Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Bab 11
“Aku tidak menyangka Novida bekerja di sini. Kalau kita kerja di sini apa tidak diolok-oloknya setiap hari, Rang?” kata Noah.
“Sudah, jangan dihiraukan. Abaikan saja dia,” jawab Rangga tenang.
Rangga sudah membicarakan mengenai posisi dan gaji yang akan diterima oleh Noah. Rencananya, Noah akan ditempatkan di posisi yang baru saja kosong.
Benar — kepala bagian HRD.
“Apa kita di sini jadi satpam?” tanya Noah lagi, masih heran.
Rangga menggaruk kepalanya pelan. “Aku tidak tahu, tunggu saja dulu. Nanti mereka akan memberitahu kita.”
Mereka pun naik ke lantai enam, berhenti di depan pintu bertuliskan “Direktur.”
“Ah, aku pulang saja,” kata Noah panik. “Apa yang kita lakukan di sini? Wawancara satpam kok sampai ketemu direktur? Ini kita mau wawancara, kan?”
“Yah, kamu bisa menganggapnya begitu,” jawab Rangga tersenyum. “Ngomong-ngomong, jangan terlalu gugup. Santai saja. Apa kamu sudah bawa surat-surat yang aku suruh?”
“I-ini, aku bawa di sini,” jawab Noah gugup sambil mengangkat map lusuhnya.
“Kalau begitu cepat masuk,” kata Rangga lembut.
“Loh, bukannya kita berdua? Kok hanya aku yang masuk?” tanya Noah bingung.
“Aku tidak perlu masuk. Sudah, jangan takut. Direktur di sini orangnya ramah,” jawab Rangga sambil tersenyum melihat tingkah temannya yang panik.
“Oh, o-oke…” Noah menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu.
“Masuk,” suara Roki Budiman terdengar dari dalam.
Noah melangkah masuk dengan langkah kecil dan kaku. Roki yang sudah menunggunya tersenyum hangat. “Saudara Noah, ya? Silakan duduk. Jangan gugup.”
“Anda orang yang baik, P–Pak, t-terima kasih. S-saya berdiri saja,” kata Noah gugup, tidak berani duduk sama sekali.
Noah berasal dari kampung, dan di tempat kerjanya dulu, orang berpangkat tinggi paling banter hanya mandor proyek. Bertemu dengan seorang direktur seperti ini tentu membuatnya ciut. Kedua tangannya ia genggam erat.
“Yah, kepribadianmu bagus. Aku sangat suka,” kata Roki sambil melihat berkas-berkas milik Noah. “Kamu diterima!”
“Apa?” Noah terkejut setengah mati.
Biasanya kalau wawancara, pelamar akan ditanyai macam-macam, tapi di sini tidak sama sekali.
Roki tersenyum. “Aku seperti ini karena kamu terlihat sederhana dan jujur. Aku suka itu. Kamu diterima. Perusahaan ini sedang butuh kepala bagian HRD, jadi kamu akan menempati posisi itu. Gajimu setahun satu miliar, cukup atau kurang?”
“A–Apa?!”
Begitu mendengar angka satu miliar, lutut Noah langsung lemas. Hampir saja ia jatuh kalau tidak segera menahan diri ke dinding.
“Jangan-jangan ini pekerjaan ilegal?” pikir Noah panik.
“T-tapi, Pak… g-gaji sebesar itu terlalu tinggi. S-saya orang biasa, saya tidak berani menerima. S-saya takut ini pekerjaan terlarang…” ucap Noah terbata.
Di luar, Rangga yang mengintip hanya bisa menggeleng kecil, khawatir temannya benar-benar menolak tawaran itu.
Roki menenangkan Noah dan meyakinkannya bahwa ini pekerjaan resmi. Akhirnya, setelah diyakinkan beberapa kali, Noah setuju.
Saat keluar dari ruangan dan berpapasan dengan Rangga, wajah Noah penuh tanda tanya.
Namun Roki segera berkata, “Saya akan mengantarmu ke ruangan HRD untuk berkenalan dengan staf-staf di sana. Oh ya, rekeningmu sudah diurus. Setengah gaji pertamamu sudah ditransfer.”
“Hah?” Noah makin kaget.
“Kalau dia bagaimana, Pak?” tanya Noah, menunjuk Rangga.
“Hehe…” Roki hanya tersenyum tanpa menjawab dan langsung merangkul bahu Noah, mengajaknya masuk lift menuju lantai HRD.
Melihat temannya masih kebingungan, Rangga hanya tersenyum kecil. “Dengan gajimu sekarang, kamu tidak perlu pusing soal biaya pengobatan Novri lagi.”
Setelah itu, Rangga berjalan santai mengitari gedung PT. Luminex Corp. Semua urusan administrasi dan operasional sudah ditangani oleh Roki, jadi Rangga tak perlu ikut campur.
