Rania Zakiyah, gadis berumur 21 tahun yang terpaksa nikah dengan laki-laki yang tidak dikenalnya. Akankah pernikahan mereka berlanjut atau harus berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Star123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Drrrrrttttt.... Drrrrrtttt.. Suara handphone Bella berbunyi, pertanda ada panggilan masuk. Bella yang sedang mengeringkan rambutnya di meja rias berdiri dan mengambil handphone yang berada di nakas samping tempat tidurnya.
"Dena" gumamnya melihat siapa yang menelpon.
"Halo, ada apa?" tanya Bella mengangkat handphone dan kembali ke meja rias. Hari ini adalah hari senin, Bella sedang siap-siap untuk berangkat kerja.
"Halo, Bel. Gue ada berita, semalam Gue ketemu Rafa di Restoran Steak ABA" ujar Dena semangat meski masih terdengar suara serak bangun tidur.
"Lu ketemu Rafa?" Bella yang kembali berjalan ke meja rias jelas langsung berhenti. Bella terpaku mendengar info dari Dena, Rafa ada disini tapi kenapa tidak ada kabar. Begitu yang ada di fikiran Bella.
"Iya"
"Semalam Rafa makan sama saudaranya, cewek saudaranya. Siapa ya namanya?" Dena mencoba mengingat perkenalan singkat mereka.
"Cewek?"
"Iya. Kalau ga salah Rania gitu namanya. Lu kenal? Berhijab dia. Anaknya juga cantik" Akhirnya Dena ingat.
"Rania" Bella mencoba mengingat nama itu tapi seingat Bella yang pernah di ajak ketemu saudaranya, tidak ada saudara Rafa yang bernama Rania apalagi berpakaian tertutup begitu.
"Gue ga kenal. Lu yakin itu saudaranya?"
"Rania sendiri yang bilang kalau dia saudara Rafa. Kalau Lu ga kenal mungkin Rania saudara jauhnya kali. Sudah jangan berfikiran negative, Ok. Gue juga dah bilang kok ke Rafa untuk segera ngabarin Lu" jelas Dena mencoba menenangkan Belal yang sudah terdengar gelisah.
"Mungkin... Makasih ya, Den"
"Sama-sama, Bel"
Panggilan mereka berakhir, Bella menatap handphonenya dan dengan rasa penasaran yang kembali mencuat Bella mencoba menelpon Rafa. Seperti yang sudah-sudah, hasilnya sama nihil.
***
"Sarapan dulu, Bang" kata Rania yang melihat kehadiran Rafa di lantai bawah. Penampilan Rafa yang sekarang sangat berbeda jauh dengan ketika mereka pertama kali bertemu. Rapi, itulah gambaran Rafa saat ini.
Rafa berjalan mendekat ke Rania dan tercium aroma parfum yang menyegarkan indra penciuman. Dengan santainya, Rafa duduk di kursi meja makan. Rania langsung meletakkan sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi. Rania juga sudah menyiapkan makanan yang sama untuk Bi Rani.
"Sarapannya ini dulu ya, Bang. Nanti sepulang kuliah baru Rania belanja" Rania juga duduk dengan posisi berhadapan dengan Rafa.
"Kamu kuliah jam berapa?" tanya Rafa yang sudah menyendok makanannya. Rafa sedikit kaget ketika makanan yang baru saja disuapnya menyentuh lidah.
"Enak" gumam Rafa dalam hati. Ini pertama kalinya, Rafa merasakan makanan yang dimasak Rania sendiri karena biasanya Rania hanya membantu ibunya dengan memotong bahan makanan dan ibunya yang mengelola.
"Jam 8, Bang"
"Pulang?"
"Kemungkinan jam 12 kalau ga ada perubahan, Bang"
"Mau Abang antar?"
"Ga usah, Bang. Rania bawa motor sendiri aja. Kampusnya juga lebih dekat kalau dari sini" tolak Rania yang tidak ingin mengganggu Rafa kerja.
"Oke, kalau ada apa-apa telpon Abang" Meski makan sambil mengobrol dengan Rania, nyatanya piring yang tadinya berisi nasi goreng sekarang sudah bersih. Rafa yang selesai makan lalu meneguk air putih yang berada di sebelah piringnya. Rania yang melihat Rafa sudah menyelesaikan sarapannya langsung berdiri. Rafa memperhatikannya apalagi yang mau dilakukan istrinya. Diatas sana, Bi Rani juga melihat apa yang sedang suami-istri itu lakukan.
