Ketika cinta berubah menjadi luka, dan keluarga sendiri menjadi pengkhianat. Dela kehilangan segalanya di hari yang seharusnya menjadi miliknya cinta, kepercayaan, bahkan harga diri.
Namun dalam keputusasaan, Tuhan mempertemukannya dengan sosok misterius yang kelak menjadi penyelamat sekaligus takdir barunya. Tapi apakah Dela siap membuka hati lagi, ketika dunia justru menuduhnya melakukan dosa yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Antara Lapar dan Amarah
Setelah Dela mencari, akhirnya ia menemukan suaminya sedang bersama ayahnya. Dari kejauhan, Dela melihat sang suami sedang menyerahkan sebuah amplop kepada ayahnya.
“Bapak, Mas Arsen, ternyata kalian di sini,” ucap Dela sambil menghampiri keduanya yang tengah berbincang. Dari penampilan ayahnya Surya, tampak jelas beliau baru saja selesai jalan pagi. Surya memang sering meluangkan waktu untuk berjalan-jalan di sekitar rumah karena kondisi kesehatannya yang sering menurun. Sementara itu, Arsen sudah terlihat rapi, sepertinya hendak berangkat kerja.
“Sudahlah Pak. erima saja ya ini uang buat Bapak,” ujar Arsen lembut ketika Surya tampak menolak pemberiannya.
“Lebih baik uangnya kamu kasih ke Dela saja biar dia yang tabung,” saran Surya.
“Gak Pak ini khusus untuk Bapak. Kalau untuk istri saya, sudah ada sendiri,” jawab Arsen tegas tapi sopan.
Dela mengerutkan dahi. “Mas kamu kasih uang ke Bapak?” Tanyanya heran.
"Baru kemarin suaminya memberikan uang satu juta padanya, dan sekarang dia memberi uang lagi untuk ayahnya. Uang dari mana ya?" Batin Dela.
Apa Mas Arsen baru saja gajian? Jangan-jangan uang yang kemarin dikasih ke aku itu uang tabungan pikir Dela dalam hati.
“Sudah Pak. Terima saja ya buat pegangan Bapak, siapa tau Bapak ingin beli sesuatu yang diinginkan,” bujuk Dela lembut, membuat ayahnya akhirnya menerima amplop itu.
“Ya sudah, terima kasih Nak. Semoga rezeki kalian berlimpah,” doa Surya tulus yang langsung diaminkan oleh Dela dan Arsen.
Surya merasa begitu terharu, karena baru kali ini ia memiliki menantu yang begitu perhatian. Anak dan menantu lainnya tak ada yang sepeduli Dela dan Arsen.
“Sayang,” panggil Arsen tiba-tiba.
Dela sontak tersipu. Biasanya suaminya memanggil “Dek”, tapi kini ia mendengar panggilan yang lebih manis dari itu.
“Kayaknya lebih enak kalau aku panggil Sayang aja ya?” Ucap Arsen sambil tersenyum menggoda.
Hati Dela langsung berdegup kencang. "Dulu Riki mantan kekasihnya tak pernah semanis itu. Ah jadi meleleh aku. Dulu Riki cuma panggil nama aja. Sepertinya memang benar kalau Riki gak pernah benar-benar mencintaiku." batinnya.
“Boleh terserah Mas Arsen aja,” jawab Dela pelan, padahal hatinya sangat senang dengan panggilan itu.
Tak lama kemudian, Arsen mengambil sebuah amplop tebal dan menyerahkannya pada Dela.
“Sayang ini uang buat kamu. Pakai untuk kebutuhanmu ya. Katanya Ibumu minta uang belanja jadi berikan dari uang ini. Kamu juga belikan baju, make up, atau apapun yang kamu perlukan jangan ditabung semua,” ucap Arsen penuh perhatian.
“Iya Mas terima kasih,” balas Dela lembut.
“Masa cuma terima kasih aja?” Protes Arsen pura-pura cemberut.
Dela mengerutkan dahi. “Lalu apa lagi?”
“Kasih kiss dong,” bisiknya pelan di telinga istrinya.
Wajah Dela langsung memerah seperti kepiting rebus. Ia tak menyangka suaminya bisa semanis itu.
“Kok diam aja? Kamu gak mau?” Goda Arsen lagi.
