Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANDAI
Ada masa di mana aku tidak mengejar kemenangan.
Kemenangan justru datang mencari ku.
Saat itu aku belum kenal kata cukup.
Belum paham arti berhenti.
Dan sama sekali belum mengerti bahwa rasa percaya diri bisa berubah menjadi racun.
Aku menyebut masa itu sebagai masa emas. Padahal sekarang aku tahu, itu adalah masa paling berisik sebelum semuanya runtuh.
Waktu itu aku masih bekerja.
Bangun pagi, pulang malam, badan capek tapi kepala penuh keyakinan. Saldo bukan masalah. Gaji rutin. Hidup terasa berjalan lurus.
Semasa sekolah, aku sudah kenal yang namanya slot. Permainan judi online yang sudah menghancurkan hidup milyaran manusia.
Namun kala itu aku masih polos. Pikirku, main sedikit saja cukup.
Sepuluh ribu, sisa dari uang saku sekolah.
Atau seratus dari sisa gaji kerja sampingan sepulang sekolah, setelah ayahku meninggal.
Semuanya berjalan baik-baik saja.
Bahkan setelah merantau dan kerja pertama kali di kota orang, masih baik-baik saja.
Aku adalah orang yang beruntung. Masih punya Ibu yang selalu mendoakan anaknya.
Walau peran kakak dalam hidupku abu-abu, aku tetap ikhlas.
Setiap bulan, aku pasti mengirim uang untuk Ibu, satu setengah juta. Buat bayar hutang beliau sepeninggal Ayah.
Orang bilang aku anak yang berbakti.
Lucunya, setelah kelulusan namaku justru melonjak sebagai alumni yang baik.
"Nak, namamu disebut pas Ibu ambil ijazah kamu. Katanya kamu anak yang berbakti.."
"...pak guru menjadikanmu contoh." kata Ibu.
Jelas.
Gajiku juga terbilang besar untuk lulusan baru. Lima juta lebih. Belum ditambah lemburan jika ada.
Tapi kebiasaan kecil, ternyata berdampak besar.
Setiap bulan, setelah aku membagi uang untuk orang tua, bayar kos, aku pasti bermain.
Entah berapapun itu, aku tetap ikhlas wong bulan depan masih gajian.
Sampai aku bertemu seniorku waktu itu di tongkrongan. Namanya Dwi.
"Lu juga main slot bro.." kata Dwi.
"Iya bang.. main dikit-dikit buat hiburan. Hehehe.." jawabku.
Dari obrolan biasa, santai, kemudian menjadi akrab. Dari situ aku juga bertemu Yudha dan rekan pemain lain.
Namun Dwi lah yang menurutku paling berdampak.
"Ini namanya roulette Mik.."
"..pasang seribu, menang tiga puluh enam ribu. Tapi harus pasang di angka."
Dia mengajariku. Sekaligus memberi pertunjukan meriah atas kemenangannya.
Lima juta didapat dalam satu malam.
Dan aku diberi kesempatan.
"Nih dua ratus buat coba Roulette, tenang aja gak usah diganti."
Aku pun memberanikan diri mencoba.
Dalam sepuluh percobaan, sembilan diantaranya tepat sasaran.
"Widih... udah jago Yud si Miko.." ucap Dwi memandang Yudha.
"Dia mah emang jago.. gue aja kalah.." sahut Yudha.
Tumbuh.
Rasa percaya diri itu tumbuh.
Dari malam penuh canda tawa. Berubah menjadi malam yang kelam.
Setiap hari aku deposit. Jumlahnya banyak. Sehari bisa deposit sampai lima ratus.
Kadang menang, kadang juga jatuh.
Namun yang tak terlupakan adalah,
Kamu menang Rp7.200.000
Besar. Menang paling besar yang pernah kudapat.
Aku memasang taruhan dua ratus ribu pada satu angka di meja roulette.
Hasilnya tepat sasaran. Aku hebat bukan?
Aku tidak masuk untuk menyelamatkan diri dari hidup.
Aku masuk karena merasa hidupku sudah aman.
Menang besar pertama kali, pasti akan ku ingat selamanya. Bukan karena nominalnya. Tapi karena sensasinya.
Rasa benar.
Rasa paham.
Rasa seperti akhirnya aku menemukan sesuatu yang memang cocok denganku.
Aku tidak teriak.
