Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilih dia saja
Suara guntur dan kilat bergemuruh hebat di malam yang sunyi, seolah menyahuti teriakan kesakitan Naren hari itu. Bahkan langit pun mendukung betapa menderitanya Naren Aryasatya. Pria yang dulunya memiliki segalanya.
Wanita dan hidup layak, semua Naren dapatkan semasa sekolahnya. Namun, di saat umur mulai bertambah cobaan pun menghampiri seolah menguji seberapa dewasa dan sekuat apa ia bisa melewati ujian dari Allah.
Sakitnya bukan hanya berpisah dengan sang istri, bukan pula di selingkuhi oleh orang yang ia cintai. Sakit yang membelenggunya kini karena memikirkan anak-anak di rumah.
Sanggupkah Naren menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya? Sanggupkah dia membuat putra dan putrinya hidup tanpa membenci ibunya? Bisakah dirinya menjawab pertanyaan mereka yang mulai pintar dan ingin tahu segalanya.
Teriakan Naren mengema, kali ini suaranya diredam oleh derasnya hujan dan guntur yang saling beradu. Pria itu sama sekali tidak merasakan kedinginan dan berlutut di taman yang menjadi saksi cintanya bersama Nadira. Taman dimana iya melamar Nadira dan menjanjikan sehidup semati.
Dan malam ini Naren pun datang ke tempat itu untuk mengakhiri segalanya. Melepas cintanya yang kini telah menjadi milik orang lain.
Hujan semakin deras, anehnya tubuh Naren tidak lagi merasakan rintik yang menyakiti kulitnya tersebut. Dia mendongak dan mendapati seseorang memayungi dirinya yang telah basah kuyup.
"Tolong jangan merusak taman saya."
Naren mengerjap, ia kenal dengan wanita yang sedang memayunginya tetapi tidak mengerti ucapan wanita itu. Naren berdiri, dan keluar dari payung agar wanita cantik itu tidak basah karenanya.
"Taman ini bentuk nyata dari lukisan pertama saya. Papa memberikannya sebagai hadiah ulang tahun saya yang ke 17 tahun. Saya melukisnya dengan harapan taman ini membawa bahagia untuk semua orang, bukan tempat bersedih."
"Maaf jika keberadaan saya membuatmu terusik."
Wanita itu mengeleng dan tersenyum. "Keberadaan mas diterima ditaman ini tapi untuk sebuah kebahagian."
"Nona Muda, kita harus pergi sekarang. Tuan muda dan Tuan besar akan marah tahu nona menemui seseorang secara random," ujar sopir yang menemani Leona.
Sopir itu sudah melarang Leona turun untuk menemui seseorang yang berlutut di tamannya, tetapi ia memaksa untuk menemui dengan alasan tidak suka tamannya dibuat tempat bersedih. Pada kenyataanya Leona hanya ingin menyelamatkan Naren agar tidak hujan-hujanan berujung sakit. Dia punya hutang budi pada pria itu. Pria yang memperingatkannya pada sebuah kehati-hatian saat bepergian seorang diri.
Leona melangkah menjauh dengan payungnya, di kawal oleh sopir bertubuh kekar. Sedangkan Naren terpaku pada taman itu, menatap kepergian wanita yang ia temui empat kali.
Hujan mulai reda, gemuruh guntur tidak lagi terdengar. Hati pun Naren perlahan tenang usai meluapkan semuanya di tengah hujan. Pria itu memutuskan untuk pulang bertemu anak-anaknya.
Sedangkan seorang wanita yang menjadi penyebab kesedihan Naren, sama sekali tidak merasa bersalah. Ia bahkan tenang-tenang saja tahu suaminya akan menceraikan dirinya.
"Tumben mau jawab panggilan video aku di rumah," celetuk Rafka.
"Suami dan anak-anakku nggak ada di rumah."
"Mereka kemana, Sayang?"
"Aku dan mas Naren sepakat untuk berpisah."
"Benarkah?" Rafka tampak sumringan di seberang telepon.
"Benar. Aku menyetujuinya sebab aku merasa nggak mencintainya lagi."
"Good baby, keputusan yang tepat."
"Aku sendirian di rumah." Nadira mengerucutkan bibirnya.
"Bersiap-siaplah, sebentar lagi sopir aku menjemputmu."
...
Sarapan kali ini tampak tenang dan anak-anak terurus dengan baik. Naren pun tidak lagi kerepotan mengurus satu persatu anaknya yang akan berangkat ke sekolah.
"Naresa mau tambah lagi nggak?"
"Mau nenek," jawab Naresa sembari menganggukkan kepalanya.
"Pelan-pelan makannya."
"Dalian nggak mau ke sekolah."
