Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 11
Kamar itu sunyi, kecuali suara isak Sadewa yang pecah dan tak terkendali.
Tubuh pria itu gemetar hebat di pelukan Bianca. Bahunya naik turun, napasnya tersengal, seperti seseorang yang baru saja ditarik paksa dari dasar laut. Bianca memeluknya erat tidak berkata apa pun, hanya menjadi tempat jatuh bagi semua amarah dan luka yang tak lagi bisa Sadewa tahan.
“Aku cinta sama Sarah…” suara Sadewa serak, nyaris tak terdengar. “Aku cinta banget…”
Bianca tidak bergerak. Tangannya tetap memeluk punggung Sadewa. Matanya menatap kosong ke dinding kamar yang kini berantakan bunga berserakan, lilin mati, kain seprai kusut. Namun kata-kata Sadewa jauh lebih menghancurkan daripada semua kekacauan fisik itu.
“Aku udah nyiapin semuanya, Bianca,” lanjut Sadewa terbata-bata. “Rumah… aku beli rumah kecil di pinggir kota. Nggak gede, tapi cukup buat kami. Aku bayangin tiap pagi bangun bareng dia. Masak bareng. Pulang kerja… terus capek-capek ketawa bareng.”
Tangannya mencengkeram punggung Bianca kuat-kuat.
“Aku bayangin kami tua bareng,” isaknya semakin keras. “Rambut putih, anak-anak, cucu… semuanya aku bayangin sama dia. Sama Sarah.”
Setiap kata itu seperti paku.
Satu demi satu.
Ditancapkan ke hati Bianca.
Namun wajahnya tetap tenang. Tidak ada tangisan keras. Tidak ada jeritan. Hanya dada yang terasa sesak, napas yang semakin pendek, dan jantung yang berdetak dengan rasa nyeri yang tak terucap.
“Terus kenapa dia lakuin ini ke aku?” Sadewa mengangkat wajahnya sedikit, matanya merah, basah. “Kenapa dia ninggalin aku di hari pernikahan kami? Kenapa dia hancurin semuanya, Bi?”
Bianca menelan ludah. Tenggorokannya terasa perih.
Ia ingin berkata banyak hal.
Ingin berkata aku di sini.
Ingin berkata kamu tidak sendirian.
Ingin berkata aku mencintaimu sejak lama.
Namun tidak satu pun keluar.
Karena ia tahu di hati Sadewa, tidak ada ruang untuk namanya.
“Aku salah apa?” Sadewa kembali terisak. “Aku nggak pernah main-main sama perasaannya. Aku serius… aku bener-bener serius…”
Tangisnya kembali pecah. Tubuhnya semakin berat di pelukan Bianca. Nafasnya mulai tidak beraturan, kalimatnya terputus-putus.
Bianca tetap memeluk.
Matanya kosong, menatap titik yang tak jelas. Di balik wajah tenangnya, hatinya seperti dihancurkan perlahan bukan oleh kebencian, melainkan oleh cinta yang tidak pernah mendapat tempat.
Ia mencintai Sadewa.
Sejak kecil.
Sejak bocah tujuh tahun itu berdiri di halaman rumah dengan wajah tanpa senyum.
Sejak hari-hari ia selalu mengikuti Sadewa ke mana pun.
Sejak ia belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti dimiliki.
Namun malam ini malam ini adalah yang paling menyakitkan.
Karena pria yang kini menjadi suaminya, menangis karena perempuan lain di pelukannya.
“Bi…” suara Sadewa melemah. “Hati aku sakit…”
Tangannya mengendur.
Kepala Sadewa jatuh di bahu Bianca. Nafasnya masih tersengal, namun perlahan ritmenya melambat. Tubuhnya berat, hangat, lelah oleh tangis dan amarah yang menguras segalanya.
Bianca menyadarinya beberapa menit kemudian.
Sadewa tertidur.
Tidurnya tidak tenang. Alisnya masih berkerut, bibirnya sedikit bergetar. Air mata masih mengalir pelan dari sudut matanya, membasahi bahu Bianca.
Bianca menunduk, menatap wajah itu.
Wajah yang ia cintai.
Wajah yang hari ini menikah dengannya tanpa cinta.