"Alhamdulillah, Mas Rafa ketemu jodohnya. Semoga pernikahan mereka sakinah, mawaddah dan warahmah Ya Allah" Bi Rani memanjatkan doa untuk pernikahan Rafa dan Rania.
"Ini kopinya, Bang" Rania menyerahkan segelas kopi di depan Rafa. Hal yang sudah biasa Rania lakukan ketika mereka masih tinggal di rumah orang tua Rania. Aroma kopi yang kuat dengan merek yang berbeda jauh dengan kopi orang tua Rania tercium di hidung Rafa.
Ting, bunyi pesan di handphone Rafa membuat Rafa mengalihkan pandangan. Rania yang masih duduk di depan Rafa, tidak berhenti memuji penampilan Rafa. Ada pesan dari Dustin yang mengatakan jam 9 ada rapat.
"Ok" begitu pesan balasan yang dikirim Rafa untuk Dustin.
"Nanti malam ga usah masak, kita makan di luar lagi sekalian belanja untuk keperluan sehari-hari" kata Rafa sambil memasukkan handphonenya di saku celana.
"Baik, Bang"
"Abang pergi dulu, kamu hati-hati bawa motornya dan terima kasih untuk sarapannya" Rafa mengulurkan tangannya untuk dicium Rania, entah mengapa Rafa jadi menyukainya.
"Iya, Bang. Sama-sama" ucap Rania senyum. Pagi yang indah menurut versi mereka berdua.
***
Pagi-pagi sekali Damion sudah membawa Cynthia ke rumah sakit ternama. Seperti rencananya semula, Damion ingin menggugurkan kandungan Cynthia. Dengan wajah lesu dan kurang tidur, Cynthia hanya bisa mengikuti kemauan Damion.
"Maaf, Pa. Rumah sakit kami melarang untuk melakukan kegiatan aborsi" tolak seorang dokter kandungan berpakaian putih-putih itu. Dokter itu bernama Rubi.
"Tolong lakukan saja, saya akan membayar berapa pun biayanya" Damion memaksa, keringat dingin yang dirasakan Cynthia sejak tadi mulai berkurang ketika mendekar Dokter Rubi berkata sepertyi itu. Masih ada secerca harapan untuk anak yang dikandungnya.
"Aborsi adalah kegiatan menghilangkan nyawa, Pak. Dan itu sudah termasuk dalam tindak kriminal, saya tidak ingin mempertaruhkan nama rumah sakit dan nama saya. Selain itu, bukan hanya janin saja yang beresiko tapi ibunya juga bisa mengalami resiko kesehatan seperti cedera rahim, infeksi dan pendarahan" jelas dokter wanita itu. Damion sepertinya harus menyerah untuk melakukan aborsi di Rumah Sakit ini. Dengan wajah yang merah padam, Damion langsung pergi meninggalkan dokter tersebut tanpa pamit.
"Terima kasih, dok" ucap Cynthia sebelum pergi menyusul suaminya. Dokter tersebut tersenyum.
"Manusia tidak ada bersyukurnya sama sekali" lirih dokter itu sambil menggeleng.
***
"Ran" panggil Winie yang sudah duluan memarkirkan motornya. Winie melambaikan tangannya.
"Hai"
"Tumben ga diantar sepupu Lu? Kemana dianya?" Winie sudah berada disamping Rania. Rania melepas helm yang melindungi kepalanya dan mengaitkan di jok motornya.
"Lagi sibuk" ucap santai Rania. Winie hanya mengangguk-angguk mengerti dan tidak bertanya lagi. Sifat Winie yang tidak terlalu kepo membuat Rania aman. Berbeda dengan Keyla, meski orang kaya tapi jiwa keponya sangatlah besar.
"Keyla sudah datang?" tanya Rania.
"Sudah, barusan aja Gue telponan. Dia nunggu di lobi" Kali ini Rania yang mengangguk.
"Itu keyla... Key" Winie memanggil dan melambaikan tangan ke Keyla. Keyla yang sedang ngobrol dengan seseorang membalas melambaikan tangan.
"Lu dah lihat grup kelas?" tanya Keyla ketika sudah bareng dengan kedua temannya.
"Emang ada apa di grup?" tanya Winie.
"Hari ini kuliah dokter Aida kosong tapi akan ada dokter dari rumah sakit Medika yang ngisi dan Lu tahu siapa dokternya?" Keyla tersenyum bahagia. Dokter Aida adalah dokter spesialis jantung yang akan mengisi jam kuliah kedua.
"Siapa?" tanya Rania dan Winie barengan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
beri dukungan di Novel terbaruku juga ya kak, jangan lupa kritik dan saran untuk membangun penulisanku