Gia, adalah gadis yang tidak suka dengan hal berbau ketidakadilan. Hal ini membawa Gia lebih memilih bekerja menjadi staff di sebuah Lembaga Perlindungan Anak, dari pada bekerja di perusahaan papanya. Semua orang termasuk pimpinan LPA tidak suka dengan sifat keras Gia yang kokoh bak semen tiga kodi ini. Hingga sebuah kasus perebutan anak dan KDRT membuat Gia bertemu dengan duda tampan bernama Airlangga.
Kesalahpahaman terjadi, Gia menganggap Airlangga pria jahat karena meminta bantuan pimpinannya. Hingga semua berbalik, Gia dengan sekuat tenaga membantu pria itu untuk mendapatkan hak asuh sang putra.
“Kamu itu bekerja melindungi anak, atau melindungi pria itu? Gia, ini Lembaga Perlindungan Anak, bukan Lembaga Perlindungan Duda!”
Gia hanya diam saat dibentak Rafli atasannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinasya mahila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Bunga
Pagi itu Gia pergi ke LPA menggunakan taksi. Dia turun di depan dan berjalan masuk, bahkan sempat menyapa Pak Tomon yang hari itu bertugas pagi.
Citra terkejut melihat Gia yang sedang berjalan ke arahnya, hingga menengok ke parkiran di mana mobil temannya itu berada, sebelum kemudian memandang ke Gia yang sedang mendekat.
“Lah, aku pikir kamu sudah datang dari tadi dan ada di dalam,” kata Citra saat Gia sudah berada di hadapannya.
“Baru datang,” balas Gia kemudian mengajak Citra masuk.
“Terus, kenapa mobilmu sudah ada di sana?” tanya Citra yang masih bingung.
“Aku kemarin pulang nggak bawa mobil, tadi pun berangkat naik taksi,” jawab Gia santai. Dia merangkul lengan Citra dan berjalan ke lift.
“Kok bisa?”
Gia menghela napas kasar, kemudian menceritakan apa yang terjadi kemarin, termasuk Airlangga yang memaksanya ikut padahal tidak ada urusan penting menurutnya.
“Oh ya, apa kamu tahu kalau Pak Rafli menerima gepokan duit dari Alina?” Gia bicara dengan suara pelan saat berada di lift.
Citra terkejut mendengar pertanyaan Gia, hingga menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya.
“Ah … masa sih?” tanya Citra dengan dahi berkerut halus. “Masa Pak Rafli sampai parah gitu?” tanyanya karena tak percaya.
“Ih … kamu ini dibilangin juga, aku melihat dengan mataku sendiri, jadi mulai sekarang aku harus lebih mengawasinya.”
***
Sementara itu di kantor Airlangga. Pria itu kini sedang bersama Alvian dan menceritakan kejadian kemarin kepada sekretarisnya itu.
“Aku hanya merasa tak enak saja karena membuatnya kesal, padahal niatku hanya ingin mencari informasi dan siapa tahu bisa dapat bantuan,” ujar Airlangga di akhir cerita.
Alvian terlihat berpikir, hingga kemudian berkata, “Apa mungkin sebaiknya Anda memberikannya hadiah sebagai permintaan maaf?”
“Tidak ada salahnya ‘kan, Pak? agar dia tidak semakin marah atau salah paham,” imbuh Alvian memberikan ide.
Airlangga terlihat berpikir, hingga kemudian menganggukkan kepala tanda setuju.
“Baiklah, kamu urus saja semuanya, terserah mau dikasih hadiah apa, yang penting dia tahu kalau aku tidak bermaksud membuatnya marah dan aku menyesal,” ujar Airlangga memberikan perintah.
Alvian pun langsung menjalankan perintah Airlangga. Pria itu pergi ke toko bunga dan membeli seikat bunga mawar sebagai permintaan maaf atasannya.
Siang harinya saat tiba di LPA, Alvian bertemu Pak Tomon yang bertugas di sana.
“Permisi, Pak. Saya mau bertemu dengan Gia, apa boleh saya masuk?” tanya Alvian sopan.
Pak Tomon memperhatikan penampilan Alvian dari ujung kaki hingga kepala, sebelum kemudian menjawab, “Bisa, tapi tunggu sebentar. Saya tanyakan dulu ke dalam.”
Alvian pun mengangguk, kemudian memandang Pak Tomon yang masuk, sedangkan dia menunggu di depan.
Di ruang kerjanya, Gia sedang fokus dengan berkas yang harus dikerjakan, hingga Pak Tomon masuk dan langsung menemui gadis itu.
“Mbak Gia, ada yang nyari,” kata Pak Tomon.
Gia menaikkan satu sudut alis, kenapa ada yang mencarinya sedangkan dia tak membuat janji dengan siapapun hari itu.
“Siapa yang nyari, Pak?” tanya Gia memastikan.
Pak Tomon menepuk jidat, lupa bertanya nama orang yang mencari Gia.
“Saya lupa tanya, Mbak.”
Gia terlihat malas, lagi pula memang tak memiliki janji.
“Cit!” Gia memanggil Citra yang sedang fokus bekerja.
Pak Tomon sendiri menunggu apakah Gia mau menemui atau tidak.
“Apa?” tanya Citra saat menoleh Gia.
“Lihatin dong siapa yang nyari aku,” kata Gia.
Citra mengerutkan alis, memandang Gia dan Pak Tomon bergantian.
“Kamu yang dicari, kenapa aku yang lihatin. Udah sana kamu tengok sendiri,” balas Citra yang merasa aneh dengan sikap Gia.
“Ayolah, Cit. Aku penasaran tapi malas keluar,” kata Gia membujuk.
Citra mencebik mendengar bujukan Gia, kemudian memandang Pak Tomon yang masih menunggu.
“Cowok apa cewek, sih?” tanya Citra yang juga malas.
“Cowok, ganteng pula,” jawab Pak Tomon sambil mengacungkan jempol.
Citra terlihat berpikir, jika benar-benar ganteng, bukankah dia tidak rugi juga.
“Ya sudah, aku keluar.” Citra akhirnya mau mewakili Gia menemui.
“Cih … jatah dengar cowok ganteng aja semangat,” ledek Gia saat Citra pergi bersama Pak Tomon.
Citra dan Pak Tomon pun keluar, Pak Tomon langsung menunjuk di mana Alvian berdiri, hingga jiwa jomblo Citra meronta-ronta saat melihat betapa tampannya sekretaris Airlangga itu.
“Kamu nyari Gia?” tanya Citra dengan suara dibuat selembut mungkin.
“Oh ya, apa dia sibuk?” tanya Alvian balik karena tak melihat Gia.
Citra mengangguk, hingga tatapan tertuju ke buket bunga yang dibawa Alvian.
“Kalau begitu saya nitip saja, katakan kepada Gia jika ini dari Pak Airlangga,” ucap Alvian sambil menyodorkan buket bunga ke Citra.
Citra pun menerima bunga itu, kemudian berkata jika akan menyampaikan ke Gia. Alvian pun pamit, berterima kasih ke Pak Tomon sebelum pergi.
Citra masuk membawa bunga yang diberikan Alvian, kemudian meletakkan di meja Gia.
Gia bingung kenapa diberi bunga, hingga memandang Citra yang masih berdiri di samping mejanya.
“Ini katanya buat kamu dari Pak Airlangga,” kata Citra.
Gia terkejut, memandang bunga yang kini ada di hadapannya.
“Apa dia berusaha menyuapku?”
Ndak usah ngalor ngidul, langsung Des Des Des...