Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12.
Lagi-lagi, pagi ini Alana harus bangun dalam keadaan kesal. Tidur ternyata tidak mampu menghilangkan amarahnya pada Azzam.
Sudah dua malam Azzam tidak tidur di kontrakan, apalagi yang bisa Alana harapkan dari suami sepertinya.
Setelah bersiap-siap, Alana meninggalkan kontrakan itu dengan wajah lesu. Dia merasa seperti orang bodoh yang tengah dipermainkan oleh suaminya sendiri.
Terlebih hari ini Alana harus kembali berjalan kaki menuju kantor karena tidak memiliki uang sama sekali, betapa malangnya nasib Alana yang merasa seperti tidak memiliki suami.
Meskipun begitu, Alana masih berusaha kuat agar tidak dipecat dari kantor. Dia membutuhkan pekerjaan itu untuk membiayai hidupnya sendiri.
"Al, kenapa jalannya pincang begitu?" tanya Ira saat menangkap kedatangan Alana yang berjalan tanpa keseimbangan.
"Tidak apa-apa, Mbak. Kakiku sedikit sakit, sepertinya keseleo." jawab Alana tersenyum getir lalu dengan cepat menarik kursi dan segera duduk.
Alana menghembuskan nafas kasar sembari meluruskan kakinya, pinggangnya serasa ingin lepas setelah berlarian kurang lebih setengah jam.
"Bos menyuruhmu ke ruangannya." seru Ira menatap Alana kebingungan, ada yang aneh dengan raut wajah gadis itu.
"Baik, Mbak." angguk Alana tanpa banyak bicara. Sebenarnya dia masih ingin duduk melepas penat, tapi perintah bos baginya lebih penting daripada keadaannya.
Dengan nafas terengah, Alana kembali bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju ruangan Azzam.
Tok Tok Tok...
"Siapa?" seru Azzam dari dalam sana.
"Saya Pak, Alana." sahut gadis itu.
"Hmm... Masuklah!"
Azzam dengan cepat memutar kursi yang dia duduki, seperti biasa dia tidak akan menampakkan wujudnya di hadapan istrinya itu.
Alana mendorong pintu perlahan lalu melangkah sedikit pincang menghadap sang bos. "Apa Bapak memanggil saya?" tanya Alana dengan suara bergetar.
"Jam berapa ini?" Azzam balik bertanya dengan nada marah.
"Jam delapan lewat lima belas menit, Pak." jawab Alana sembari menatap jam yang menggantung di dinding. Sepertinya kali ini Alana tidak akan bisa membela diri, dia pasrah meski harus dipecat karena kembali melakukan kesalahan.
"Kau tau apa kesalahanmu?" sergah Azzam meninggikan suara.
"Iya Pak, lagi-lagi saya terlambat." ucap Alana mengakui kesalahan, dia menunduk sembari meremas ujung blazer yang dia kenakan, matanya berbinar menahan cairan yang menggenang.
"Apa kau tau konsekuensi yang harus kau terima?" tukas Azzam menyipitkan mata kala menyaksikan raut wajah istrinya yang sangat menyedihkan.
"Iya Pak, saya tau. Hari ini juga saya akan mengundurkan diri dari perusahaan ini, permisi." Alana menyeka wajahnya dengan cepat lalu berbalik badan dan meninggalkan ruangan terburu-buru.
Alana tidak ingin menangis di tempat itu, dia tidak mau orang-orang melihat kelemahannya.
Sesampainya di luar, Alana dengan cepat kembali ke mejanya, dia membuka laptop lalu membuat surat pengunduran diri.
"Alana, kamu kenapa?" tanya Ira menyadari keanehan yang terjadi pada gadis itu.
Alana tidak menyahut, dia terus saja mengetik ditemani air mata yang tiba-tiba jatuh di pipi.
Setelah mencetak surat pengunduran dirinya, Alana mengusap wajah kasar lalu melipatnya dengan rapi dan berjalan menghampiri meja Ira. "Sebelumnya terima kasih atas bantuan Mbak, aku harus pergi sekarang. Tolong berikan surat ini pada bos!" Alana menaruh surat itu di meja Ira.
"Loh, kenapa harus pergi? Lalu surat ini?" Ira mengerutkan kening kebingungan.
"Itu surat pengunduran diri, aku tidak bisa lagi bekerja di kantor ini."
Setelah mengatakan itu, Alana langsung berlari menuju lift. Dia tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis, dia malu jika staf lain melihatnya seperti ini.
"Alana..." seru Ira yang hendak menyusul, akan tetapi gadis itu sudah keburu menghilang dari pandangannya.
"Ya Tuhan, kamu kenapa sih Al?" Ira merasa khawatir tapi tidak bisa berbuat apa-apa, meninggalkan pekerjaan sama saja dengan menggantung diri, Ira tidak ingin kehilangan pekerjaan.
Lalu Ira mengambil surat tersebut dan membawanya ke ruangan Azzam.
Tok Tok Tok...
Azzam terperanjat kaget, namun dia sangat meyakini kalau itu adalah Alana dan lekas berbalik seperti biasa. "Masuk!"
Setelah mendapat izin, Ira mendorong pintu perlahan dan berjalan menghampiri meja. Ira mengernyit, ternyata yang dikatakan Alana di kantin kemarin memang benar. Bos itu memunggunginya, mungkin dia pikir yang datang adalah Alana.
