Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musisi Dari Neraka
Suara gitar meraung seperti seruan neraka. Lampu-lampu strobo memantul liar di dinding-dinding klub bawah tanah itu—bekas bunker tua yang kini jadi tempat gig komunitas musik ekstrem Sentral Raya. Asap dari mesin fog dan rokok bercampur menjadi kabut tipis yang menyelimuti kerumunan penonton. Di atas panggung, seorang pria dengan rambut panjang kusut berdiri tegak. Jaket kulit sobek. Mata merah menyala seperti bara. Mikrofon masih di tangannya.
Raga Mahardika.
Hellhowl.
“Terima kasih, Sentral Raya…,” suaranya berat, seperti baru bangkit dari kubur. “Jaga telinga kalian. Dunia sebentar lagi bakal bisu.”
Sorak-sorai meledak. Beberapa fans yang mengecat wajah seperti tengkorak mengacungkan tangan. Tapi Raga hanya memberi anggukan kecil, lalu turun panggung, melewati kabel dan amplifier yang bau terbakar. Ia berjalan pelan ke ruang ganti, langkahnya berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena suara itu...
Ia sudah mulai mendengarnya sejak lagu kedua tadi.
Gamelan.
Bukan dari panggung.
Bukan dari sound system.
Tapi dari bawah tanah. Dari sela-sela nada yang ia mainkan sendiri.
Di ruang ganti, ia duduk di kursi reyot, melempar jaket ke gantungan, lalu menatap bayangannya di cermin retak.
Bunyi gamelan masih terdengar. Kini disertai bisikan.
"Raga..."
"Telingamu terbuka, anak malam..."
"Sang Ibu telah bergerak..."
Raga menatap cermin lebih lama. Di balik pantulan dirinya, sesosok siluet berdiri diam. Tinggi, tak berkepala. Rambut panjang melambai seperti terendam air. Tapi ketika ia berbalik—tak ada siapa pun di sana.
Ia menarik napas dalam. Meraih case gitarnya yang dimodifikasi, membukanya—bukan hanya gitar di dalamnya. Di balik lapisan spons, ada kotak baja hitam dengan simbol mantra dibakar ke permukaannya.
Dari dalamnya, ia mengangkat Sonic Injector—senjata suara frekuensi terkutuk. Dirancang sendiri dari pecahan speaker kuno, besi makam, dan amplifier jiwa. Satu tarikan pemicu bisa membuat makhluk halus terjerit dan manusia kehilangan kesadaran.
Suara gamelan makin dekat.
Raga berdiri. Matanya memerah lagi, kali ini bukan karena efek lensa atau lampu panggung—tapi karena resonansi. Dia bisa mendengar kemarahan yang tumbuh di antara dimensi. Gendang yang dipukul dari alam gaib. Seruling yang meniup nama-nama bayi mati.
“Sang Ibu ya…?” gumamnya.
Ia memasukkan senjata ke ransel, menurunkan rambutnya dari ikat kepala dan mengenakan kembali jaket kulit dengan simbol pentagram bolong di punggung.
Lalu ia keluar dari ruang ganti.
Tak seorang pun menyapa. Orang-orang di sekitar klub sudah mulai merasa ganjil. Seorang teknisi sound muntah darah tadi, padahal tidak ada benturan. Seekor anjing liar mendadak menggonggong ke speaker panggung dan mati mendadak.
Langkah Raga pelan, tapi pasti. Ia melintasi gang belakang klub yang bau alkohol basi dan darah kering. Langit di atas hitam kelam, dan udara bergetar halus—frekuensi kematian yang hanya bisa ia dengar.
Ponselnya bergetar. Notifikasi masuk: "Kode Merah dari The Vault. Lokasi target: Desa Gunungjati."
Raga tertawa pendek. Sinis. “Tentu saja desa sialan itu.”
Ia menyalakan motor gede tuanya, suaranya menggeram seperti binatang terluka. Lalu ia melaju menembus malam. Menuju suara gamelan yang makin kencang.
Menuju desa yang katanya, pernah menanam ibu iblis di bawah akar beringin mati.
Dan kali ini, Hellhowl datang bukan untuk bernyanyi. Tapi untuk membungkam dunia yang seharusnya sudah dikubur.
Bersambung....