Perlahan, dengan sangat hati-hati, Bianca menggeser tubuh Sadewa. Ia menahan beratnya, meski punggungnya masih nyeri akibat terbentur meja tadi. Gaun pengantin yang ia kenakan terasa berat, panas, menyulitkan geraknya namun Bianca tidak peduli.
Ia menyeret langkah kecil demi langkah kecil, hingga akhirnya berhasil membaringkan Sadewa di ranjang.
Sadewa mengerang pelan, matanya tetap terpejam.
“Tenang,” bisik Bianca lembut, lebih kepada dirinya sendiri. “Tidur saja…”
Bianca duduk di tepi ranjang. Ia melepas sepatu Sadewa satu per satu, meletakkannya rapi di lantai. Lalu dengan gerakan pelan, ia membuka kancing jas Sadewa.
Satu.
Dua.
Tiga.
Tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena perasaan yang berdesakan di dadanya. Ia menarik jas itu perlahan, memastikan Sadewa tidak terbangun. Jas diletakkan di kursi.
Kemudian ia melonggarkan dasi Sadewa. Menariknya perlahan, melepaskannya dari leher pria itu yang masih terlihat tegang bahkan dalam tidur.
Bianca menghela napas panjang.
Ia menatap gaun pengantinnya sendiri—gaun putih yang indah, yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan. Kini terasa seperti kostum dalam sandiwara pahit.
Tanpa mengganti apa pun, Bianca menarik selimut dan menyelimuti tubuh Sadewa dengan rapi. Ia merapikan bantal, memastikan kepala Sadewa nyaman.
Setelah itu, ia berdiri beberapa langkah menjauh.
Menatap.
Sadewa tertidur rapuh, lelah, patah. Air mata masih mengalir pelan di pipinya. Bahkan dalam tidur, luka itu tidak memberi jeda.
Bianca mendekat lagi. Duduk di sisi ranjang. Dengan ujung jarinya, ia menghapus air mata Sadewa satu per satu.
“Kalau saja kamu tahu…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku juga sakit.”
Namun Bianca tidak menangis.
Belum.
Ia bangkit, mematikan lampu utama, menyisakan cahaya temaram dari lampu kecil di sudut kamar. Ia duduk di sofa kecil, masih dengan gaun pengantin yang sama tanpa melepasnya.
Malam itu, Bianca memilih tidak tidur.
Ia hanya menatap Sadewa dari kejauhan, menjaga pria yang hatinya bukan miliknya.
Karena beginilah caranya mencintai diam, setia, dan siap menahan luka bahkan saat yang dicintai tidak pernah menyadarinya.
Pagi datang perlahan, tanpa gegap gempita.
Cahaya matahari menembus celah tirai kamar pengantin yang semalam menjadi saksi kehancuran. Kamar itu masih berantakan sisa kelopak bunga di lantai, meja yang sedikit bergeser, jas Sadewa terlipat asal di kursi. Udara terasa dingin, seolah malam panjang belum benar-benar pergi.
Bianca terbangun di sofa kecil dekat jendela.
Lehernya terasa pegal. Punggungnya nyeri. Gaun pengantin yang masih ia kenakan kusut dan berat, menempel di kulitnya yang semalam tertidur tanpa sadar. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan kesadaran.
Pandangan pertamanya tertuju ke arah ranjang.
Sadewa masih terlelap. Posisi tidurnya miring, alisnya sedikit berkerut, seperti seseorang yang bahkan dalam tidur pun masih berperang dengan pikirannya. Bianca menatapnya beberapa detik lama, hening alu bangkit perlahan agar tidak menimbulkan suara.
“Aku harus mandi,” gumamnya lirih.
Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu bersandar sebentar di baliknya. Nafasnya ia atur. Baru setelah itu ia mulai membuka gaun pengantinnya perlahan, satu demi satu, seolah setiap lapisan kain menyimpan kenangan yang ingin ia lepaskan.
Tak lama kemudian, suara gemericik air terdengar.
Di ranjang, Sadewa menggeliat.
Kelopak matanya bergerak pelan, lalu terbuka. Kesadarannya datang tidak utuh masih bercampur sisa mimpi dan kenangan. Yang pertama ia dengar adalah suara air yang mengalir.
Gemericik yang lembut.
Akrab.
Hangat.
Sadewa menahan napas.
Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena cemas, melainkan karena harapan yang tiba-tiba tumbuh.
“Sarah…” gumamnya tanpa sadar.
Ia duduk, menatap ke arah pintu kamar mandi. Untuk sesaat, rasa bahagia yang semu menyelinap masuk. Pagi. Air mandi. Rutinitas kecil yang selama ini ia bayangkan bangun bersama Sarah, bercanda di pagi hari, berbagi handuk, berbagi waktu.
Wajah Sadewa melunak.
Ia berdiri, merapikan rambutnya sekadarnya. Bahkan sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum kecil yang sudah lama tidak muncul.
Sadewa melangkah ke depan pintu kamar mandi, berhenti tepat di depannya. Ia menunggu, bersandar ringan pada dinding. Dalam kepalanya, ia sudah membayangkan wajah Sarah keluar dari balik pintu itu rambut basah, senyum manja, suara ceria yang memanggil namanya.
“Pagi, Dewa…”
Pintu kamar mandi terbuka.
Yang keluar bukan Sarah.
Melainkan Bianca.
Rambutnya masih setengah basah, tergerai sederhana. Ia mengenakan pakaian tidur polos tidak berhias, tidak berusaha tampil menarik. Wajahnya bersih tanpa riasan, terlihat lebih pucat, lebih tenang, dan entah kenapa… lebih dewasa.
Senyum kecil Sadewa lenyap seketika.
Wajahnya berubah kaku. Matanya menegang, seolah baru saja ditarik paksa dari mimpi yang indah ke kenyataan yang pahit.
Bianca terhenti sesaat saat melihat Sadewa berdiri di depan pintu.
“Oh,” katanya singkat, lalu melangkah sedikit ke samping. “Kamar mandinya kosong.”
Tidak ada nada. Tidak ada sindiran. Tidak ada emosi berlebihan.
Sadewa tidak menjawab.
Tanpa menatap Bianca, tanpa sepatah kata pun, ia langsung masuk ke kamar mandi. Pintu ditutup agak keras bukan dibanting, tapi cukup untuk menunjukkan sesuatu yang tertahan.
Bianca berdiri beberapa detik di tempatnya.
Ia menatap pintu tertutup itu dengan wajah datar. Tidak ada keterkejutan. Tidak ada kekecewaan yang ia perlihatkan. Hanya satu tarikan napas pelan, lalu ia berjalan menjauh.
“Aku tidak mau ambil pusing,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Bianca kembali ke sofa, duduk, lalu mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia menatap keluar jendela. Pagi terasa sunyi—terlalu sunyi untuk dua orang yang baru menikah.
Dari balik pintu kamar mandi, air kembali mengalir deras.
Sadewa berdiri di bawah pancuran, kedua tangannya menempel di dinding keramik. Air dingin membasahi rambut dan wajahnya, bercampur dengan napas yang memburu.
Bayangan Sarah kembali menghantamnya lebih keras karena kenyataan baru saja menamparnya.
Bukan Sarah.
Tidak pernah Sarah.
“Kenapa…” bisiknya lirih, tenggelam oleh suara air.
Sementara itu, di luar, Bianca bangkit. Ia merapikan sofa yang semalam ia tiduri, melipat selimut kecil, menyusunnya rapi. Ia tidak menangis. Tidak mengeluh. Seolah sudah menerima bahwa pagi-pagi seperti ini akan menjadi rutinitasnya.
Ia berjalan ke meja kecil, merapikan sisa kekacauan semalam. Mengumpulkan kelopak bunga, memindahkannya ke tempat sampah. Menggeser kursi kembali ke posisi semula. Ia bergerak tenang seperti seseorang yang memilih bertahan dengan caranya sendiri.
Ketika Sadewa akhirnya keluar dari kamar mandi, Bianca sudah berdiri di dekat jendela, menatap halaman rumah yang basah oleh embun pagi.
Mereka berada di satu ruangan.
Namun terasa sangat jauh.
Sadewa melirik sekilas hanya sekilas lalu mengambil ponselnya. Bianca tidak menoleh. Tidak bertanya. Tidak berharap.
Karena sejak pagi ini, ia kembali mengingat satu hal yang pahit namun penting:
Ia tidak bisa berharap pada pria yang hatinya masih tertinggal pada perempuan lain.
Dan Bianca memilih untuk hari itu tidak mengambil pusing.