"Maaf Pak, ini surat pengunduran diri dari Alana."
Deg...
Azzam terkesiap dan memutar kursinya dengan cepat. "Apa maksudmu?" tanya Azzam menatap tajam pada Ira.
"Alana memutuskan keluar dari perusahaan. Sebelum pergi, dia menitipkan surat pengunduran diri ini untuk Bapak." jelas Ira.
"Ya Tuhan," Azzam mengepalkan tangan dan menggebrak meja dengan marah. Hal itu membuat Ira terkejut bukan main.
Tanpa mempedulikan Ira yang masih berdiri di hadapannya, Azzam langsung berhamburan meninggalkan ruangan.
"Aneh, apa yang terjadi dengan mereka berdua?" Ira menggaruk kepala yang tidak gatal lalu meletakkan surat itu di meja dan menyusul ke luar.
...****************...
Di tengah banyaknya kendaraan yang berlalu lalang menyusuri jalanan, Alana terus saja melangkah tanpa tau arah tujuan.
Kali ini dia merasa hidupnya sudah sangat hancur, tidak ada lagi yang tersisa, dia lelah menghadang badai topan yang tak henti menerpa tubuhnya.
Kemana Alana harus mengadu? Dia tidak mungkin kembali ke rumah ayah tirinya, apalagi ke kontrakan suami yang sama sekali tidak menginginkan dirinya.
Meski kakinya tidak kuat lagi menopang bobot tubuhnya, Alana terus saja berjalan hingga langkahnya terhenti di sebuah flyover. Dia termangu sembari menggenggam erat pagar pembatas.
"Salahkah jika aku harus menyerah sampai di sini?" batin Alana menundukkan kepala. Jika dia melompat, semua penderitaan ini pasti akan berakhir sekejap mata.
Dari arah kanan, sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Azzam yang mengendarai mobil itu nampak panik dengan kepala celingak celinguk ke kiri dan ke kanan, dia menyesal telah membuat Alana pergi dari perusahaan.
Ciiiit...
Azzam menginjak rem mendadak saat manik matanya menangkap penampakan seseorang yang tengah berdiri di tepi flyover. Jantungnya hampir saja copot ketika menyadari bahwa itu adalah istrinya.
Setelah mematikan mesin, Azzam turun terburu-buru. Dia harus menyebrangi flyover agar bisa menghentikan istrinya. Sayang jalanan yang padat membuat Azzam kesulitan menyebrang.
"Alana..." sorak Azzam lantang.
Alana yang mendengar itu seketika berbalik badan. Air matanya kembali menetes saat menangkap keberadaan Azzam suaminya.
"Alana, tolong jangan gegabah!" seru Azzam yang masih berusaha menghentikan laju mobil yang berlalu lalang menghadang langkahnya.
Alana mengukir senyum getir dan kembali memunggungi Azzam.
"Alana, jangan bodoh!" sorak Azzam lagi.
Alana hanya tersenyum sembari mencondongkan tubuhnya ke bawah, dia sebenarnya juga takut untuk melompat.
"Alana..." pekik Azzam yang berpikir kalau Alana hendak terjun, dia seketika berhamburan menyebrangi flyover tanpa peduli pada keselamatannya. Sedangkan Alana sendiri langsung berlari menjauhkan diri, dia tidak ingin melihat Azzam lagi.
"Astaga, Tuhan." batin Azzam yang hampir saja sport jantung melihat kelakuan istrinya, dia pikir Alana benar-benar akan melompat.
Lalu Azzam berlari kencang mengejar Alana yang berlari dengan pincang, Alana mulai kehilangan tenaga sebab kakinya yang terluka.
Saat jarak mereka semakin dekat, Azzam meraih tangan Alana kasar dan menarik tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya. "Apa yang kau lakukan, hah? Apa kau sudah gila?" lirih Azzam mendekap Alana sangat erat, detak jantungnya semakin kacau tak karuan.
"Lepaskan aku!" bentak Alana memberontak, akan tetapi tenaganya sudah tidak lagi kuat untuk melawan.
"Jangan bodoh, Alana! Aku tidak akan pernah melepaskanmu." Azzam mengusap pelan punggung Alana dan mencium pucuk kepalanya.
"Kenapa? Aku hanya ingin bercerai, aku tidak mau hidup denganmu. Biarkan aku pergi!" isak Alana sesenggukan.
"Karena aku mencintaimu, aku tidak akan pernah menceraikanmu."
Deg...
Alana terkesiap dengan tubuh membeku di pelukan Azzam.
Cinta?
Mana mungkin Azzam mencintainya, itu sangat tidak mungkin.
"Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Sekarang kita pulang dulu ya, kakimu terluka." bujuk Azzam dan kembali mencium pucuk kepala Alana.
Alana menggeleng lemah tapi Azzam sama sekali tidak peduli. Dia kemudian menggendong Alana dan membawanya ke mobil.
"Aku tidak ingin ikut denganmu." desis Alana saat Azzam membuka pintu mobil.
"Aku suamimu. Apapun yang terjadi, kau harus tetap di sisiku." Azzam membuka pintu dan mendudukkan Alana di bangku depan lalu mengitari mobil dan duduk di bangku kemudi.