"Loh kenapa Sayang?" tanya Naren dengan kening mengerut. Di pangkuan pria itu ada Seren dengan segala eksperimennya.
"Dalian cape kalau menunggu lama. Kemalin ibu dan ayah nggak jemput."
"Ayah janji akan menjemput Darian dan Naresa tepat waktu. Kalau ayah nggak sempat ada nenek."
"Benal ya ayah!"
"Benar Sayang." Naren mengusap pipi putranya dan tersenyum hangat.
Usai sarapan, Naren pun mengiring kedua putranya menuju mobil dan mendudukkannya dengan aman. Kembali memasuki rumah demi berpamitan pada ibunya.
"Keputusan kamu benar-benar sudah bulat Nak?" tanya ibu Naren yang sedih menyaksikan rumah tangga putranya yang hancur. Dia memang tidak suka pada menantunya, tetapi letak bahagia putranya ada pada Nadira.
"Iya Bu."
"Rumah kalian ...."
"Naren sudah memberikannya pada Nadira. Naren nggak ingin memperdebatkan apapun. Anak-anak bersama Naren sudah cukup Bu."
"Yang kuat ya Nak. Kesabaranmu nggak akan sia-sia. Apa yang hilang hari ini, akan diganti yang lebih baik oleh sang pencipta." Ibu Naren mengelus pundak anaknya.
Air mata wanita paruh baya itu terjatuh setelah putra dan cucunya pergi.
"Putraku tampak kurus dari beberapa bulan sebelumnya. Dia pasti nggak makan dengan benar dan menanggung banyak beban karena istrinya," batin wanita paruh baya itu.
"Nggak menyerah saja itu sudah bagus Bu. Naren adalah ibuk versi laki-laki. Dia sabar dan kuat menghadapi badai, apalagi mempunyai anak-anak mengemaskan," ujar ayah Naren yang memeluk lengan istrinya.
"Tugas kita menghiburnya, bukan menghakimi siapa yang membuat putra kita bersedih. Sudah waktunya Naren mempertanggung jawabkan pilihannya di masa lalu."
"Ayah benar." Ibu Naren menganggukkan kepalanya.
Sedangkan putra mereka memulai hari seolah tidak terjadi apa-apa. Mengaktifkan aplikasinya demi mencari nafkah untuk anak-anaknya. Ia senyum samar ketika tidak sengaja melewati kompleks rumahnya dulu bersama Nadira.
"Cukup Naren, nggak perlu menoleh ke belakang. Fokus pada anak-anakmu saja," gumam pria itu.
Saat akan fokus ke jalanan, sebuah notifkasi mengambil perhatian Naren. Ada surel dari Alexander group.
Sudut bibir pria itu berkedut, tidak lama melengkung membentuk bulan sabit usai membaca isi surel hingga selesai. Tanpa membuang waktu lama ia menancap gas menuju kantor keamanan Alexander Group, tentu setelah menganti pakaiannya dengan setelan formal yang sudah ia siapkan di jok paling belakang.
Sesampainya di kantor keamanan, lebih tepatnya bagian lapangan. Naren langsung ikut barisan sesuai informasi pada surel. Kurang lebih barisan itu berisi 20 pria.
Hari ini Naren diterima sebagai karyawan keamanan, hanya saja ikut seleksi siapa yang layak berada di sisi tuan putri Alexander.
"Hanya dua dari kalian yang akan mendampingi VIIP selama 12 jam. Dan untuk itu membutuhkan beberapa seleksi."
"Tim akan dibagi menjadi 10, dengan artian 1 lawan 1. Yang menang akan melawan pemenang pula sampai hanya dua dari kalian yang tersisa. Mengerti?"
"Mengerti!"
"Titik bahaya yang tidak boleh kalian sentuh selama latihan. Kepala bagian belakang, pelipis, tenggorokan ...." Senior mereka terus menyebutkan bagian-bagian berbahaya yang dilarang selama latihan.
Barisan pria itu dipantau oleh seorang wanita yang berada di lantai dua dengan wajah ditekuk.
"Apa harus diseleksi lagi, Om? Ayolah ini negara hukum, mana ada bahaya sampai dilatih menembak atau membawa pisau."
"Sesuai perintah tuan muda dan tuan besar, Nona," jawab Eril.
"Boleh aku kasih saran?" tanya Leona.
"Apa?"
"Langsung pilih saja pria paling ujung sebelah kanan itu. Selain dapat dipercaya, dia pernah menyelamatkan aku saat pulang tengah malam. Dia mengingatkan aku betapa bahaya kejahatan dimalam hari dan menyuruh aku hati-hati, bukankah sudah memenuhi syarat untuk jadi pengawal?"
"Belum."
.
.
.
.
.
.
Dunia baru Naren dimulai
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren