Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman Di Balik Senyuman
Di depan gerbang berwarna hijau tua yang menyambut ke halaman rumahnya, Keira dan Larisa berhenti seketika. Udara sore yang sedikit panas menyertai bau bumbu rempah dari dalam, tapi keduanya tak merasakannya. Perhatian mereka terjebak pada deretan motor sport yang menutupi sebagian tempat parkir. Bodi mereka mengkilap di bawah sinar matahari terbenam.
Di rumah dua lantai itu, suara tawa dan obrolan bergema keluar, tapi Larisa merasakan kegelapan yang mendekat. Saat kakinya hampir menyentuh ambang pintu kaca yang sedikit buram, tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat.
"Kei ... ra. Itu mereka." Suaranya terengah-engah, nyaris tercekat di tenggorokan. Matanya tak berani berpaling.
Keira menoleh, wajahnya penuh kekawatiran saat melihat kondisi temannya. "Siapa yang kau maksud?"
"Mereka ... salah satunya pacar Audrey. Aku gak menyangka mereka justru akan ke rumahmu. Mereka gak akan ngapa-ngapain kan?" Larisa menggenggam lengan Keira dengan erat.
Keira menatap ke dalam melalui kaca yang kabur, mencoba melihat apa yang membuat Larisa begitu ketakutan. Di tengah keramaian, ia melihat Marvin yang tengah sibuk melayani pelanggan dengan senyum khasnya, tangannya cepat mengatur gelas dan piring.
Marvin menatap ke arahnya, tangannya terangkat perlahan isyarat untuk masuk segera. Namun, pandangan Keira melesat ke arah kelompok pelanggan ayahnya. Mereka, yang berjumlah tuju orang yang terbagi menjadi dua meja terlihat masih sangat muda.
Gaya rambut mencolok dan pakaian yang sedikit urakan menjadi ciri khas mereka. Beberapa dari mereka memakai jaket sobek dan rantai di leher yang berdering saat bergerak.
Keira membenci tawa mereka, tawa yang seolah mencibir ayahnya. Tangan Keira mengepal kuat sampai urat tangannya menonjol.
'Mau apa mereka. Mereka gak akan cari masalah di sini, kan?' batinnya bergema penuh kekawatiran.
Tiba-tiba, seorang pemuda bertubuh dempal mendekat ke pintu, matanya terfokus ke arahnya. "Keira lo udah pulang ternyata?" Suaranya sedikit kasar, wajahnya yang berkerut terlihat menyeramkan-- setidaknya bagi Larisa yang sudah semakin menyembunyikan diri.
Keira hanya menaikkan alisnya, tak terkejut dengan sapaan itu.
Dengan langkah tenang, Keira melangkah masuk, sementara Larisa mengikutinya dengan hati-hati. Tangannya mencengkeram lengan Keira erat. "Itu, itu pacar Audrey. Namanya Farco."
Farco menoleh mempertahankan tatapan tajamnya namun, dengan cepat ia menyembunyikan di balik sikap ramah yang jelas di buat-buat. Farco mengambil langkah, memangkas jarak dengan Keira, bahkan kini tangannya sudah merangkul pundak gadis itu dengan sedikit tekanan.
"Gimana harimu, Keira? Apa menyenangkan di sekolah hari ini?" tanya Farco, walau terkesan ramah ada lapisan dingin yang menyelimuti, senyum tipis menghiasi bibir yang menghitam karena paparan nikotin.
Marvin yang baru saja kembali, menatap ke arah mereka. Ia jelas merasa ada ke tidak nyamanan yang tengah di rasakan putrinya. Namun, sebelum kecurigaan ayahnya semakin dalam, Keira segera memasang wajah ramah.
Dengan gerakan halus namun tegas, Keira menurunkan tangan Farco dari pundaknya. Ia menahan tangan Farco sejenak, seolah mereka memang akrab. "Tentu saja dong. Makasih loh, udah perhatian banget," jawab Keira, di susul senyum tipis yang tampak di paksakan.
"Apa kalian saling kenal?" tanya Marvin, alisnya sedikit terangkat. Ia mendekat dengan membawa beberapa botol minuman dingin, dan meletakkannya di atas meja kayu di antara mereka.
Farco tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menyeringai tipis, sebelum berbalik dan kembali ke mejanya. Namun, dari kejauhan, tatapannya tetap mengunci Keira.
Keira merasa hawa dingin merayap di punggungnya.
Tak lama setelah Farco kembali duduk, teman-temannya melakukan hal yang sama. Menatap Keira seolah Keira adalah mangsa.
Tiba-tiba tanpa aba-aba, sekelompok pemuda itu serentak bangkit. Gerakan mereka kacau dan tak menentu, menyebabkan beberapa kursi terdorong dan berantakan.
Farco berjalan menuju kasir. Ketika menyelesaikan pembayaran dan melangkah menuju pintu keluar, ia tak langsung pergi. Ia justru berbelok menghampiri Keira yang berdiri di sudut. Dengan cepat ia membungkuk, mendekatkan wajahnya sangat dekat ke telinga Kala.
"Kita akan bertemu lagi, gue pastikan itu. Lo harus tanggung jawab karena buat cewek gue celaka!"
Setelah menyampaikan kata-kata tajam itu, Farco menegakkan tubuh, lalu berlalu begitu saja.
Larisa, yang sejak tadi berusaha sembunyi di balik punggung Keira kini mendekatkan wajahnya ke telinga Keira. Nafasnya terasa hangat dan sedikit bergetar.
"Nah, kan. Gimana ini Kei? bisiknya panik. "Mereka jelas sedang mengancammu. Kau gak aman lagi, Keira. Kita lapor polisi aja ya?"
Keira menarik nafas perlahan, mencoba mengusir ketegangan yang baru saja terjadi. Ia membalas bisikan kepanikan Larisa dengan senyuman santai.
"Biarkan aja," jawab Keira datar, sambil memulai merapikan piring dan gelas sisa makanan mereka di atas meja. "Asal mereka tidak melibatkan ayahku, itu udah cukup."
Larisa yang melihat sikap santai temannya hanya bisa mematung. Ia bingung bagaimana Keira yang ia kenal pendiam dan tertutup bisa sesantai itu. Padahal yang ia hadapi bukan hanya perundung tapi jelas jauh dari pada itu.
Larisa segera tersentak saat mendengar suara piring saling beradu. Ia menyusul Keira dan membantunya membersihkan kekacauan itu.
Marvin yang mengamati interaksi singkat itu, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia menatap Keira dengan tatapan ingin tahu dan protektif.
"Apa mereka teman kalian?" tanya Marvin, matanya menyapu ke arah pintu tempat Farco dan kawanannya menghilang. "Mereka tidak menindasmu kan, Keira?"
Keira mendongak, menatap mata ayahnya dan memastikan senyumannya tetap meyakinkan.
"Gak kok, Yah. Mana mungkin mereka menindasku. Mereka cuma senior di sekolah, iya senior. Ya kan, Larisa?"
Larisa yang tengah sibuk mengangkat piring kotor tersentak, kaget saat Keira menyenggol bahunya. Ia mendongak, sorot mata peringatan dari Keira dan dengan cepat tersenyum.
"I ... iya, Om," ujar Larisa terbata, berusaha terdengar natural. "Mereka cuma senior di sekolah."
Mendengar jawaban yang seragam itu Marvin menghela nafas lega. Ketegangan di bahunya sedikit mengendur. Ia segera melanjutkan pekerjaannya, kembali masuk ke dapur untuk menyiapkan pesanan pelanggan lain.
Begitu punggung Marvin menghilang di balik pintu dapur, Keira dan Larisa serentak menghela nafas panjang.
'Gila sih. Ini lebih menegangkan dari pada saat melakukan misi penyergapan,' batin Keira, tangannya sibuk menumpuk piring.
Setelah membantu membersihkan warung hingga kembali rapi dan tenang, suasana warung kembali sepi. Hanya diisi gemericik air dari wastafel di dapur dan suara kendaraan yang melintas di jalan.
Keira memutuskan untuk berbicara dan tak ingin menunda lagi. Ia melangkahkan kaki dengan ragu, mendekat ke area dapur.
"Yah, ada yang aku mau omongin," ucap Keira pelan, nadanya serius. "Ini ... menyangkut sekolah."
Marvin yang kebetulan sedang tidak mengerjakan pesanan apa pun, segera menghentikan aktivitasnya. Ia menyeka tangannya pada celemek dan berjalan keluar dapur.
Marvin berjalan menuju meja kosong di sudut warung, dekat jendela yang terbuka hingga angin sore berhembus masuk. Ia menepuk kursi di depannya, meminta Keira untuk duduk.
Keira dan Larisa saling pandang sejenak. Ada rasa takut dan juga cemas. Tanpa banyak bicara mereka berdua pun duduk berjejer di kursi yang Marvin sediakan.
Aku jadi inget sama YML, dia kan dibunuh gegara memegang kunci rahasia besar.
Semoga tiada yang curiga kalau Keira masih hidup, dan matilah kamu wahai Dewa Agung
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..