Dengan malu-malu Dela mendekat dan mencium pipi suaminya. Namun tanpa diduga Arsen malah menarik pinggang Dela dan membalas dengan kecupan lembut di bibirnya.
“Aku berangkat dulu ya Sayang. Mungkin malam nanti aku pulang agak telat, bisa jadi lembur,” ucap Arsen setelah melepas ciumannya.
“Kamu gak sarapan dulu Mas?” Tanya Dela.
“Gak Sayang aku buru-buru,” jawabnya sambil tersenyum, lalu pergi meninggalkan rumah.
Setelah Arsen pergi, Dela menatap amplop yang baru saja diberikan suaminya. Amplop itu tampak tebal, membuatnya penasaran akan isinya.
Tebal banget ya. Isinya uang pecahan dua ribuan atau lima ribuan kali? Tapi gak mungkin juga. Mas Arsen kan bukan tukang warung. Emangnya gaji kuli bangunan dikasih dalam amplop kayak gini? pikirnya heran.
Akhirnya dengan rasa penasaran yang tak tertahan, Dela membuka amplop itu. Matanya langsung membesar, napasnya tercekat.
“Se... sepuluh juta?” Gumamnya tak percaya.
Isinya benar-benar segepok uang pecahan seratus ribuan. Tangannya sampai gemetar memegang uang sebanyak itu. Sebelumnya Dela belum pernah punya uang sebanyak itu, bahkan melihatnya pun jarang.
Beneran ini uang sepuluh juta? Dapat dari mana Mas Arsen uang sebanyak ini? Emangnya gaji kuli bangunan bisa segini? pikirnya panik.
Rasa curiga mulai muncul di hatinya. Takut kalau uang itu bukan dari jalan yang benar Dela buru-buru mengambil ponselnya dan mencoba menelepon suaminya. Namun panggilannya malah ditolak.
“Loh kok malah dimatikan sih?” Gumam Dela.
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk dari Arsen.
Mas Arsen: Kenapa menghubungiku Sayang? Aku sedang ada pertemuan penting. Nanti saja aku hubungi kalau sudah selesai.
Dela tertegun membaca pesan itu. Pertemuan penting? Sejak kapan kuli bangunan ada pertemuan penting segala? pikirnya heran. Memangnya kuli bangunan punya rapat juga ya? Rapat apaan? Gak masuk akal banget, gumam Dela sambil mengernyit.
Kepalanya mulai pusing memikirkan pekerjaan suaminya yang terasa janggal. Menurutnya di mana pun, kuli bangunan ya kerjanya di proyek, pegang semen, bukan rapat atau pertemuan.
Karena perutnya mulai lapar, Dela memutuskan untuk ke dapur. Baru saja ia mengambil piring, tiba-tiba ibunya Rena, datang dan merebut piring itu.
“Mau ngapain kamu ambil piring?” Tanya Rena dengan nada tinggi.
“Ya Dela mau sarapan Bu laper,” jawab Dela pelan.
“Enak aja mau sarapan. Kerja aja belum udah enak-enakan mau makan,” omel ibunya ketus.
“Dela lapar Bu. Dela makan dulu nanti habis itu Dela kerja kok,” ucapnya hati-hati.
“Gak ada kalau belum kerja ya belum makan! Kerja dulu, baru makan,” tegas Rena.
Dela terdiam, wajahnya menahan sedih. “Ya ampun Bu. Mbak Eka sama Tika aja makan gak apa-apa kenapa Dela harus kerja dulu baru boleh makan?” Tanyanya lirih.
“Mereka beda! Kakak iparmu itu kasih uang ke ibu lebih banyak gak kayak kamu. Udah numpang tinggal gratis di rumah ini gak ngasih uang belanja, tapi mau enak-enakan makan,” sahut Rena keras.
“Kalau mau makan sana beli sendiri! Jangan makan masakan ibu!”
Kata-kata ibunya menusuk hati Dela. Rasanya ingin menangis. Kakak dan adiknya bisa makan dengan bebas, tapi dirinya dilarang. Padahal, Tika juga jarang memberi uang pada ibunya, tapi ibu tetap memakluminya karena katanya Tika mau menikah dan sedang butuh banyak uang.