Semua ini berkat Selena — manajer ramah dari Astra Bank — yang membantu Rangga waktu itu. Kalau bukan karena bantuan Selena, ia tidak akan tahu soal kekayaannya yang luar biasa. Pelayanan bank itu memang cepat dan terpercaya.
Rangga akhirnya turun ke lantai satu. Di sana, beberapa orang sedang sibuk menempelkan foto dirinya di papan bertuliskan Direktur Utama. Ia tersenyum puas.
Tanpa berlama-lama, Rangga pun meninggalkan gedung dan naik taksi menuju Komplek Pondok Indah. Ia berharap Sisil Bahri dan Nindya Dewata sudah kembali agar bisa membicarakan misi mereka lebih lanjut.
Sementara itu, di departemen HRD PT. Luminex Corp, suasana ramai.
Roki masuk sambil memperkenalkan Noah kepada seluruh staf.
“Selamat pagi semuanya,” serunya sambil tersenyum.
Karyawan berdiri memberi hormat kecil. Walaupun kini Roki bukan lagi direktur utama, tapi mereka tetap menghormatinya.
Novida, yang sedang menata dokumen, mendongak dan melihat wajah Noah. Ia spontan melongo.
“T-tunggu… bukankah dia orang yang bersama Rangga tadi? Bajunya lusuh sekali. Kenapa dia bersama Pak Roki? Jangan-jangan dia pengawal barunya? Atau… Rangga juga kerja di sini jadi pengawal?” pikirnya cemas.
“Baik, saya akan memperkenalkan kepala bagian HRD kalian yang baru — Pak Noah!” kata Roki sambil bertepuk tangan.
Noah menelan ludah. Ini pertama kalinya ia berbicara di depan banyak orang.
“Halo semuanya,” ucapnya gugup tapi tulus. “Nama saya Noah. Saya berharap kita semua bisa bekerja sama dan sukses bersama.”
Semua bertepuk tangan — kecuali Novida.
Wajahnya pucat. Teman si tukang angkut batu bata itu… sekarang bosnya?!
Dia terduduk lemas di kursinya.
“Oke, saya masih ada urusan lain. Joni, tolong ajak Pak Noah berkeliling mengenal lingkungan kerja,” kata Roki sebelum pergi.
“Iya, Pak Roki!” jawab seorang pemuda sigap.
Para karyawan kembali ke meja masing-masing, melanjutkan pekerjaan mereka. Tapi Novida masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Noaj jadi kepala HRD? Apa ini ulah Rangga? Tapi posisi Rangga di perusahaan ini apa, sampai bisa mengatur begini? pikirnya.
Seolah menambah rasa penasaran, salah satu rekan kerjanya menoleh. “Hey, Novida, kamu sudah lihat foto direktur utama baru kita belum?”
“Belum,” jawabnya malas. “Aku juga tidak tertarik. Paling cuma lelaki paruh baya.”
“Ah, kamu salah besar,” kata rekan itu sambil tersenyum. “Aku baru dari lobi, dan tebak siapa yang aku lihat? Direktur utama baru kita itu masih muda, mungkin belum tiga puluh tahun!”
“Apa?” wajah Novida berubah drastis. Matanya berbinar — entah karena terkejut atau mulai menyiapkan rencana baru.
Sementara itu, Rangga sudah tiba di Komplek Pondok Indah.
Begitu turun dari taksi, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Miriam yang sedang membeli sayur keliling.
“Rangga! Apa yang kamu lakukan di sini!” teriak Miriam lantang. “Apa kamu belum menyerah juga pada anakku? Kamu sudah tanda tangan surat cerai! Hubunganmu dengan Liana sudah selesai! Pergi dari sini! Jangan buat mataku kotor pagi-pagi begini!”
Rangga hanya menatap tenang. Sayang sekali, Eldric Hale yang bijak harus menikah dengan wanita seperti ini, batinnya.
Ia menggeleng dan terus berjalan menuju rumah Sisil Bahri.
“Berhenti!” teriak Miriam lagi. “Kamu mau apa? Kalau nggak pergi, aku panggil satpam!”
“Setelah cerai, aku beli rumah di sini. Kenapa, nggak boleh?” jawab Rangga datar dengan senyum sinis.
“Hah?!” Miriam tertegun.
Dari mana pria yang dulu dianggapnya miskin ini bisa beli rumah di komplek elite seperti itu? Dan sejak kapan dia berani membalas ucapan dengan nada dingin begitu?
Rangga hanya tersenyum tipis, lalu membuka gerbang.
Sementara Miriam berdiri terpaku — tak tahu bahwa mulai hari ini, kehidupannya akan berbalik arah.
Bersambung