Tidak loncat.
Tidak cerita ke siapa-siapa.
Kadang kala juga aku kembali ke slot. Mulai berani pasang bet tinggi.
Awalnya cuma delapan ribu, sekali spin menang dua juta.
"Kuncinya cuma berani.." ucapku kala itu.
Hasil uang haram itu ku lempar untuk modif motor. Motor yang ku beli dengan hasil jerih payah, ku hias dengan uang haram.
Kala itu benar-benar tak ada pembeda antara haram dan halal. Asal uang, kenapa tidak?
Setiap hari dengan deposit. Setiap hari dengan kalah.
Akhir bulan uang habis. Jerih payah lembur tak ada yang bisa ku nikmati.
Meminjam uang dari teman setiap bulan. Kadang untuk makan, kadang juga untuk main.
Sebulan kerja penuh tanpa libur. Setelah gajian malah dipakai untuk main. Dan kalah.
Terpaksa harus hutang kepada teman dengan nominal besar.
Beruntungnya aku, dikelilingi orang-orang baik.
Walau diam-diam rusak moral, aku tetap menjalankannya.
Kalimat "terimakasih" dari Ibu memberiku semangat dan rasa bangga.
"Gue gak bakalan jadi kayak kakak.."
Sejak malam setelah kekalahan pertama. Aku tidak lagi bermain untuk mencoba.
Aku bermain untuk membuktikan.
Membuktikan bahwa aku berbeda. Bahwa aku tidak seperti penjudi lain yang panik, serakah, dan bodoh.
Aku disiplin.
Aku punya jam main.
Aku punya batas kalah.
Setidaknya itu yang ku percaya. Namun faktanya, semuanya musnah.
Tabungan yang ku punya, walau sedikit... musnah.
Sparepart yang baru saja ku beli, ku jual lagi.
Hutang teman belum lunas, aku hutang lagi.
Gajian turun pukul enam pagi, pukul tujuh sudah tinggal separuh.
Sampai setahun lebih aku hidup dalam bayang-bayang. Hidup dalam rasa takut untuk kembali pulang.
Saat pulang kampung kedua, waktu itu lebaran. Aku pulang bukan dengan uangku sendiri, melainkan hasil pinjaman Paylater.
Untungnya lemburku masih kencang, jadinya agak ringan untuk ku cicil sembari membayar hutang teman.
Waktu itu juga dapat THR atau bonus lebaran. Tapi malah ku gunakan untuk mencoba strategi roulette yang ku buat-buat.
Lucu.
Mengapa aku harus sadar setelah semuanya musnah.
Apa yang sebenarnya ku kejar?
Setiap bulan gajian lima juta. Sepuluh juta jika ditambah lembur.
Total bekerja satu setengah tahun. Tapi apa yang ku pegang sampai nanti aku habis kontrak?
Harapan. Aku butuh harapan.
Suatu ketika, aku kembali mencoba dari uang teman. Hasilnya menang lima belas juta dalam satu malam.
Namun di malam yang sama, nominal itu lenyap.
Kemana perginya rasa syukur itu?
Apa yang kurang?
-
Atas semua kesalahan yang ku perbuat. Aku masih sering mencari pembenaran diri.
Siapa yang harus ku salahkan?
Apakah kakakku yang problematik? Atau Ibu yang membebankan hutang kepada anaknya secara tidak langsung?
Atau kepada Dwi yang memberiku jalan untuk bermain roulette?
Atau malah Yudha yang terus memberiku semangat agar mencoba lagi?
Entahlah. Sepertinya semua kembali kepada diriku sendiri.
Akhirnya aku tau rasanya.
Rasa tidur yang tak nyenyak bukan karena lelah bekerja.
Rasa bosan karena makan lauk yang sama setiap harinya.
Rasa rokok murahan, itupun kretek.
Di sebuah malam. Aku duduk diam memikirkan strategi untuk berhenti. Kalau tidak, semuanya malah makin hancur.
Aku harus berubah sebelum Ibu dan kekasihku tau. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa.
Aku akan berubah. Aku ingin kembali ke masa dimana aku belum kenal judol.
Aku masih bisa.
Aku cuma nyebur, belum tenggelam... pikirku. Walau padahal, airnya sudah setinggi dada.
"Andai... andai saja...."
Kata terakhir yang selalu datang setelah segalanya selesai.