Dela menarik napas panjang. Ia lalu teringat pada amplop uang yang diberikan Arsen tadi. Akhirnya Dela memutuskan untuk keluar membeli makanan dengan uang itu. Sudah lama ia ingin makan sate dan bakso, tapi belum kesampaian.
Tanpa banyak bicara, Dela mengambil tasnya dan keluar rumah. Ia memutuskan membeli makanan yang sudah lama diidamkannya sate dan bakso urat kesukaannya. Kali ini ia ingin makan dengan tenang, tanpa harus mendengar omelan siapa pun.
Sesampainya di warung, Dela memesan bakso urat panas dan sate kerbau dengan bumbu kacang yang kental dan gurih. Aroma makanan itu membuat perutnya makin lapar. Ia sengaja membungkus makanannya, karena ingin menyantapnya di rumah bukan karena rindu rumah, tapi ia ingin menunjukkan kalau dirinya juga bisa membeli makanan sendiri. Saat kembali ke rumah, Dela langsung menuju ruang makan dan membuka bungkusan makanannya.
“Ah akhirnya makan enak juga,” gumamnya bahagia. Ia menyantap bakso dan sate itu dengan nikmat, menikmati setiap suapan setelah menahan lapar sejak pagi.
Namun baru beberapa menit menikmati makanannya, ibunya tiba-tiba muncul dari arah dapur.
“Kamu ini malah enak-enakan beli makan di luar! Kalau punya uang, itu mending dikasihkan ke ibu buat belanja. Jangan gaya-gayaan beli makan segala. Kamu tuh udah menikah gak pantas masih seenaknya begini,” omel Rena sambil melipat tangan di dada.
Dela hanya bisa menatap ibunya dengan kecewa. Entah kenapa sejak ia menikah, ibunya terasa makin sering mengungkit soal tempat tinggal dan uang belanja.
Padahal, selama ini Dela yang paling sering membantu pekerjaan rumah mencuci baju, menyapu, memasak, bahkan membereskan pakaian adik-adiknya tanpa dibayar sepeser pun.
“Dela cuma lapar Bu. Makan di rumah gak boleh, beli makan malah diomelin. Dela harus gimana sih?” Ucap Dela pelan menahan air mata.
Namun Rena tetap tak mau kalah. “Kamu itu kalau punya uang kasih ke ibu. Jangan dihambur-hamburkan buat hal gak penting!” Katanya ketus.
Karena kesal dan tidak ingin memperpanjang pertengkaran, Dela bangkit dari kursi, lalu mengambil amplop uang dari kamarnya. Ia menarik selembar uang senilai satu juta dan menyerahkannya ke ibunya.
“Nih Bu, uang belanja dari Mas Arsen,” ucapnya datar.
Rena langsung terdiam begitu menerima uang itu. Matanya membesar, lalu wajahnya perlahan melunak.
“Nah gitu dong kasih uang buat Ibu. Toh kalian juga makan di sini. Tapi lain kali kalau punya uang jangan dihambur-hamburkan ngerti?” Katanya dengan nada lebih lembut, meski masih menyisakan ketus di ujung suaranya.
Dela menghela napas berat. “Dela cuma pengin makan Bu. Mau makan di luar dibilang boros, makan di rumah malah dilarang. Dela harus gimana sih?” Gumamnya pelan.
Setelah makanannya habis Dela tak ingin lagi berdebat. Ia masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Kepalanya terasa penat. Hatinya lelah menghadapi perlakuan ibunya yang terasa tidak adil.
“Kalau bukan aku siapa yang tiap hari nyuci baju mereka, bersihin rumah, masak, nyapu?” Gumam Dela pelan sambil merebahkan diri di kasur. Ia menatap langit-langit kamar yang mulai kusam, mencoba menenangkan pikirannya.
Di luar suara ibunya masih terdengar samar memanggil-manggil adiknya. Tapi Dela memilih diam ia ingin tau, siapa yang akan membereskan pekerjaan rumah kalau bukan dirinya?
Dengan napas berat dan mata yang terasa panas, Dela menutup matanya perlahan. Hari ini terlalu melelahkan bukan karena pekerjaan rumah, tapi karena harus terus menahan sabar terhadap orang-orang yang seharusnya menyayanginya.