

Pilar itu mulai bersinar terang, dan ruangan di sekeliling mereka berubah. Tiba-tiba Lyra berdiri di sebuah taman—taman yang sama dari kenangan tadi. Hanya saja sekarang, dia berada di dalam adegan.

Serena muda berjalan pelan, sedang mengandung. Ia duduk di bangku taman, menulis sesuatu di buku tua.

“Waktu itu, aku tahu Aedhira akan segera pecah. Raja Kelam sedang bangkit diam-diam. Dewan mulai retak. Dan aku... aku tahu bahwa anakku kelak akan menjadi pusat badai itu.”

Lyra berjalan pelan, mencoba menyentuh sosok ibunya—tapi tangannya hanya menembus ilusi.

“Kau adalah keturunan dari dua darah tua: darahku, dari garis Caellum yang bisa merajut langit dan waktu. Dan darah ayahmu... dari keluarga penakluk malam.”

“Siapa dia?” tanya Lyra tajam.

Serena berhenti menulis. Sosoknya memandang langit, lalu berbisik. “Namanya Auron Draveil.”

Arven yang berdiri di pojok ruangan tiba-tiba tersedak. “...Maaf, siapa?!”

Lyra menoleh. “Kau kenal?”

Arven mengangguk perlahan, wajahnya mendadak kaku. “Dia... dulu anggota Dewan Aedhira. Tapi menghilang. Beberapa bilang dia mati. Yang lain bilang... dia mengkhianati semuanya dan pergi ke sisi Raja Kelam.”

“GILA.”

Itu suara Kaelen. Yang jelas-jelas nggak bisa diam dalam situasi penting.

“Jadi lo... anak dari penyihir waktu dan pangeran kegelapan?”

“Lo bisa nggak ngomong gitu pas kita nggak lagi dikelilingi kenangan keluarga gua?” sergah Lyra.

Serena—atau kenangannya—melanjutkan. “Aku menyelamatkanmu dari keputusan Dewan. Mereka ingin menjadikanmu alat. Raja Kelam ingin menjadikanmu tubuh baru. Dan ayahmu… ingin menghapus siapa dirimu sebenarnya.”

“Jadi… semuanya ngejar gue karena darah gue?” bisik Lyra.

Serena menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Tidak. Mereka mengejarmu karena takdir. Tapi darahmu... itulah yang membuatmu cukup kuat untuk mengubah takdir itu.”

Kilatan cahaya menyapu ruangan.

Semua memudar.

Ruangan Inti kembali hening.

Pilar kristal hancur perlahan, menjadi debu cahaya yang melayang ke langit-langit malam.

Dan suara terakhir Serena terdengar pelan...

“Pilih jalurmu, Lyra. Tapi jangan pernah biarkan siapa pun menentukan akhir ceritamu.”

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!