 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Langkah Aisy terhenti di parkiran rumah sakit. Sore mulai turun, langit berwarna jingga keemasan, tapi di matanya semua warna seolah memudar.
Hanya satu bayangan yang jelas Reyhan.
Lelaki itu berdiri di sisi mobilnya, menutup bagasi setelah menurunkan kantong belanjaan. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda yang menjadi istri kedua suaminya itu. Arsinta.
Aisy menatap pemandangan itu lama.
Tidak ada air mata, tidak ada amarah. Hanya diam. Dadanya bergetar pelan, tapi wajahnya datar, seolah tubuhnya sudah lupa bagaimana mengekspresikan rasa.
“Mas Reyhan…,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan angin yang terbang begitu saja.
Reyhan tersentak, menoleh cepat. Tatapan mereka bertemu. Sesaat dunia di antara mereka membeku dua jiwa yang masih terikat luka, tapi terpisah oleh kenyataan yang tidak bisa mereka ubah.
“Aisy…” panggil Reyhan pelan, langkahnya ragu.
Tapi Aisy tidak menjawab. Ia hanya memandangi mereka berdua, lalu menunduk sedikit, bibirnya bergetar, seolah ingin tersenyum tapi yang keluar hanya napas panjang dan kosong.
Arsinta meraih lengan Reyhan, berbisik manja, “Mas, yuk… udah sore.”
Nada lembutnya menyentak sesuatu di dada Aisy. Ia tidak tahu apakah itu sakit, cemburu, atau sekadar kenangan yang menolak pergi.
Reyhan menatap istrinya, lalu kembali menatap Aisy. “Kamu… baik-baik aja?” tanyanya dengan suara serak.
Pertanyaan yang sederhana, tapi seolah menorehkan luka baru. Aisy menggeleng pelan. Tidak menjawab dengan kata, hanya tatapan yang tenang tapi kosong.
Ia mencoba mengangkat sudut bibirnya sedikit, namun yang keluar hanyalah senyum hambar lebih mirip dengan bentuk kepasrahan daripada kebahagiaan.
“Mas…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti sisa napas yang menolak padam. “Aku gak apa-apa.”
Hanya itu.Setelahnya, Aisy memalingkan wajah. Tidak ada lagi penjelasan, tidak ada perdebatan. Ia hanya berbalik perlahan dan berjalan pergi, dengan langkah yang tenang tapi rapuh.
Bi Jum yang sejak tadi berdiri agak jauh menatap majikannya dengan mata basah. Ia ingin menghampiri, tapi Aisy hanya menggeleng pelan tanpa menoleh, isyarat halus agar tidak diganggu.
Langit mulai menggelap, sinar sore berubah menjadi bias oranye pucat di kaca-kaca mobil.
Reyhan masih berdiri mematung, menatap punggung Aisy yang semakin menjauh.
Ia ingin mengejar, tapi suara Arsinta menahannya, “Mas, ayo kita sudah di tunggu…"
Lelaki itu menatap istrinya sekilas, lalu menghela napas panjang. Dalam hatinya ia tahu yang barusan ia lihat bukan kemarahan Aisy, tapi kehancuran yang lebih sunyi. Kehancuran yang tidak lagi menuntut penjelasan, karena hati yang terlalu lelah bahkan untuk marah.
Dan di kursi depan mobil yang mulai berjalan pergi, Aisy hanya terdiam, menatap jendela.Cahaya lampu kota berkelebat pelan, memantul di matanya yang bening tanpa air mata.
Ia berbisik dalam hati, “Ya Allah apa aku sanggup untuk menghadapi semua ini?" bisiknya diantara desir angin yang menyapu wajahnya.
Mobil yang mereka tumpangi sudah mulai meninggalkan area parkiran, namun hati Aisy masih tertinggal di sana di antara langkah Reyhan yang kini menuntun wanita lain, seperti dulu ia pernah menuntunnya dengan cinta.
Udara sore terasa berat. Setiap hembusan napas seolah membawa sisa kenangan yang menolak pergi.
Sesampainya di rumah, Aisy meminta Bi Jum menyiapkan teh hangat. Ia duduk di teras belakang, tempat yang dulu sering ia gunakan untuk menunggu Reyhan pulang kerja.
Hening. Hanya suara burung sore yang pulang ke sarangnya.
“Bi,” panggilnya pelan.
“Iya, Bu?” sahut Jumi sambil menaruh cangkir di meja kecil.
Aisy menatap permukaan teh yang berasap tipis. Jemarinya menggenggam cangkir itu erat, seolah mencari pegangan.
“Aku lihat dia lagi, Bi…” suaranya pelan, tapi tidak bergetar. “Dia kelihatan bahagia.”
Bi Jum tak menjawab, hanya menunduk.
Aisy menghela napas panjang, matanya menerawang ke halaman yang mulai diselimuti senja. “Dulu aku kira… aku akan hancur kalau melihatnya dengan orang lain. Tapi tadi… rasanya cuma kosong. Seperti aku udah kehabisan rasa.”
Ia berhenti sejenak, menelan ludah yang terasa getir.
“Lucu ya, Bi… dulu aku selalu takut kehilangan dia. Tapi ternyata, yang lebih menyakitkan itu bukan kehilangan… tapi tetap bertahan sama seseorang yang udah gak benar-benar punya kita lagi.”
Bi Jum mengusap ujung matanya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Ibu gak salah kok kalau masih sayang. Tapi kadang, Tuhan nyuruh kita sayang dalam bentuk yang beda bukan menggenggam, tapi ngelepas.”
Aisy tersenyum tipis. Senyum yang lahir bukan dari bahagia, tapi dari penerimaan. “Iya, Bi. Mungkin memang itu jalannya. Aku udah gak mau marah lagi. Aku cuma mau tenang.”
Ia meletakkan cangkirnya, menatap langit yang mulai memerah. “Kalau suatu hari dia bahagia sama pilihannya, aku pengin bisa bilang ke diri sendiri… aku juga bahagia, walau gak dipilih.”
Kata-kata itu keluar dengan suara pelan tapi mantap, seperti doa yang menutup bab luka.Dan untuk pertama kalinya, Bi Jum melihat sorot mata Aisy tidak lagi kosong, tapi mulai hidup dengan kesedihan yang bisa ia terima.
Aisy menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap awan yang perlahan memudar.
“Bi, aku capek terus nunggu sesuatu yang gak akan balik. Mulai hari ini… aku mau belajar berdiri sendiri.”
Hening sejenak. Angin sore menyapu lembut helaian rambutnya, membawa sisa air mata yang menetes pelan tanpa isak. Dan di balik kesunyiannya, Aisy tahu mungkin ia belum benar-benar baik-baik saja, tapi setidaknya kali ini ia sudah berani untuk melepaskan dengan sadar.
Bersambung. ....
Mungkin di Bab ini Aisy mulai mencoba untuk melepas. Kasih komen dan semangatnya ya kakak .....🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰
 
                     
                     
                    